Site icon PinterPolitik.com

Sudahlah Titiek, Cendana Telah Habis

Foto: Metrotvnews.com

Airlangga Hartarto telah secara aklamasi diputuskan dalam Rapat Pleno DPP Golkar sebagai Ketua Umum Partai Golkar, terhitung Kamis, (12/14). Ini tentu menyisakan kepedihan bagi kompetitor terdekatnya, Titiek Soeharto.


PinterPolitik.com

“Alhamdulillah mereka bisa menempatkan diri mereka sehingga tidak ada yang kelihatannya mengagung-agungkan diri mereka mentang-mentang anak presiden.”

-Presiden Soeharto, 1995, tentang anak-anaknya-

Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto harus menghitung langkah-langkah yang lebih cermat untuk dapat terus dekat dengan kekuasaan. Dia pun masih mengharapkan bahwa Munaslub Golkar hari senin esok dapat dijalankan dengan pemungutan suara, sehingga masih ada kesempatan menggugurkan aklamasi Rapat Pleno DPP yang memilih Airlangga, sekalipun menurut pengamat, kemenangan Titiek tersebut hampir tak mungkin terjadi.

Keluarga Cendana sudah barang tentu adalah kekuatan yang dibawa oleh Titiek di pundaknya. Berkali-kali dalam berbagai kesempatan Titiek menyebut bahwa reformasi tak berjalan baik dan rakyat masih merindukan sosok Soeharto.

Akan tetapi, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan bahwa popularitas Titiek yang mengandalkan nama ayahnya tidak akan signifikan. Romantisme Orde Baru sudah tidak laku lagi untuk dijual. Jangankan di masyarakat luas, di internal Golkar pun tidak.

Maswadi mengatakan, ‘modal’ Titiek Soeharto juga tidak akan cukup untuk membuatnya naik daun dalam jajaran Caketum Golkar, yang menurutnya, membutuhkan biaya setidaknya 1 miliar rupiah. Bahkan, ia juga meragukan bahwa kekuatan finansial Titiek pribadi akan mampu membantunya. Sementara, saudara-saudaranya belum tentu akan membantu finansial pencalonan Titiek. Hmm, apa iya?

Titiek dan lima saudaranya memang telah menjadi oligarki yang tumbuh berkat ayahnya. Kekuasaan Orde Baru menjadi ladang bisnis dan akumulasi kapital keluarga Cendana, yang tak hanya diberikan oleh Soeharto kepada kroni dan orang terpercayanya—seperti Bob Hasan—tapi juga kepada anak-anaknya. Anak-anak Soeharto mendapatkan bagian kekayaan dan dikenal telah mengembangkannya di berbagai sektor.

 

Dengan aset dan kekayaan begitu besar, sebenarnya siapapun anak Soeharto, pasti mampu ‘membeli’ kursi parpol manapun. Namun, begitu reformasi dan semangat anti-korupsi makin kuat bekerja, hal tersebut sulit terjadi. Politik tidak akan berjalan hanya dengan uang, namun dengan dukungan dari massa yang besar. Airlangga mungkin saja lebih ‘miskin’ ketimbang Titiek. Tapi, Airlangga memenangkan suara populer di Golkar dan tentu mendapatkan sokongan dana dari para elit yang melihat popularitasnya.

Namun, di atas kesia-siaan kampanye Titiek, benarkah ia tidak cukup kaya dibandingkan saudara-saudaranya? Lantas, apakah modal uang saja benar-benar cukup untuk melawan ‘modal politik dari atas’ (terhadap elit) dan ‘modal politik dari bawah’ (terhadap simpatisan, kader dan pendukung) dalam tubuh Golkar?

Kekayaan yang Dibagi-bagi

“Tanggung jawab utama kita sekarang adalah merawat keluarga kita, karena kita sudah banyak berbuat untuk bangsa dan negara”

-Presiden Soeharto, 1990, peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949-

Bolehlah, Soeharto menyebut anak-anaknya tak pernah dumeh (mentang-mentang) sebagai anak presiden. Tapi, sebagai balas jasa kepada Soeharto, tentu boleh dong anak-anaknya ‘dirawat’ dengan memberi mereka bisnis.

Menurut pengakuan Tito Sulistio, salah satu kerabat dekat Cendana, anak-anak Soeharto menjalankan bisnis yang tersebar di berbagai sektor, baik di dalam maupun luar negeri. Tommy, anak ke-5 misalnya, adalah yang paling doyan berbisnis mobil, dengan 15 perusahaan mobil, seperti dicatat olehh Warta Ekonomi. Anak ke-2, Sigit, juga disebut senang berbisnis kendaraan. Tapi, Sigit kabarnya tak se-happy Tommy yang disebut suka test drive melulu.

Selain itu, bisnis finansial dan perbankan juga menjadi fokus anak-anak Cendana. Pada sektor ini, Sigit dan Bambang menjuarai dengan total kepemilikan 20 perusahaan. Tak hanya mengepalai perusahaannya sendiri, Sigit dan Tutut juga memiliki saham total 30 persen di Bank Central Asia (BCA).

Namun, Tito kemudian menjelaskan bahwa Titiek adalah orang yang paling cerdas dalam berbisnis di sektor keuangan. Bersama dengan Tito dan juga Hary Tanoe, Titiek sempat bekerja sama membentuk sejumlah perusahaan finansial dan sekuritas, seperti PT Pentasena Arthasentosa dan PT Bhakti Investama. Kecerdasan Titiek tersebut, juga dikaitkan dengan jabatan Tito sebagai direktur Bursa Efek Indonesia, dapat diperdebatkan, sebagai kekuatan politik Titiek di ‘level atas’.

Pengusutan kekayaan Soeharto dan anak-anaknya sampai ke akar-akarnya telah coba diungkap oleh pemerintah pasca reformasi, maupun para peneliti dari luar negeri. Laporan pengusutan harta kekayaan Keluarga Cendana itu tentu tak berjalan mudah. Namun akhirnya, penyelidikan terhadap kekayaan mantan presiden Soeharto terhenti begitu saja.

Alasan kesehatan adalah amar putusan yang dibacakan oleh Jaksa Agung Abdur Rahman Saleh waktu itu. Meninggalkan kekayaan Soeharto tak tersentuh sampai setelah Soeharto wafat. Resistensi dari elit-elit lama dalam tubuh reformasi, juga pasti adalah yang menolak pengusutan korupsi Soeharto di belakang layar.

Dari angka tunai dan aset anak-anak Soeharto, Titiek memang menempati peringkat kedua terbawah anak yang paling kaya. Namun, setidaknya Titiek punya alasan. Secara terbuka, ia sudah tidak fokus berbisnis sejak aktif berpolitik. Jabatan komisaris di PT Surya Citra Media Tbk juga dilepasnya pada tahun 2015. Ini berbeda dengan Mamiek atau Bambang yang masih fokus berbisnis.

Begitu pula dengan jabatan di PT Aditya Matra Leasing dan PT Maharani Intifinance yang bergerak di finansial, juga dilepas oleh Titiek. Hanya saja, masih ada indikasi Titiek memiliki relasi bisnis dengan kelompok Mulia, yang menjalankan Mal Taman Anggrek. Ataupun dengan Hary Tanoesoedibjo, yang bersama menjalankan Mal Plaza Senayan. Dari sini, kemungkinan pundi-pundi kekayaan Titiek tetap bertambah.

Yang jelas, dengan aktifnya Titiek—beserta Tutut—berpolitik, Orde Baru memiliki corong pembelaan di dalam pemerintahan maupun di muka publik. Ini terlihat dari bagaimana Titiek melakukan pembelaan kepada kasus 1965 maupun saat Tommy dipenjara.

Soliditas kakak-beradik Cendana jelas masih menguat. Mereka saling back-up satu sama lain, dari bisnis ke politik dan dari politik ke bisnis.

Belum Tentu Menjadi Kekuatan Politik

Besarnya kekayaan Titiek tidak lantas membuatnya dapat menang dengan mudah. Pengaruhnya di tengah kader Golkar, terutama hari-hari belakangan ini cenderung meredup. Salah satu alasannya, adalah kedekatannya dengan kubu Gerindra—partai yang dipimpin (mantan) suaminya, Prabowo Subianto—di Pilkada DKI 2017, sementara Golkar di mana ia menjabat sebagai salah satu Wakil Ketua Umum justru berkubu dengan PDIP.

Kemudian, pada masa kegamangan Golkar saat ini, Titiek juga tidak mendapat dukungan yang kuat, baik dari bawah maupun dari atas. Airlangga telah mendapat dukungan yang luas dari hampir seluruh DPD Tingkat I Golkar se-Indonesia. Di samping itu, Airlangga juga telah mendapat dukungan dari tiga organisasi utama pendiri Golkar, yakni Soksi, Kosgoro 1957, dan MKGR. Titiek punya jalan yang masih amat jauh untuk meraih itu semua.

Pun, walau nampak didukung oleh Akbar Tandjung, nyatanya kubu Tandjung sudah mulai melemah di internal Golkar. Airlangga yang didukung oleh elit-elit Golkar pemerintah seperti Jusuf Kalla dan Luhut Panjaitan, sudah pasti meraih kemenangan.

Lantas, melihat gambar secara lebih besar, apakah ini bisa dibilang sebagai kegagalan Cendana di internal Golkar? Ini mengingat bagaimana kegagalan besar Tommy pada pemilihan Ketum Golkar 2009, di mana ia tak mendapat satu pun suara. Bisa jadi. Cendana mungkin benar-benar sudah tak punya taji.

Titiek dan Tommy pernah ingin menjadi Ketum Golkar (foto: Gettyimages)

Belum lagi, bila kita melihat survei terakhir tentang persepsi masyarakat luas terhadap Orde Baru. Survei Indo Barometer pada 2011, memang menyebut sebagian besar masyarakat masih merindukan Orde Baru, terutama dalam hal kesejahteraan ekonomi. Namun, survei SMRC dua tahun setelahnya, menyebut persepsi masyarakat semakin negatif terhadap Orde Baru. Masyarakat semakin melihat dampak positif demokratisasi di era reformasi.

Belum lagi, bila Jokowi mampu mengembangkan pembangunan sambil memperkuat demokratisasi, kerinduan masyarakat akan Orde Baru bisa dipastikan akan ‘terentaskan’. (Baca juga: Ambisi Proyek Infrastruktur)

Namun, bagaimanapun juga Titiek adalah elit besar dengan kekuatan orang-orang besar di belakangnya pula. Seperti halnya sang kakak sulung, Tutut, Titiek jelas memiliki relasi yang besar. Dari bisnisnya, beberapa pihak menyebut ada indikasi kedekatannya dengan pebisnis besar Eddy Sariatmadja, terutama sejak sama-sama menjabat sebagai komisaris di PT Surya Citra Media Tbk.

Secara eksternal, ada pula kedekatan Titiek dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga dengan putrinya Puan Maharani yang kerap terlihat di banyak kesempatan. Titiek justru tak pernah terlihat dekat dengan saudari sekaligus lawan Megawati, yakni Rachmawati Soekarnoputri. Apakah dengan begitu, Titiek memang dapat mendekat dengan PDIP?

Terlalu jauh membayangkan Titiek justru merapat ke PDIP. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi: mendekat ke jajaran Golkar pimpinan Airlangga, atau keluar dan membuat partai sendiri bila benar-benar ingin menjadi ketua.

Pilihan kedua cukup aneh, karena tentu akan terjadi perebutan basis massa pro-Orde Baru yang sudah digenggam Partai Berkarya, milik Tommy saudaranya.

Jika demikian, persoalannya tinggal bagaimana ke depannya Titiek terus bermain cantik di internal Golkar.

Benturan Masa Lalu dan Pembangunan Politik

Beberapa pihak menyebut geliat Keluarga Cendana dalam politik di era reformasi tentu saja memiliki satu agenda: mengamankan kekayaan yang tak rela untuk diusut oleh negara. Dengan tetap setianya Tutut, Titiek, ataupun Tommy terlibat dalam politik, diharapkan memori tentang Orde Baru dapat terus dirawat di tengah basis massanya.

Ya, sejarah hitam dan orang-orang dari masa lalu selalu menahan kaki bangsa ini untuk melangkah maju. Kita tahu konsekuensi yang bakal terjadi bila partai kedua terbesar di parlemen ini kembali dikuasai oleh orang Orde Baru.

Bila trah Soeharto kembali berkuasa, sudah pasti usaha membongkar korupsi dan aset Soeharto bakal semakin terhambat. Tak hanya itu, kasus pelanggaran HAM baik seputar 1965 maupun 1998 pasti akan semakin terhambat. Langkah Presiden Jokowi yang berkomitmen kepada pemberantasan korupsi dan pengusutan kasus HAM tentu juga akan turut terhambat.

Akan amat menjadi game-changer, bila akhirnya Titiek mendapatkan restu Jokowi dan akhirnya Jokowi mampu mengontrol Titiek. Jokowi yang tidak punya beban masa lalu, lagi-lagi dapat memaksa Golkar setia dengan ‘mengunci’ Keluarga Cendana seperti halnya Jokowi ‘mengunci’ Setya Novanto. (R17)

Exit mobile version