Istana Negara menjadi saksi bagi pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tokoh-tokoh asal Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu. Namun, pertemuan tersebut dinilai tidak sepenuhnya mewakili masyarakat di pulau ujung timur Indonesia tersebut.
PinterPolitik.com
“You might need a hand to enhance your performance ‘” – Lupe Fiasco, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Selepas perjuangan kemerdekaan, Indonesia perlu menghadapi berbagai kekuatan yang tumbuh dari dalam negeri. Berbagai gerakan lain bermunculan menjadi tantangan bagi kontrol dari pemerintah pusat.
Salah satu wilayah bagi penantang terhadap kontrol pemerintah Indonesia adalah Papua. Pulau besar yang berada di ujung timur Indonesia ini memiliki sejarah mengenai kedaulatan yang simpang siur, dari adanya Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), dorongan referendum, hingga Perjanjian New York 1962.
Terlepas dari polemik status wilayah tersebut, Papua (dan Papua Barat) tetap berada di bawah kedaulatan pemerintah Indonesia hingga lima dekade berikutnya. Berbagai permasalahan sosial dan ekonomi menghantui pulau tersebut hingga kini.
Momentum dorongan kemerdekaan Papua pun kembali mencuat setelah beberapa waktu lalu terjadi insiden-insiden rasial terhadap kelompok mahasiswa Papua di beberapa wilayah Jawa Timur. Akibatnya, gelombang demonstrasi meluap di berbagai daerah di Papua dan Papua Barat.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu tengah berfokus dengan rencana pemindahan ibu kota secara mendadak dihadapkan dengan gelombang demonstrasi yang beralih menjadi kerusuhan. Akhirnya, berbagai manuver dilakukan oleh pemerintah, dari pemblokiran jaringan internet hingga pengejaran pihak-pihak yang diduga menjadi provokator.
Meski dianggap terlalu santai dan lambat dalam menangani kerusuhan yang terjadi di Papua, Presiden Jokowi akhirnya mulai bergerak dengan bertemu dengan berbagai tokoh Papua. Setidaknya, sekitar 61 tokoh Papua datang berkunjung ke Istana dan mengajukan beberapa permintaan.
Pertemuan tersebut bisa dibilang monumental karena menghasilkan wacana besar lain, yakni membangun istana kepresidenan baru di Papua. Tentunya, pertemuan tersebut tidak terbebas dari kritik. Beberapa pihak menilai permintaan yang diajukan tidak sesuai dengan permasalahan inti.
Selain itu, tokoh-tokoh Papua di pertemuan tersebut juga dipertanyakan. Siapa sebenarnya tokoh-tokoh tersebut? Lalu, apa makna dari pertemuan mereka dengan Jokowi sebenarnya?
Simbolis atau Substantif?
Sebanyak 61 tokoh asal Papua dan Papua Barat yang hadir dalam pertemuan dengan Jokowi di Istana Negara ditengarai tidak memenuhi keterwakilan masyarakat Papua sepenuhnya. Bisa jadi, pertemuan tersebut hanya mewujudkan representasi yang simbolis, bukan substantif.
Tokoh-tokoh tersebut mengajukan sembilan permintaan terhadap sang presiden, seperti penempatan pejabat asal Papua di lembaga-lembaga pusat, pembentukan lembaga adat, pembangunan asrama mahasiswa nusantara, hingga pembangunan istana kepresidenan di Papua. Dalam pengajuan permintaan itu, tokoh-tokoh ini diwakili oleh Abisai Rollo.
Setidaknya, Abisai meyakini bahwa sembilan poin permintaan tersebut dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang terjadi di Papua. Namun, pandangan yang berbeda datang dari beberapa tokoh Papua lainnya.
Yan Christian Warinussy – pengacara dan aktivis hak asasi manusia (HAM) – misalnya, menilai bahwa pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi yang berarti, karena permintaan-permintaan yang diajukan dinilai tidak menyasar dasar permasalahan, yakni rasisme dan diskriminasi etnis.
Apa yang dikatakan Yan bisa jadi beralasan. Pasalnya, representasi substantif juga diperlukan dalam menentukan keterwakilan. Boleh jadi, pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Papua beberapa waktu lalu hanya mewujudkan representasi yang bersifat deskriptif.
Situasi yang menggambarkan perbedaan representasi deskriptif dan substansif ini pernah dibahas oleh Beth Reingold dalam bukunya yang berjudul Representing Women. Reingold menjelaskan bahwa peningkatan keterwakilan secara deskriptif memang membawa dampak baik bagi keterbukaan akses terhadap kelompok minoritas.
Namun, Reingold menyebutkan bahwa perwakilan deskriptif – didasarkan pada komponen etnis dan gender – tidak selau dapat sepenuhnya menghasilkan perwakilan substantif. Dalam kasus anggota legislatif di AS misalnya, Reingold menemukan perilaku voting antara anggota perempuan tidak berbeda secara signifikan dengan anggota laki-laki.
Namun, bagaimana dengan pertemuan tokoh-tokoh Papua dengan Jokowi?
Meskipun Reingold lebih berfokus pada perwakilan di lembaga legislatif, konteks serupa bisa saja diaplikasikan pada pertemuan tokoh-tokoh Papua dengan Jokowi beberapa waktu lalu. Pasalnya, tokoh-tokoh tersebut juga dianggap mewakili permintaan masyarakat Papua.
Namun, keterwakilan tersebut bisa saja tidak terpenuhi secara substantif. Tokoh-tokoh Papua yang hadir saat itu dinilai oleh Yan tidak sepenuhnya secara sukarela datang, melainkan lebih karena berasal dari hasil pilihan dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Belum lagi, beberapa tokoh disinyalir memiliki bias politik. Abisai yang menjadi juru bicara dalam pertemuan itu misalnya, merupakan Ketua DPRD Kota Jayapura yang berasal dari Partai Golkar. Abisai juga merupakan mantan Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 untuk Kota Jayapura.
Perwakilan yang hanya bersifat simbolis ini juga terlihat dari terlibatnya kelompok-kelompok gerakan Papua yang lantang menyuarakan berbagai isu terkait keinginan kemerdekaan Papua, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFP), Presidium Dewan Papua (PDP), Dewan Adat Papua (DAP), dan kelompok-kelompok mahasiswa Papua. Oleh sebab itu, pertemuan ini bisa jadi tidak dapat menyelesaikan permasalahan Papua secara substantif.
Lalu, bila perwakilan tersebut disinyalir hanya bersifat simbolis, mengapa pemerintahan Jokowi tetap melaksanakan pertemuan tersebut? Apa signifikansinya?
Refeudalisasi Ruang Publik
Dengan perwakilan yang hanya bersifat simbolis, persoalan Papua tidak akan sepenuhnya selesai. Namun, pertemuan tokoh-tokoh Papua dengan presiden tersebut bisa jadi memberikan signifikansi tertentu bagi pemerintahan Jokowi.
Pertemuan tersebut bisa jadi merupakan publisitas yang dimanipulasi. Setidaknya, istilah itulah yang dicetuskan oleh Jürgen Habermas dalam Teori Ruang Publik (Public Sphere) miliknya.
Berkantor di Papua, bukan sekadar berkunjung ke Papua. Itu satu dari sekian permintaan 61 tokoh Papua dalam pertemuan di Jakarta, kemarin. Mereka ingin Istana Presiden dibangun di Papua.
Tokoh Papua, Pak Abisai Rollo bahkan siap menyumbangkan tanah seluas 10 ha. pic.twitter.com/fm0qouRcNY
— Joko Widodo (@jokowi) September 11, 2019
Habermas melihat ruang publik merupakan sebuah ruang yang diisi oleh individu-individu yang secara bersama menentukan kebutuhan bersama sebagai masyarakat. Baginya, opini publik merupakan komponen penting dalam sebuah demokrasi.
Namun, ruang publik pada abad ke-20 dinilai Habermas mengalami refeudalisasi (refeudalization), yakni terpusatnya ruang publik terhadap sejumlah individu. Refeudalisasi ini terjadi karena adanya meningkatnya peran dan industri public relations (PR) dan periklanan.
Dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere, otoritas publik – seperti politisi, partai politik, dan kelompok kepentingan – pada akibatnya menggunakan cara yang sama, yakni menciptakan publisitas. Dengan begitu, entitas politik tersebut dapat memperoleh dukungan dari masyarakat.
Akibatnya, refeudalisasi membuat penampilan dan representasi politisi lebih terlihat dibandingkan dengan debat publik yang rasional. Dengan mengutip Thompson, Sonia Livingstone dan Peter Lunt dalam tulisan mereka yang berjudul The Mass Media, Democracy and the Public Sphere menjelaskan bahwa ruang publik pada akhirnya menjadi teater bagi pertunjukkan yang dimanipulasi oleh para politisi guna mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
Penggunaan teknik-teknik performatif ini setidaknya pernah dilakukan oleh politisi-politisi di luar negeri. Graham Murdock dalam tulisannya yang berjudul Refeudalisation Revisited menjelaskan bahwa sosok-sosok seperti Donald Trump dan Boris Johnson menggunakan teknik performatif guna mendapatkan dukungan.
Lalu, apakah pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Papua tersebut juga merupakan hasil dari refeudalisasi ruang publik?
Dengan pertemuan yang didasarkan pada perwakilan simbolis, bisa jadi pemerintahan Jokowi tengah menciptakan publisitas tertentu. Melalui publisitas tersebut, publik yang rasional dan kritis akan bertransformasi menjadi bersifat persuasif.
Selain itu, publisitas yang dimanipulasi ini bisa jadi berkaitan dengan strategi politik Jawa yang disebut-sebut kerap digunakan oleh politisi-politisi Indonesia, termasuk Jokowi. Dalam politik ala Jawa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power, pertemuan-pertemuan yang performatif menjadi ritual atas pengumpulan “pusaka” guna memusatkan kekuatan ke dirinya.
Mungkin, seperti lirik rapper Lupe Fiasco di awal tulisan, pemerintah seperti masih memerlukan bantuan dari tokoh-tokoh itu guna “menyelesaikan” persoalan Papua – meski beberapa tokoh tersebut tampaknya memiliki bias tertentu. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.