The Economist menerbitkan sebuah artikel terbaru yang berbicara mengenai dinamika politik Indonesia saat ini yang dianggap dipengaruhi dan didominasi oleh budaya dan nilai-nilai Jawa. Budaya dan nilai-nilai ini rupanya juga berkaitan dengan Aksi 22 Mei 2019 dan legitimasi pemimpin.
PinterPolitik.com
“Any argument, the media’ll extend it,” – Ty Dolla $ign, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Kelompok etnis Jawa yang mengisi sebagian besar demografi populasi memang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, dari makanan hingga bahasa. Namun, selain budaya dan bahasa, perpolitikan Indonesia juga menjadi wadah yang didominasi oleh budaya dan nilai-nilai Jawa.
Dalam artikel yang diterbitkan oleh majalah The Economist, dijelaskan bahwa salah satu nilai Jawa yang memengaruhi dinamika politik Indonesia adalah nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Ekspektasi untuk berlaku sopan dan santun dianggap menjadi penyebab bagi lambatnya birokrasi politik di Indonesia.
Gagasan untuk mufakat misalnya, dianggap sebagai kulminasi dari nilai-nilai Jawa yang menekankan pada penghindaran konflik. Akibatnya, kegiatan tawar-menawar dalam lembaga legislatif menjadi prevalen dan biasanya berakhir dalam kompromi.
Dengan kompromi sebagai hasil favorit dari elemen-elemen lembaga legislatif, ideologi antar-partai politik juga tidak begitu beragam. Akibatnya, partai-partai politik hanya menjadi bayang-bayang di belakang presiden terpilih.
Lamun siro sekti, ojo mateni
Lamun siro banter, ojo ndhisiki
Lamun siro pinter, ojo minteri pic.twitter.com/YxDK0CHCJ8— Joko Widodo (@jokowi) May 25, 2019
Budaya Jawa juga menghiasi ucapan dan retorika para politisi. Prabowo Subianto misalnya, dengan menggunakan kata-kata dalam bahasa Jawa, mengkritik langkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebagai upaya yang ethok–ethok (pura-pura atau tidak sungguh-sungguh).
Di akhir artikel The Economist tersebut, dijelaskan pula bahwa Aksi 22 Mei lalu juga merupakan refleksi dari dominansi budaya Jawa dalam politik Indonesia. Budaya Jawa yang identik dengan harmoni dan kedamaian dianggap dapat melemahkan legitimasi pemimpin yang tidak bisa menjamin hal tersebut.
Jika benar begitu, bagaimana budaya Jawa mewujudkan harmoni dan perdamaian? Siapakah sosok yang dianggap tidak menerapkan nilai-nilai harmoni Jawa? Lalu, mengapa The Economist menulis mengenai hal ini?
Harus Narima?
Perdamaian dan harmoni memang menjadi hal yang penting bagi masyarakat dan budaya Jawa. Penjelasan terkait hal ini salah satunya disampaikan oleh Elisabet Murtisari dalam tulisannya yang berjudul “Some Traditional Javanese Values in NSM.”
Menurut Murtisari, orang-orang Jawa bahkan rela menyangkal dan menyembunyikan pemikirannya sendiri demi terjaganya harmoni dan perdamaian. Meskipun begitu, terkadang norma ini terdengar “munafik”.
Hal inilah yang disinggung dalam artikel The Economist. Dalam artikel tersebut, disebutkan pula pernyataan seorang guru yang bercerita bahwa dirinya diminta untuk menyamarkan pemikiran aslinya dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih lanjut, Murtisari juga menjelaskan bahwa masyarakat Jawa memiliki beberapa nilai guna mewujudkan kondisi yang tentram dan rukun, yaitu narima (menerima), eling (ingat atau berhati-hati), waspada, sadar, tanggap terhadap perasaan orang lain, ngalah (mengalah), dan ethok-ethok (berpura-pura).
Nilai-nilai harmoni dan perdamaian ini termanifestasi dalam pemikiran ukum pinesthi (hukum takdir). Pemikiran ini menekankan bahwa semua yang terjadi merupakan takdir yang telah ditentukan.
Pemikiran ini pun ditranslasikan dalam berbagai ungkapan bijak dalam bahasa Jawa. Salah satu contohnya adalah “urip kuwi kudhu dilakoni, sapira abote” yang mengimbau seseorang untuk tetap menjalankan kehidupan seberat apapun permasalahan yang dihadapi.
Dengan pemikiran tersebut, orang Jawa diekspektasi untuk menerima hasil dan situasi yang tidak dapat dihindari demi menjaga harmoni dan perdamaian. Murtisari, dengan mengutip Clifford Geertz, menjelaskan bahwa narima merupakan doktrin yang melihat takdir, kelas, hierarki, gender, dan berbagai kejadian sebagai hal-hal yang memang tidak dapat dihindari.
Agar dapat narima, orang Jawa juga diharapkan untuk berlaku sabar. Sabar dalam artian ini, menurut Geertz, merupakan ketiadaan atas hasrat, ketidaksabaran, dan gairah. Oleh sebab itu, orang Jawa juga diharapkan untuk rila/lila (rela) – kesediaan untuk berkorban dan menyangkal diri.
Dengan kualitas-kualitas tersebut, seorang Jawa dapat dilihat sebagai seseorang yang berkepribadian alus (halus), yaitu dengan bertindak lembut dan tidak menunjukkan emosi yang berlebihan. Dalam hal perasaan, orang Jawa juga diharapkan dapat menjadi orang yang pangerten (pengertian), yaitu memahami perasaan orang lain.
Terkadang, untuk menjadi seseorang yang pangerten, ethok-ethok (pura-pura) juga dilakukan. Berpura-pura sering kali dilakukan dalam masyarakat Jawa untuk menjaga hubungan dan harmoni sosial dengan menyembunyikan keinginan sebenarnya.
Jika demikian, dengan mendalami filsafat Jawa mengenai harmoni dan kerukunan, siapakah sosok yang disindir oleh The Economist sebagai pemimpin yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Jawa?
Nilai-nilai harmoni dan perdamaian ini termanifestasi dalam pemikiran ukum pinesthi yang menekankan bahwa semua yang terjadi merupakan takdir yang telah ditentukan. Share on XTampaknya, jika diperhatikan secara mendalam, hampir sebagian besar dari kontestasi Pemilu 2019 tidak diwujudkan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Upaya saling olok dan penggunaan istilah “cebong” dan “kampret” misalnya, tidak menunjukkan nilai-nilai harmoni dalam budaya Jawa – seperti pangerten – antara dua kubu politik.
Selain itu, penjelasan dalam artikel The Economist mengenai legitimasi pemimpin dan harmoni, bisa jadi benar. Pemimpin yang tidak merefleksikan nilai-nilai tersebut sangat mungkin dianggap tidak layak karena tak menjalankan filsafat Jawa tersebut.
Jokowi misalnya, mengungkapkan kemarahan atas banyaknya berita bohong yang menyerang dirinya dan sempat menjadi perhatian publik. Kemarahannya juga disusul dengan kebijakan represif pasca-Pemilu 2019 dengan penangkapan beberapa tokoh oposisi. Dalam hal ini, Jokowi bisa jadi dianggap tidak rila terhadap situasi yang ada.
Namun, jika kita tilik kembali pada bagian akhir artikel, The Economist nampaknya lebih berfokus pada aksi-aksi 22 Mei yang menimbulkan kerusuhan. Mengapa aksi yang identik dengan kubu Prabowo-Sandiaga Uno dianggap tidak sesuai dengan budaya Jawa?
Nyatanya, aksi tersebut memang bisa dianggap tidak sesuai dengan salah satu nilai utama dalam filsafat harmoni Jawa, yaitu nilai narima dan rila karena dianggap tidak dapat menerima kekalahan. Selain itu, aksi yang menyebabkan kericuhan bisa saja dinilai melanggar norma pangerten karena tidak menunjukkan upaya untuk memahami beberapa elemen masyarakat yang terdampak.
Sebelum aksi-aksi ricuh tersebut pecah, kubu Prabowo-Sandi berulang kali memunculkan isu dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019. Isu tersebut semakin panas dibahas ketika berbagai hasil hitung cepat lembaga survei dan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menunjukkan Prabowo-Sandi sebagai pemenang.
Isu tersebut juga dianggap memiliki keterkaitan dengan meninggalnya petugas-petugas Pemilu, seperti isu pembunuhan dengan racun dan gagasan untuk menggali kembali makam petugas-petugas tersebut. Pengaitan tersebut bisa jadi tidak memenuhi nilai pangerten terhadap keluarga korban.
Mungkin, pemimpin yang dimaksud oleh The Economist adalah Prabowo dan Sandi. Perusahaan majalah tersebut bisa jadi melihat aksi tersebut sebagai kegagalan Prabowo-Sandi dalam menjaga harmoni dan perdamaian ala Jawa – hal yang intrinsik dalam sebuah kontestasi elektoral dan kehidupan politik secara keseluruhan, di mana 40 persen penduduk Indonesia yang adalah orang Jawa menjadi bagian di dalamnya.
The Economist Bias?
The Economist – perusahaan media asal Inggris – didirikan oleh James Wilson dari Skotlandia pada 1843 untuk melawan pemberlakuan peraturan Corn Laws yang dianggap menerapkan terlalu banyak tarif. Visinya terkait ekonomi dan pasar menentang penerapan tarif tersebut.
Perusahaan media ini tentunya memiliki spektrum pandangan politik tersendiri. Dalam situsnya, perusahaan ini menjelaskan bahwa dirinya terus berkembang semenjak tahun 1846 dengan menghasilkan surat kabar yang percaya pada prinsip perdagangan bebas, internasionalisme, dan campur tangan pemerintah yang minimum.
Secara umum, The Economist mengakui bahwa perusahaannya memiliki pandangan politik liberal. Dalam situsnya, perusahaan ini juga mengatakan bahwa medianya akan terus mempromosikan kebebasan individu, seperti pernikahan sesama jenis dan legalisasi narkotika.
Pandangan politik yang dikemukakan The Economist ini menjadi alasan masuk akal apabila media ini benar mengkritik kubu Prabowo-Sandi terkait posisinya dalam kontestasi pasca-Pemilu 2019 dan Aksi 22 Mei. Kubu Prabowo-Sandi sendiri dianggap dekat dengan gagasan-gagasan proteksionis, anti-asing, dan konservatif.
Beberapa artikel yang ditulis oleh The Economist juga mengindikasikan keberpihakan media ini terkait Pemilu 2019. Salah satu artikel yang dirilisnya pada 4 April lalu menyindir posisi capres Prabowo yang dianggap setengah hati dalam berkampanye.
Selain artikel yang menyindir Prabowo, The Economist juga pernah menerbitkan artikel yang memiliki tendensi untuk memuji Jokowi. Dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada 11 April, majalah tersebut menilai Jokowi – dengan pandangan-pandangan sekulernya – sebagai kandidat yang lebih baik dibandingkan Prabowo.
Bahkan, The Economist pernah menyatakan posisi tersendiri terkait Pilpres 2019. Dalam artikel yang berjudul Competing Visions, majalah tersebut menyimpulkan bahwa Jokowi merupakan pilihan yang tepat bagi Indonesia.
Dengan melihat pandangan politik dan beberapa artikel yang ditulisnya, The Economist jelas bersikap bias dengan mengambil posisi tertentu dalam memberitakan Aksi 22 Mei dan kontestasi politik pasca-Pemilu 2019.
Oleh sebab itu, menjadi hal yang beralasan apabila majalah tersebut melihat Prabowo-Sandi sebagai pemimpin yang tidak berlegitimasi dan tidak sesuai dengan budaya harmoni Jawa.
Persoalannya tinggal apakah Prabowo-Sandi akan bergerak dalam alur pikir budaya Jawa tersebut, mengingat keduanya punya akar sejarah keluarga yang berasal dari luar pulau dengan populasi terbesar di dunia ini.
Pada akhirnya, lirik Ty Dolla $ign dalam lagu milik Kanye West di awal tulisan menjadi relevan. Argumen apapun akhirnya digunakan oleh media untuk membesarkan permasalahan. Padahal, bukannya media perlu melihat berbagai hal secara berimbang? (A43)