Site icon PinterPolitik.com

PKS Menghilang dari Panggung Pilpres?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) didamping Presiden PKS Sohibul Iman dan Salim Segaf Al-jufri (Issak Ramadhan/JawaPos.com)

Panggung Prabowo di Pilpres 2019 kini tak lagi dikuasai orang-orang PKS, melainkan lebih sering diisi oleh kader PAN dan Gerindra. Ada apa PKS?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]artai Keadilan Sejahtera (PKS) setia bersama Partai Gerindra dan Ketua Umumnya, Prabowo Subianto, setidaknya sejak Pilpres 2014 lalu. Dikala senang dan dikala susah, mereka tidak meninggalkan Prabowo dan Gerindra. Begitulah kata Prabowo pada Milad ke-20 PKS pada April 2018 lalu.

Kesetiaan PKS kepada Prabowo memang tak perlu diragukan. Mereka tak pernah meninggalkan Prabowo ketika satu persatu pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 justru kini beralih mendukung Jokowi.

Kawan Prabowo di Pilpres 2014 seperti Golkar dan PPP sudah merasakan kehangatan berada di dalam pemerintahan Jokowi. PAN yang kini ada di barisan Prabowo juga sempat pula menjadi bagian kekuasaan Jokowi. Hanya PKS yang selalu memilih setia dan tak meninggalkan Prabowo dan Gerindra ketika mereka berjuang di jalur oposisi.

PKS setia dan tak meninggalkan Prabowo dan Gerindra ketika mereka berjuang di jalur oposisi Share on X

Namun, akhir-akhir ini, hubungan harmonis PKS dan Prabowo seperti meredup. Pentolan PKS seperti Mardani Ali Sera atau Hidayat Nur Wahid seolah menghilang dari peredaran publik. Panggung kampanye Prabowo di Pilpres 2019 kini bukan lagi dikuasai orang-orang PKS, melainkan lebih sering diisi oleh kader PAN dan Gerindra.

Padahal dulu politisi PKS lantang berada di garis terdepan bersama Prabowo dalam mengoreksi kebijakan pemerintah, hingga mengkampanyekan tagar#2019GantiPresiden ke seluruh penjuru negeri. Lalu, mengapa kini PKS terkesan menarik diri?

Menatap Agenda Lain PKS

Pemilu 2019 sudah berada di depan mata. Selain Pilpres, masyarakat Indonesia juga akan berpartisipasi dalam kontestasi Pemilihan Legislatif (Pileg) yang diadakan serentak pada tahun depan. Semua partai terlihat telah melakukan pembenahan internal untuk meraih target maksimal pada Pileg 2019. Tidak terkecuali PKS.

Baru-baru ini, DPP PKS menerbitkan surat edaran kepada seluruh anggota Fraksi PKS DPR RI untuk melakukan optimalisasi coattail effect atau efek ekor jas dariSandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo di Pilpres 2019. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Presiden PKS, Muhammad Sohibul Iman.

Menurut Kathy Gill, dalam tulisannya berjudul The Coattail Effect in Politics, istilah coattail effect digunakan untuk menggambarkan dampak pencalonan seorang calon presiden terhadap Pemilihan Legislatif. Bisa dikatakan, pada setiap Pemilihan Legislatif, pemilih cenderung memilih partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.

Mungkin itulah alasan mengapa PKS mengarahkan kader untuk memaksimalkan efek ekor jas dari Sandiaga. Sandi dipilih karena Prabowo sudah terlalu melekat dengan Gerindra. Artinya, semakin PKS mempromosikan Prabowo di hadapan publik, bukan tak mungkin efek ekor jas dari popularitas Prabowo justru akan jatuh ke partai Gerindra, bukan ke partai putih-putih itu.

Sementara PKS juga  terlihat ketar-ketir dalam menghadapi Pileg kali ini. Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutPileg 2019 akan menjadi “kuburan” bagi banyak partai. PKS pun ikut terancam karena dari hasil survei itu, elektabilitasnya hanya 3,9 persen. Sementara untuk lolos dari ambang batas parlemen, PKS harus meraih suara minimal 4 persen.

Selain LSI Denny JA, lembaga survei Y-Publica pada bulan September 2018 lalu menunjukkan elektabilitas PKS baru mencapai 3 persen atauturun dari hasil survei pada bulan Mei yang mencapai 3,2 persen.

Belum lagi, PKS sedang dilanda “gempa politik” dimana partai tersebut sedang mengalami perpecahan internal. Di bawah kepemimpinan Sohibul Iman, PKS memang tercatat beberapa kali memecat kader-kadernya yang dianggap telah membangkang. Fahri Hamzah adalah salah satu korban dari pemecatan sepihak tersebut.

Selain pemecatan, kader PKS di beberapa daerah pun ramai-ramai mengundurkan diri dari partai dengan sejumlah alasan. Di Bali, kader PKS mundur massal karena merasa pimpinan PKS otoriter dan anti demokrasi. Di Medan, kader PKS mundur karena menduga pemecatan pimpinan PKS wilayah Medan dilakukan dalam rangka “bersih-bersih” partai.

Pemecatan itu tentu saja akan berdampak pada elektabilitas PKS sebagai peserta Pemilu 2019. Apalagi kader-kader PKS itu tak tinggal diam setelah dipecat dan mundur. Mereka buka suara terhadap permasalahan internal PKS. Maka, bukan tidak mungkin, di tahun politik seperti ini partai tersebutjustru akan semakin dirugikan dengan insiden pemecatan hingga pengunduran kader tersebut.

Bisa saja, karena alasan-alasan itulah saat ini PKS sudah jarang muncul di hadapan publik bersama Prabowo. Mungkin PKS sedang mengincar kelolosan dari ambang batas parlemen di Pileg nanti ketimbang mempromosikan Prabowo yang kemungkinan besar lebih menguntungkan Partai Gerindra.

Di beberapa daerah – misalnya di Bali – juga muncul isu bahwa kader PKS justru mendukung pencalonan Jokowi karena dianggap lebih menguntungkan untuk kemenangan mereka dalam Pileg.Jokowi memang masih jauh lebih populer di daerah dibanding Prabowo, sehingga menyatakan anti terhadap Jokowi justru berpeluang membuat PKS tak mampu meraih suara pada Pileg.

Pada titik inilah, PKS seperti mengambil langkah untuk menyelamatkan diri ketimbang fokus pada Pilpres. Melalui surat edaran untuk memaksimalkan efek ekor jas Sandiaga, PKS seperti mengajak para kader untuk berfokus meraih hasil maksimal di Pileg tahun depan.

PKS Kecewa?

Selain mengincar hasil maksimal pada Pileg 2019, sepertinya kekecewaan menjadi salah satu faktor penentu mengapa PKS saat ini jarang tampil dalam kampanye politik Prabowo.PKS, sebagai teman paling setia Prabowo seperti tak mendapatkan tempat dalam koalisi pendukung Prabowo.Mengapa begitu?

Sebelum Prabowo menunjuk Sandiaga Uno sebagai cawapresnya, PKS cukup “galak” kepada Prabowo. Kegalakkan tersebut ditunjukkan ketika PKS mengancam akan pecah kongsi dengan Prabowo jika tidak dapat posisi cawapres.

Alih-alih memberi ruang bagi kader PKS untuk mengisi posisi cawapres, Prabowo justru memilih Sandiaga Uno yang saat itu adalah kader Gerindra. Namun ancaman pecah kongsi itu pun tak pernah terjadi. Hingga kini, partai itu masih bergabung dalam koalisi Prabowo.

Selain itu, dalam tulisan berjudul Perang Bargaining Gerindra-PKS di PinterPolitik.com, disebutkan adik Prabowo, Hasim Djojohadikusumo, diduga berada di balik pengambilan keputusan tersebut. Hashim adalah salah satu petinggi Gerindra dan penyandang dana pencapresan Prabowo di Pilpres 2019.

Berbeda dengan Prabowo, Hashim yang adalah seorang non-muslim dan nasionalis disebut-sebut memiliki ketidaksukaan terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa Front Pembela Islam (FPI) tidak akan pernah menjadi bagian dari koalisi Gerindra di tahun 2014.

Ketidaksukaan Hashim terhadap Islam garis keras pun dikarenakan Partai Gerindra yang ia dirikan bersama Prabowo ingin memperjuangkan pluralisme, multi-religi dan multi-etnis. Maka sangatlah wajar ketika Hashim melihat FPI sebagai ancaman karena menurutnya ormas itu kerap kali melakukan kekerasan terhadap kalangan minoritas di Indonesia.

Kontribusi Hashim dalam pencapresan Prabowo bisa saja menjadi faktor penentu mengapa Prabowo tidak memilih cawapres dari PKS.PKS adalah partai berbasis Islam dan punya sejarah panjang terkait cita-citanya,berbeda dengan Gerindra sebagai partai nasionalis.Bisa saja keputusan untuk memilih Sandiaga dikarenakan Prabowo sangat mendengarkan saran-saran dari Hashim.

Dalam sebuah dialog dengan warga Tionghoa, Hashim sempat menyebut kedekatan Prabowo dengan kelompok Islam garis keras bisa terjadi karena tak mungkin adiknya itu menolak dukungan yang diberikan kepadanya.

Selain posisi cawapres, Gerindra pun seperti enggan memberikan kursi Wagub DKI Jakarta kepada PKS yang sebelumnya terlihat menjadi “barter” terhadap posisi cawapres yang diberikan kepada Sandi. Padahal, PKS merasa sudah cukup setia pada Prabowo selama ini.

Kekecewaan politisi PKS pun tak terbendung, salah satunya diungkapkan oleh Hidayat Nur Wahid. Ia merasa, semua lini sudah diambil oleh Gerindra. Mulai dari posisi cawapres sampai kursi Wagub DKI Jakarta.

Kini, PKS seperti “anak kelinci” dalam Koalisi Adil dan Makmur.Ambisi politik PKS seperti telah diredam oleh Prabowo dan Gerindra. Mungkin saja kehadiran PAN, Demokrat hingga Partai Berkarya dalam koalisi Prabowo semakin membuat PKS tidak memiliki bargaining kuat dalam koalisi.Sehingga mau tak mau PKS harus manut dengan segala keputusan politik dari Prabowo.

Di sisi lain, dengan kampanye #2019GantiPresiden, PKS tentu saja tak mungkinmerapat ke kubu Jokowi. Maka sangatlah wajar jika saat ini PKS seperti setengah hati dalam mendukung Prabowo.

Ibarat menelan obat, PKS harus menelan semua rasa pahit tersebut demi memperjuangkan ambisi besar untuk mengalahkan Jokowi.

Maka bisa disimpulkan, mungkin karena alasan-alasan itulah PKS terkesan menghilang dari panggung Pilpres. PKS sangat mungkin mulai melihat dukungan mereka terhadap Prabowo tidak memberikan keuntungan besar bagi partai tersebut.

Di titik ini, Prabowo harus berhati-hati.Pasalnya, mesin politik PKS terbukti telah berhasil mempopulerkan tagar #2019GantiPresiden ke berbagai penjuru.PKS adalah salah satu partai yang terkenal karena militansi kadernya.

Jika Prabowo tak pintar dalam merangkul PKS, bukan tak mungkin iapun bisa dirugikkan pada Pilpres 2019 ketika partai tersebutsetengah hati mendukungnya. Maka memperkuat koalisi adalah hal yang wajib dilakukan oleh Prabowo.Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (D38)

Exit mobile version