HomeNalar PolitikTNI-Polri Seimbang, Jokowi Aman?

TNI-Polri Seimbang, Jokowi Aman?

Rivalitas antara Polri dan TNI dinilai dapat menghantui pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Sang presiden dinilai perlu menyeimbangkan dua kekuatan tersebut.


PinterPolitik.com

“But when we fight it’s kinda like sibling rivalry. ‘Cause they’re back on stage the next night with me” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Usai berupaya mendamaikan dua kubu pendukung cebong dan kampret lewat pertemuannya dengan Prabowo Subianto di Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya masih memiliki tugas lain. Pasalnya, masih terdapat dua kekuatan bersenjata yang dinilai masih berseteru pasca-Pilpres lalu.

Setidaknya, begitulah yang dijelaskan oleh Made Supriatma dari Cornell University dalam tulisannya di South China Morning Post. Dalam tulisan tersebut, Made memaparkan bahwa rivalitas di antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dapat menghantui masa pemerintahan kedua Jokowi.

Rivalitas tersebut dianggap dapat berujung pada krisis politik dan konflik kekerasan apabila tidak segera diatasi. Belum lagi, Jokowi disebut-sebut lebih bergantung pada Polri dalam berbagai urusan keamanan.

Oleh sebab itu, sang presiden dinilai perlu melalukan upaya untuk menyeimbangkan dua kekuatan tersebut. Pertanyaannya, mengapa rivalitas tersebut dapat terjadi? Upaya penyeimbangan apa yang perlu dilakukan Jokowi?

Interservice Rivalry

Ketimpangan disebut-sebut tengah terjadi di antara kedua lembaga keamanan tersebut. Boleh jadi, ketimpangan inilah yang memicu rivalitas di antara keduanya (interservice rivalry).

Tidak hanya di Indonesia, rivalitas antar-lembaga keamanan juga banyak terjadi di negara-negara lain. Salah satunya adalah Amerika Serikat (AS).

Di negara Paman Sam tersebut, terdapat rivalitas yang terjadi di antara angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Samuel P. Huntington dalam tulisannya yang berjudul Interservice Competition and the Political Roles of the Armed Services menjelaskan bahwa kompetisi di antara angkatan-angkatan tersebut dapat berujung pada perdebatan mengenai alokasi anggaran terhadap setiap angkatan.

Kompetisi antar-angkatan militer yang terjadi di AS yang turut terjadi pada penentuan anggaran mungkin memang beralasan. GJ Kilduff dan tim penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Whatever It Takes To Win menjelaskan bahwa, secara psikologis, kompetisi dapat terjadi apabila hasil yang diharapkan oleh aktor-aktor yang berkompetisi turut terhalangi oleh aktor lain, seperti upaya untuk mengincar sumber-sumber terbatas yang sama.

Lalu, bagaimana dengan rivalitas yang terjadi antara TNI dan Polri?

Rivalitas yang terjadi di antara dua lembaga keamanan tersebut sudah terjadi sejak pemisahan fungsi kepolisian dari ABRI pada era Reformasi. Semenjak pemisahan tersebut, Polri mulai menguatkan pengaruh politiknya.

Jacqui Baker dalam tulisannya yang berjudul A Sibling Rivalry menjelaskan bahwa perseteruan tersebut turut terjadi dengan adanya perebutan “lahan subur” di bidang keamanan melalui proxies yang dimilikinya di masyarakat sipil, birokrasi, dan parlemen. Dengan begitu, tidak mengherankan apabila perebutan tersebut turut terjadi dalam wilayah politik.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Hal senada juga diungkapkan oleh Shawn Crispin dalam tulisannya di Asia Times. Crispin menjelaskan bahwa terdapat “perang wilayah” di antara dua lembaga tersebut atas aktivitas-aktivitas ilegal sebagai sumber pemasukan bagi personel-personel bawah.

Di tingkat pemerintahan, kedua lembaga ini saling bersaing untuk menentukan peran masing-masing dalam konsepsi pertahanan dan keamanan nasional. Polri misalnya, kini memegang lebih banyak fungsi keamanan, seperti dalam mengatasi terorisme, gerakan separatis, dan konflik komunal.

Kompetisi dapat terjadi apabila hasil yang diharapkan oleh aktor-aktor yang berkompetisi turut terhalangi oleh aktor lain. Share on X

Perdebatan tersebut juga berujung pada pengalokasian sumber finansial yang terbatas, yaitu penyusunan anggaran. Isu alokasi anggaran inilah yang menjadi santer dibicarakan pada Pilpres 2019 lalu.

Boleh jadi, dengan adanya perdebatan anggaran tersebut, rivalitan TNI-Polri berakar dari ketimpangan yang eksis di antara keduanya. Apalagi, sumber-sumber alokasi yang diperebutkan juga berada pada sektor yang sama, yakni keamanan.

Ketimpangan TNI-Polri?

Ketimpangan TNI-Polri ini pernah diungkapkan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam salah satu pidatonya dengan membandingkan anggaran kedua lembaga tersebut. Bagi Gatot, besaran pagu anggaran yang didapatkan oleh TNI dan Polri tidak sebanding secara ukuran – terkait jumlah personel, persenjataan, dan satuan kerja yang ada.

Mungkin, apa yang diungkapkan Gatot tersebut benar. Pasalnya, bila kita tilik pada perbandingan jumlah personel, TNI dalam data Global Firepower memiliki personel sebanyak 975.750 (personel aktif dan cadangan) pada tahun 2018, sedangkan Polri memiliki personel sebanyak 443.379 pada tahun yang sama.

Di sisi lain, dalam penentuan anggaran secara administratif, TNI harus mengikuti pagu yang diberikan pada Kementerian Pertahanan – berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Sementara, Polri yang memiliki status kelembagaan di bawah presiden secara langsung dapat menikmati pagu anggaran baginya secara penuh.

Sebenarnya, dalam besaran anggaran, Kemhan telah memiliki pagu yang lebih besar – Rp 107,7 triliun (APBN 2018) – bila dibandingkan dengan pagu milik Polri – Rp 95 triliun (APBN 2018). Namun, seperti yang diungkapkan oleh Gatot, pagu anggaran yang dimiliki oleh Kemhan perlu dibagikan ke masing-masing unit kerja Kemhan, seperti Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), serta untuk operasi Kemhan sendiri.

Di sisi lain, ketidakpuasan TNI boleh jadi beralasan. Pasalnya, Polri sempat mengalami peningkatan anggaran dua kali lipat dari yang hanya sebesar Rp 44 triliun (2014) menjadi Rp 84 triliun (2017).

Perbedaan porsi pagu anggaran tersebut bisa jadi berdampak pada disparitas pengadaan persenjataan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tersebut. Isu kesenjangan ini sempat mencuat pada tahun 2017 – ketika Brimob ditengarai memiliki persenjataan standar militer yang tidak dimiliki oleh TNI.

Upaya Balancing

Dengan dihadapkan pada situasi dan rivalitas di antara Polri dan TNI, Presiden Jokowi perlu melakukan beberapa upaya untuk menyeimbangkan pengaruh di antara keduanya.

Upaya penyeimbangan politik seperti ini pernah dilakukan oleh Raja Abdullah bin al-Hussein di Yordania. Valerie Yorke dalam tulisannya yang berjudul A Political Balancing Act menjelaskan bahwa, pada tahun 1940-an, raja Yordania pertama tersebut menggunakan strategi tersebut guna mengamankan posisinya sebagai pemimpin Arab yang kredibel tanpa menjauhkan dukungan Inggris yang dinilainya krusial.

Baca juga :  Peekaboo Jokowi-Golkar

Citra Abdullah tersebut dianggap perlu dipertahankan dengan situasi kawasan Arab yang tidak stabil – seperti meningkatnya paham Wahhabisme, ketidakpuasan masyarakat Palestina, dan dipaksa turun tahtanya raja Hijaz.

Berkaca pada kasus tersebut, bisa jadi, penyeimbangan yang dilakukan oleh Abdullah di antara kekuatan masyarakat Arab dan Inggris tersebut perlu dilakukan juga oleh Jokowi dalam dinamika politik Indonesia. Apalagi, manuver-manuver politik di antara keduanya dapat berpengaruh pada pemerintahannya.

Salah satu manuver yang terlihat kini adalah meningkatnya pengaruh PDIP –pemenang suara terbanyak dalam Pileg 2019 – akibat dari adanya politik “kumpul kebo” (kumbo) yang tengah terjadi di antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. PDIP sendiri disebut-sebut memiliki kedekatan tersendiri dengan Polri – disertai dengan manuver BG.

Mungkin, dengan meningkatnya pengaruh tersebut, Jokowi perlu melakukan upaya untuk menyeimbangi Polri-PDIP. Sang presiden boleh jadi tengah berupaya melakukan upaya-upaya tersebut.

Wacana penambahan jumlah Komando Distrik Militer (Kodim) di beberapa wilayah Indonesia bagian timur misalnya, dinilai dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi anggota-anggota TNI. Selain itu, Jokowi juga telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan personel TNI

Dari sisi pagu anggaran, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Dari prediksi realisasi yang sebelumnya hanya sebesar Rp 109,6 triliun, pagu RAPBN Kemhan kini menjadi sebesar Rp 127,4 triliun.

Di sisi lain, terdapat juga figur TNI yang disebut-sebut akan menggantikan Panglima TNI Hadi Tjahjanto, yakni Jenderal Andika Perkasa yang menjadi pilihan Jokowi untuk mengisi posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dengan adanya sosok Andika, Jokowi bisa jadi tengah berupaya mengimbangi pengaruh Megawati dengan patron lainnya, yaitu Hendropriyono – mertua Andika.

Meskipun begitu, rentetan upaya tersebut belum tentu secara pasti menjadi bagian dari upaya balancing Jokowi di antara TNI dan Polri. Di sisi lain, penentuan posisi strategis kementerian yang belum dapat kita ketahui secara pasti bisa juga menjadi salah satu jalan bagi penyeimbangan tersebut.

Yang jelas, rivalitas tersebut ditengarai tetap eksis hingga kini. Mungkin, seperti apa yang dibilang Eminem di awal tulisan, perseteruan tersebut tetap selalu muncul kembali layaknya pertengkaran di antara saudara-saudara. Menarik untuk dinanti episode lanjutan perseteruan ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?