Site icon PinterPolitik.com

Rohingya, Signal atau Noise?

Foto: sindonews

Sejumlah nama tenar turun gunung pada Aksi Bela Rohingya. Tak hanya menunjukkan simpati, mereka juga ambil panggung untuk mengritik pemerintah.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]A[/dropcap]ksi Bela Rohingya pekan lalu membuka mata banyak orang. Tidak hanya dari jumlah massa yang turun, tetapi juga tokoh yang bergabung. Sejumlah tokoh dengan nama mentereng turut hadir dalam aksi yang digalang oleh kelompok Muslim tersebut.

Tidak hanya ikut bersimpati terhadap kasus Rohingya, tokoh-tokoh tersebut juga menggunakan momen tersebut untuk melakukan kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Nama-nama seperti Prabowo Subianto atau Amien Rais yang semula bersembunyi kini turun gunung mengkritik pemerintah melalui isu Rohingya.

Nyaris semua pihak yang berseberangan dengan pemerintahan Jokowi bersuara lantang terkait dengan Rohingya. Apakah ini hanya bising biasa ataukah sebuah sinyal tantangan?

Bantuan Pemerintah untuk Rohingya

Pemerintahan Jokowi berada dalam posisi yang serba salah. Saat pertama kali meletus kontak senjata antara militer Myanmar dan kelompok Rohingya Agustus lalu, banyak pihak meminta pemerintah bergerak cepat. Indonesia dianggap memiliki posisi strategis di ASEAN sehingga dapat membantu etnis di negara bagian Rakhine tersebut. Indonesia juga dianggap memiliki tanggung jawab moral menjaga perdamaian dunia sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Hal tersebut direspons oleh pemerintah. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terbang ke Myanmar untuk membahas isu ini bersama pemerintah Myanmar. Upaya negosiasi dilakukan pemerintah agar pemerintah Myanmar mau menurunkan aktivitas militernya kepada etnis Rohingya. Selain melakukan upaya yang bersifat diplomatik, bantuan lain juga dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk mengurangi penderitaan kelompok etnis tersebut.

Meski telah berupaya menjawab kritik, langkah pemerintah memberikan bantuan tetap menuai kritik. Berbagai kalangan menilai apa yang dilakukan belum maksimal. Ada yang menyebut bahwa pemerintah seharusnya menerjunkan prajurit untuk membantu menyelesaikan konflik. Beberapa yang lain menyebut pemberian bantuan tersebut tidak lain hanya upaya pencitraan.

Bising (Noise) Soal Rohingya

Media sosial telah dibuat ramai terlebih dahulu melalui isu Rohingya ini. Krisis di negara bagian Rakhine ini dilihat warganet sebagai konflik memilukan yang memerlukan bantuan segera. Warganet mengritik pemerintah yang dianggap tidak cukup responsif dalam isu ini. Kritik terhadap pemerintah dilontarkan juga terkait keputusan presiden yang mengutus Menlu alih-alih terjun langsung ke Myanmar.

Isu Rohingya juga seolah menjadi isu yang strategis bagi para politisi. Banyak politisi dari kalangan oposisi pemerintah menggunakan isu etnis asal Arakan ini sebagai bahan bakar kritik terhadap pemerintah. Nama seperti Fahri Hamzah mengritik Presiden Jokowi menggunakan isu ini. Ia menuliskan surat terbuka di akun twitter-nya untuk mengritik pemerintah. Hal serupa dilakukan oleh politisi Gerindra Fadli Zon. Ia menilai bantuan pemerintah tidak cukup maksimal dan seharusnya menjadi terdepan dalam membantu Rohingya.

Kritik tersebut mencapai puncaknya pada Aksi Bela Rohinya. Aksi yang dimotori oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ormas-ormas Islam tersebut memberikan panggung bagi kritikus pemerintah. Nama-nama besar turun gelanggang dan berorasi sembari menuding pemerintah lemah dalam krisis kemanusiaan di tanah Arakan.

Prabowo Subianto mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk mengirimkan bantuan ke tanah Rakhine saat ini tidak tepat. Langkah tersebut tidak lain hanya merupakan pencitraan pemerintahan saat ini. Ia menambahkan langkah yang seharusnya diambil adalah dengan membuat Indonesia menjadi negara yang disegani di dunia.

Eks Danjen Kopassus itu menilai bahwa bantuan kemanusiaan yang diberikan pemerintah tersebut kerap tidak nampak. Bantuan tersebut dituding seringkali tidak tiba di tujuan. Ucapan tersebut diungkapkan Prabowo untuk meredam emosi massa di Aksi Bela Rohingya.

Mantan Ketua MPR Amien Rais juga mengritik bahwa pemerintahan Jokowi bisa melakukan hal yang lebih baik terkait dengan Rohingya. Presiden dinilai perlu menghapuskan penjajahan atas Rohingya. Pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional dalam krisis kemanusiaan ini. Selain itu, Amien juga melontarkan kritik serupa dengan Prabowo. Ia menyebut bahwa langkah pemerintah memberikan perhatian terkesan minimal dan bergerak terlambat dalam isu ini.

Selain soal Rohingya, Amien Rais juga menyempatkan mengritik pemerintah pada persoalan lain di aksi tersebut. Istilah-istilah seperti ‘kecebong’ dan juga ‘PKI’ yang kerap digunakan untuk menyudutkan Jokowi juga ia gunakan saat berorasi.

Sindiran juga dilontarkan oleh penyelenggara aksi yaitu Presiden PKS Sohibul Iman. Ia menyebut Indonesia seolah disindir oleh dunia internasional. Ia mengatakan bahwa pada isu Rohingya ini, Indonesia sebagai negara besar justru terlihat seperti anak kecil dengan pukulan yang kecil. Ia menambahkan Jokowi seharusnya dapat bersikap lebih aktif seperti Presiden Soekarno.

Sinyal Sesuatu yang Lebih Besar?

Bisa saja kritik terkait Rohingya ini tidak hanya bersifat ribut kecil atau noise belaka. Langkah-langkah para tokoh yang turun gunung ini bisa menjadi sinyal yang lebih besar. Isu ini dapat menjadi sebuah tanda bahwa tokoh-tokoh ini tengah menggalang kekuatan jelang 2019. Isu Rohingya dapat menjadi semacam senjata untuk melemahkan dan mengurangi suara Jokowi sebagai petahana jelang 2019.

Selain mengurangi keterpilihan petahana, strategi tersebut dapat menjadi cara untuk menaikkan citra orang yang melakukan kritik. Dengan menunjukkan kepedulian terhadap Rohingya, nama seperti Prabowo dapat meraup untung. Isu Rohingya merupakan isu yang amat emosional bagi kaum Muslim di Indonesia. Memberikan dukungan terhadap Rohingya dapat membuat Prabowo mengambil ceruk suara dari kalangan Muslim di Indonesia. Terlebih kelompok Muslim konservatif cenderung memilih posisi berseberangan dengan pemerintah berkuasa.

Aksi bela Rohingya tersebut tidak hanya menjadi ajang unjuk kekuatan tetapi juga ajang unjuk kebisaan. Tokoh-tokoh oposan yang turun gunung tersebut mengemukakan apa yang bisa mereka lakukan dibandingkan dengan pemerintahan saat ini. Prabowo misalnya menyatakan bahwa ia mengetahui cara membuat Indonesia lebih kuat dan disegani di mata dunia melalui isu ini. Ia meyakinkan bahwa jika bangsa Indonesia menjadi kuat, maka Rohingya dan kaum lemah lain dapat dibantu. Ia juga menyebut jika bangsa Indonesia berkuasa, bangsa ini akan melindungi semua suku, agama, dan mampu memberi keamanan dan perdamaian.

Berkumpulnya tokoh-tokoh dan massa tersebut juga dapat menjadi sinyal lain. Kelompok-kelompok ini tengah menjalin hubungan dan memadukan kekuatan. Kelompok-kelompok tersebut semakin terhimpun dan menunjukkan taji. Polarisasi massa ini dapat memudahkan dan meluruskan jalan bagi kelompok oposisi ini dalam menyerang pemerintah. Selain itu, massa yang terhimpun ini juga dapat mempermudah pengumpulan massa jelang Pilpres 2019 nanti. Partai-partai non-pemerintah yaitu PKS dan Gerindra juga terlihat kian mesra melalui aksi ini. Kedua partai ini pamer kebersamaan melalui isu kemanusiaan di Myanmar ini.

Muncul dan bergabungnya nama-nama besar di Aksi Bela Rohingya perlu dilihat secara lebih dalam. Sepintas kelompok ini hanya ingin mengungkapkan kekecewaan pada pemerintah terkait langkah yang diambil pada krisis kemanusiaan Rohingya. Meski begitu, langkah ini bisa menjadi sinyal dari sesuatu yang lebih besar. Bisa saja ini bukan hanya bising (noise) tetapi langkah awal jelang 2019 nanti. Jadi, noise atau signal? (H33)

Exit mobile version