Site icon PinterPolitik.com

Tes Baca Alquran, Menjebak Prabowo?

tes baca alquran menjebak prabowo

Prabowo saat di Majelis Ta’lim Al-Habib Ali Al-Habsy, Kwitang. (Foto: Instagram.com/Prabowo)

Undangan tes membaca Alquran disetujui oleh kubu Jokowi-Ma’ruf dan ditolak kubu Prabowo-Sandi.


PinterPolitik.com 

“The lion cannot protect himself from traps, and the fox cannot defend himself from wolves. One must therefore be a fox to recognize traps, and a lion to frighten wolves.”

:: Niccolo Machiavelli ::

 

[dropcap]S[/dropcap]alah satu kewajiban umat Islam adalah membaca Alquran sebagai kitab sucinya. Namun, bagaimana jika persoalan membaca Alquran ini dibawa dalam ranah politik? Hal inilah yang terjadi saat ini. Dewan Ikatan Dai Aceh mengusulkan sekaligus mengundang pasangan calon capres dan cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2019 untuk mengikuti tes baca Alquran.

Ikatan Dai Aceh sebagai organisasi yang fokus pada pengembangan dakwah dan syiar Islam dianggap ingin turut berperan dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Menurut Ketua Ikatan Dai Aceh, Tgk Marsuddin Ishaq, usulan tes membaca Alquran itu untuk menyudahi politik identitas yang marak belakangan ini. Apalagi, menurutnya akhir-akhir ini kampanye yang muncul adalah saling hujat atas kemampuan dasar beragama dari masing-masing kubu, ketimbang menonjolkan kampanye programatik untuk menarik pemilih.

Undangan ini secara cepat ditanggapi oleh dua belah kubu. Kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin menyetujui usul tersebut dan menyebut pihaknya siap jika harus ke Aceh untuk tes tersebut. Sementara kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara kontras menolak undangan tersebut dengan dalih tanggal yang diajukan terlalu mepet dengan jadwal debat capres-cawapres perdana. Selain itu, undangan tes tersebut bukanlah syarat formal yang diatur oleh Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU).

Melalui narasi ini sebetulnya ada bagian menarik bahwa agama masih menjadi hal yang penting dalam konteks politik di Indonesia.

Selain itu, kubu Prabowo-Sandi yang didukung oleh kelompok Islam kerap menggunakan isu agama sebagai modal kampanye. Dengan melakukan penolakan tersebut telah memberikan kesan bahwa Prabowo maupun Sandi tidak konsisten terhadap narasi yang selama ini dikembangkan yang menempatkan keduanya sebagai “pemimpin umat”.

Namun, ada anggapan bahwa cara seperti itu akan merugikan Prabowo sebab sang jenderal sendiri mengakui bahwa pemahamannya terhadap agama Islam cukup lemah. Oleh karena itu, dengan adanya undangan tes membaca Alquran ini, apakan akan menjadi jebakan bagi Prabowo?

Agama dan Politik

Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, tensi politisasi agama memang semakin menguat. Hal itu terseret hingga kini memasuki Pilpres 2019. Bahkan meski isu ekonomi menjadi salah satu dimensi yang menjanjikan sebagai bahan kampanye, namun isu agama masih menjadi primadona kedua belah pihak.

Isu agama yang dijual dalam Pilpres kali ini sangat beragam. Secara substantif, isunya ada pada tataran ideologi – misalnya terkait bagaimana nilai agama mempengaruhi kebijakan publik – hingga dalam hal tata cara peribadatan.

Hal ini nyatanya sejalan dengan pendapat pemimpin konsultan agama Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton, J. Philip Wogaman. Ia mengatakan bahwa agama dan politik pada hakikatnya memiliki hubungan yang terbagi atas tiga model.

Pertama, model teokrasi di mana agama menguasai negara. Kedua, erastianisme atau negara mengooptasi agama. Dan ketiga, hubungan sejajar antara agama dan negara – dalam hal ini politik. Tipe terakhir ini bisa terwujud dalam konsep yang tidak ramah satu sama lain (unfriendly) atau hubungan sejajar yang ramah (friendly).

Jika melihat tiga model tersebut, maka yang paling tepat untuk menggambarkan situasi politik di Indonesia adalah tipe sejajar yang ramah. Sebab, politik dan agama seharusnya saling mengisi satu sama lain.

Dalam konteks tersebut, adanya tes baca Alquran juga sejatinya bisa menjadi penentu pilihan masyarakat pada waktu pencoblosan nanti. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia masih meletakkan agama sebagai hal yang intrinsik dalam memilih pemimpin.

Hal ini terkonfirmasi pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyatakan bahwa sebesar 57,8 persen masyarakat akan memilih pemimpin yang menganut agama yang sama dengannya.

Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia masih melihat latar belakang agama sang pemimpin sebagai opsi utama. Sehingga, kapabilitas membaca Alquran sebagai salah satu ukuran pemahaman atas agama, bisa menjadi daya pikat yang kuat bagi paslon capres dan cawapres yang akan bertarung.

Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut substantif? Pasalnya, meski masyarakat Indonesia masih menilai agama sebagai hal yang penting, namun dalam sistem demokrasi, sebetulnya kemampuan semacam membaca Alquran bukanlah sesuatu hal yang substantif. Sebab, hal itu kembali lagi pada bagaimana visi dan misi serta rencana program sang paslon akan dilaksanakan.

Sudah menjadi diskursus umum bahwa tidak penting apa latar belakang pemimpin, sejauh ia memiliki idealisme dan program yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka ia layak untuk memimpin sebuah negara.

Menjebak Prabowo?

Jika diperhatikan secara seksama, terlihat bahwa pihak Prabowo-Sandi yang paling dirugikan dalam konteks tes baca Alquran ini. Sementara Jokowi-Ma’ruf mendapatkan keuntungan dari hal tersebut.

Lihat saja bagaimana masing-masing kubu mersepon pemberitaan terkait undangan tersebut. Tim Koalisi Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf secara antusias menerima dengan baik undangan tersebut, terlebih Ma’ruf Amin yang notabene adalah seorang ulama atau ahli agama. Sementara kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi secara spontan menilai undangan tersebut merupakan hal berlebihan dan mereka menolak rencana itu.

Meski Prabowo-Sandi dibekingi oleh kelompok Islam seperti FPI ataupun GNPF Ulama, namun tes baca Alquran boleh jadi akan menampilkan sisi Prabowo dan Sandi secara utuh dan transparan. Belakangan ini, pasangan tersebut, utamanya Prabowo, selalu diserang dengan menggunakan isu agama.

Meski begitu, Prabowo sendiri memang mengakui bahwa dirinya memang seorang muslim yang tidak terlalu kaffah atau memahami agama Islam secara dalam. Oleh karena itu, tes baca Alquran bisa jadi malah akan “menelanjangi” Prabowo, capres yang oleh kubunya selalu disebut sebagai “pemimpin umat”.

Merujuk pada kondisi tersebut, bisa jadi jika Prabowo menerima tantangan tersebut, maka akan menjadi jebakan bagi dirinya. Beberapa penulis menggunakan istilah religion trap atau jebakan agama.

Jebakan agama ini pernah dikemukakan oleh Carl Mosk dalam buku Refugees and Religion: The Anatomy of Religion Traps. Meski tidak menyebut bahwa jebakan ini dalam koridor politik elektoral, namun Mosk mengemukakan bahwa secara umum, banyak politikus yang mudah terjebak pada dimensi isu agama, dan tidak memperhatikan isu lain yang lebih substantif, seperti pendidikan dan ekonomi.

Linda Burnham dalam tulisannya di The Guardian juga mengamini pendapat Mosk bahwa persoalan politik identitas bisa menjadi jebakan.

Burnham menilai bahwa masuk secara suka rela pada jebakan yang disiapkan oleh lawan merupakan ide yang buruk. Selain itu, ia juga menulis bahwa persoalan identitas tersebut bisa menjadi “buah simalakama” bagi kelompok yang mengusungnya sendiri.

Melihat kondisi tersebut, pada titik tertentu persoalan identitas – utamanya agama – bisa menjadi jebakan untuk pasangan Prabowo-Sandi. Pihaknya yang selama ini diisukan menggunakan identitas keagamaan sebagai perisai maupun peluru, akan menghadapi senjatanya itu sendiri.

Dalam konteks tes baca Alquran, Prabowo dan Sandi akan menerima “buah simalakama” sebab hal itu merupakan wilayah yang menjadi kelemahan mereka – utamanya Prabowo – setidaknya menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pada 2014 lalu menjadi tim sukses Jokowi. (Baca: Benarkah Prabowo Terpaksa Islami?)

Pada tahun 2014 lalu, kubu Prabowo dianggap sebagai pihak yang membawa persoalan identitas tersebut. Bahkan bagi pendukungnya, Prabowo merupakan sosok yang menampilkan kesalehan paling sempurna, meski ia sendiri mengaku lemah dalam mengamalkan ritual-ritual peribadatan. Apalagi, latar belakang Prabowo justru berasal dari keluarga yang non-muslim.

Namun, hal tersebut “tertutupi” oleh kubu pendukungnya yang umumnya berasal dari partai-partai dan ormas-ormas Islam.

Oleh karena itu, merujuk pada Mosk maupun Burnham, Prabowo bisa saja masuk dalam perangkap yang sebetulnya lekat dengan kubunya sendiri.

Prabowo terjebak jika mengikuti tes baca Alquran. Share on X

Sebaliknya, untuk mengantisipasi soal politik identitas saat Pilpres, Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin untuk menangkal isu tersebut. Jokowi seperti sudah menduga bahwa hal remeh-temeh sekalipun akan dimainkan dalam kampanye Pilpres, termasuk persoalan baca Alquran.

Persoalannya adalah apakah hal ini akan efektif dan mampu menjebak Prabowo? Tentu saja. Apalagi jika Prabowo sampai harus terpaksa menyanggupinya dan kemudian tidak tampil dengan baik.

Namun, merujuk pada situasi kondisi yang ada, undangan tes baca Alquran yang disampaikan oleh Ikatan Dai Aceh sepertinya tidak akan benar-benar terjadi.

Apalagi tes baca Alquran bukanlah syarat formal yang diatur oleh KPU, melainkan usulan dari organisasi keagamaan lokal di suatu daerah saja. Sehingga, dalam hal ini Prabowo dan timnya bisa dengan mudah mengelak untuk memenuhi tantangan tes tersebut. Hal ini juga akan minim pengaruhnya bagi pendukung dan loyalisnya, di mana bagi mereka Prabowo tetap sosok yang menampakkan nilai-nilai keislaman – seorang “pemimpin umat”.

Sementara, bagi pemilih mengambang (swing voters) atau yang belum menentukan pilihan (undecided voters), hal ini akan sedikit menimbulkan pertanyaan terkait alasan pihak Prabowo menolak tantangan tersebut. Namun, melihat kecenderungan karakteristik kelompok ini yang rasional, maka hal itu juga akan berdampak sangat kecil.

Secara umum, bagi masyarakat yang berpikir rasional, tentu tidak akan terlalu memperdulikan kemampuan membaca Alquran semata.

Oleh karena itu, meski ada sebagian orang yang mempertanyakan tingkat keislaman Prabowo, namun upaya untuk mengalihkan dukungannya kepada Jokowi cukup kecil dilihat dalam konteks ini. Pada titik ini, kedua kubu lebih baik memilih isu-isu substansial untuk meraih dukungan yang lebih signifikan. (A37)

Exit mobile version