Site icon PinterPolitik.com

Tarung Anak Presiden di 2019

Tarung Anak Presiden di 2019

Kebersamaan Titiek Soeharto dan Tommy Soeharto (Foto : Istimewa)

Pasca reformasi, kontestasi politik menjadi wadah silaturahmi keluarga bagi beberapa tokoh penting di negeri ini, termasuk juga anak dari mantan presiden.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]emilu 2019 semakin dekat, kontestasi politik juga semakin ketat. Salah satu indikasinya adalah keikutsertaan beberapa anak mantan presiden dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.

Sebut saja nama-nama seperti Puan Maharani, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, Guruh Soekarnoputra, Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Lalu bagaimana tren anak mantan presiden nyaleg ini dalam kacamata politik? Seberapa positif atau negatif tren ini bagi demokrasi di era pasca reformasi?

Celakanya, selama ini politik dinasti juga bagian dari budaya politik di Indonesia. Jika budaya politik ini terus dilanggengkan, maka partisipasi kepemimpinan politik diyakini akan berkurang. Share on X

Tajuk Kaderisasi Keluarga  

Pasca reformasi, kontestasi politik menjadi wadah silaturahmi keluarga bagi beberapa tokoh penting di negeri ini, termasuk juga anak dari mantan presiden.

Dalam headline harian Kompas, edisi Jumat 21 September 2018, para anak mantan presiden ini kebanyakan berkontestasi di dapil yang menjadi basis suara partainya atau daerah yang memiliki akar historis dengan keluarganya.

Misalnya pada Pemilu Legislatif 2014, ada nama putra dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibas Yudhoyono yang menjadi caleg nomor urut satu Dapil Jawa Timur VII. Daerah ini meliputi Pacitan, Magetan, Ponorogo, Ngawi yang merupakan basis wilayah SBY. Ia berada di urutan ke-5 dalam perolehan suara nasional pada 2014 lalu. Ibas pun dipastikan maju lagi pada Pemilu 2019 nanti.

Lalu ada Puan Maharani, putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang saat ini menjabat sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), maju lagi menjadi  caleg PDIP dan ditempatkan di dapil Jawa Tengah V. Pada Pemilu 2014 Puan adalah caleg peraih suara terbanyak kedua di tingkat nasional dengan 369.927 suara, terpaut hanya 8 ribu suara dari kader PDIP lain, Karolin Margret Natasa dari Kalimantan Barat.

Di tahun yang sama putri Presiden ke-2 RI Soeharto, Titiek Soeharto mendapat perolehan suara 61.655 suara dari Dapil Yogyakarta. Titiek pun akan maju lagi dari dapil tersebut. Sementara putra Presiden pertama RI Soekarno, Guruh Soekarnoputra memperoleh 84.753 suara pada 2014 lalu, jumlah yang mengalahkan Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso.

Sementara, menariknya anak Soehaarto yang lain, Tommy Soeharto sebagai pendatang baru memilih Papua sebagai dapil yang akan dijadikan arena pertarungan politik dalam Pileg 2019 nanti.

Tentu pemilihan tersebut bukan tanpa alasan. Politik adalah persoalan investasi. Peran Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tahun 1962 serta jasanya dalam membangun Freeport dan pendirian kota Tembagapura pada 1973 tentu menjadi modal politik yang menguntungkan Tommy.

Faktor peran Soeharto tentu saja dominan, selain juga mungkin saja Tommy ingin mencari daerah yang lebih aman secara politik baginya, mengingat dirinya pernah terlibat kasus hukum dan pernah dipenjara.

Trend Positif atau Negatif?

Politik dinasti biasa terjadi dalam kontestasi elektoral. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) pun, ada sosok Hillary Clinton yang adalah istri dari politikus senior sekaligus mantan Presiden AS ke-98, Bill Clinton, yang masuk dalam politik dan maju dalam Pilpres AS tahun 2016 lalu.

Di Inggris, Ed Milliband dan David Milliband yang menjadi anggota partai buruh dan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan tidak lain adalah anak dari Ralph Milliband yang juga politisi senior di partai yang sama.

Berbeda dengan negara-negara Barat, meskipun memiliki sejarah politik keluarga yang juga kuat seperti Kennedy Family, Bush Family, atau Clinton Family, Indonesia seolah memiliki trauma masa lalu jika menyoal politik dinasti. (Baca juga: Cendana, Alasan Gagalnya Reformasi) 

Tentu masyarakat tidak lupa, di era Orde Baru, praktik politik dinasti yang diwariskan oleh rezim Soeharto berujung pada penyelewengan dana negara alias korupsi.

Beberapa anak Soeharto menduduki jabatan penting dan memilki afiliasi bisnis yang cukup kuat dan kondisi ini masih bertahan hingga saat ini. Misalnya terkait bisnis terselubung yang diungkap bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro.

Soedjono pernah mengaudit laporan keuangan keempat yayasan terbesar milik Soeharto yang sebenarnya digunakan presiden ke-2 RI itu untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya. Salah satunya adalah Yayasan Supersemar yang menggunakan 84 persen dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya.

Tommy Soeharto misalnya pernah disebut memonopoli pasar cengkeh melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Dengan mengontrol penjualan dari petani ke produsen rokok, BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.

Tak tanggung-tanggung, ia pun disebut meraup keuntungan hingga Rp 5 triliun. Pada tahun 1996, ia juga memperoleh keistimewaan terkait status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang bebas pajak. Semua keistimewaan itu dapat terjadi karena Tommy adalah anak mantan presiden.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Soeharto berusaha membangun patron-klien yang mengakar untuk mengukuhkan kekuasaan diri dan keluarganya. Luis Fernando Medina dan Susan Stokes dalam tulisannya berjudul Clientilism as Political Monopoly menyebutkan bahwa politik patron-klien adalah rezim di mana seorang penguasa politik memonopoli sumber daya yang penting untuk para pemilihnya.

Si bapak misalnya harus mempertahankan pengaruhnya tidak hanya melalui pendekatan politik, tetapi juga secara personal, sehingga anak buah akan memberikan dukungan sepenuhnya pada si bapak dan keluarganya. Pola inilah yang selama 32 tahun digunakan Soeharto dan kroninya.

Selain itu, Soeharto juga mengelola birokrasi dalam institusi pemerintahan dan organ-organ sosial dan politik yang potensial dan krusial kedudukannya. Secara sentralistik, menurut teori patron-klien James Scott, hal tersebut akan menciptakan relasi bapak-anak atau bapak-anak buah, di mana bapak dapat memaksimalkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family.

Filipina adalah salah satu contoh negara di Asia Tenggara yang menjalankan politik pemerintahannya melalui politik dinasti. Arena politik Filipina terlihat diatur dan dioperasikan oleh keluarga atau aliansi keluarga, ketimbang murni diorganisir melalui pemungutan suara layaknya Pemilu lewat partai politik.

Tentu saja hasilnya adalah kekuasaan oligarki kompleks yang banyak melibatkan kroni. Salah satu contohnya adalah di masa pemerintahan Presiden Gloriya Maccapgal Arroyo. Dampaknya adalah terjadi desentralisasi oligarki yang tidak hanya terjadi pada kroni Arroyo, tapi juga meluas terjadi pada parlemen dan pemerintahan daerah.

Celakanya, selama ini politik dinasti juga bagian dari budaya politik di Indonesia. Di beberapa daerah, model politik seperti ini masih sangat kuat. Jika budaya politik yang demikian terus dilanggengkan, maka partisipasi kepemimpinan politik juga diyakini akan berkurang. Hal ini dapat terjadi karena politik semakin sulit dijangkau oleh kalangan kelas menengah ke bawah.

Eksklusivisme politik itu sendiri juga berimplikasi pada matinya libido politik dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Dalam kasus anak presiden yang nyaleg, publik bisa saja berasumsi bahwa politik hanya bisa diakses oleh para anak pejabat saja.

Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, tinggi rendahnya partisipasi politik dipengaruhi oleh budaya politik masyarakat setempat terkait dengan beberapa nilai yang diyakini oleh masyarakat tersebut, seperti nilai adat dan nilai tradisi serta agama. Selain itu juga dipengaruhi oleh status sosial yang meliputi pendidikan, ekonomi dan kelas sosial masyarakat.

Sementara itu, Frank Lindenfeld menemukan bahwa faktor finansial juga mempengaruhi seseorang dalam partisipasi politik. Semakin banyak dukungan finansial, semakin besar pula peluang dalam partisipasi politik.

Terbentuknya pola representasi yang elitis dan kurangnya inclusive political participation secara luas barangkali menjadi gambaran dalam kontestasi Pemilu di 2019 nanti. Terlebih, beberapa nama yang muncul dalam kontestasi Pemilu Legislatif seperti Tommy dan Titiek dikenal sebagai anak Soeharto yang banyak memiliki catatan kelam di masa lalu.

Sementara, konteks yang berbeda terjadi pada Puan Maharani. Sebagai Menko PMK dengan status anak presiden yang lain, kinerja Puan hari-hari ini juga disorot. Ia dianggap tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi. Yang artinya, secara kapabilitasnya sebagai representasi pengambil kebijakan, ia juga masih dipertanyakan.

Melihat bahwa para anak mantan presiden ini adalah kader terdidik serta punya sumber daya yang besar secara ekonomi dan politik, memang memungkinkan mereka memiliki kans besar untuk terpilih dan kembali menduduki kekuasaan legislatif.

Suka atau tidak, nama-nama merekalah yang akan ada dalam surat suara nantinya. Apakah di 2019 akan muncul politik dinasti yang baru? Tentu jawabannya masih menjadi misteri. Lalu, apakah fenomena ini akan membawa kualitas politik pemerintahan kita menjadi lebih baik atau justru lebih buruk? Biarlah netizen yang memutuskan. (M39)

Exit mobile version