Survei terbaru dari LSI Denny JA menyebutkan ada penurunan yang cukup signifikan yang terjadi pada elektabilitas PDIP. Partai banteng itu juga disebut mulai kehilangan pemilih dari kelompok Islam. Dengan posisinya sebagai partai penguasa, konteks kondisi ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Akankah PDIP masih menjadi partai pemenang di Pemilu kali ini? Atau posisinya akan digeser oleh partai-partai lain?
PinterPolitik.com
“There’s one political party in this country, and that’s the corporate party”.
:: John Hall, politisi AS ::
[dropcap]B[/dropcap]agi generasi yang lahir di tahun 1990-an, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP mungkin menjadi salah satu ikon politik paling diingat di era tersebut. Sosok Megawati Soekarnoputri sebagai sang Ketua Umum menjadi salah satu tokoh politik yang paling banyak diberitakan kala itu.
Kini, dua dekade setelah era yang menandai kejatuhan pemerintahan Soeharto itu, PDIP masih menjadi kekuatan utama politik nasional Indonesia. Sekalipun sempat menyandang status oposisi selama dua periode kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), partai banteng itu berhasil meraih status partai berkuasa setelah menang pada Pemilu 2014 dan kandidat yang diusungnya berhasil memenangkan kursi tertinggi di negeri ini.
Digdaya PDIP memang seolah tak terbendung sejak 2014 lalu. Citra Soekarnois, nasionalis dan progresif – walaupun identitas terakhir tidak lagi begitu jelas kelihatan – masih menjadi warna utama kampanye politik partai tersebut dan membuatnya memiliki basis pemilih yang sangat besar.
Publik hanya menyaksikan sosok seperti Rocky Gerung yang menyebut kekuatan utama PDIP adalah kuasa atas Badan Intelijen Negara (BIN) berbekal hubungan dengan pimpinan lembaga tersebut. Share on XNamun, jelang Pemilu 2019, PDIP agaknya perlu lebih mengencangkan ikat pinggang dan mulai tancap gas mengamankan suara. Pasalnya, survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan bahwa PDIP mengalami penurunan tingkat elektabilitas dalam 3 bulan terakhir.
Pada Desember 2018 lalu, elektabilitas partai banteng itu masih ada di angka 27,7 persen. Kini dukungan politik yang diraih hanya ada di kisaran 23,7 persen. Penurunan tersebut menurut LSI Denny JA disebut akibat mulai hidupnya mesin partai-partai yang lain.
Konteks penurunan ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada Partai Gerindra yang justru mengalami peningkatan elektabilitas dari 12,9 persen pada Desember 2018, menjadi 14,6 persen pada Januari 2019. Posisi ini tentu menarik mengingat Gerindra kini adalah lawan politik utama PDIP, terutama dalam konteks kandidat Pilpres.
Selain itu, PDIP juga mengalami penurunan pemilih dari kelompok muslim. Pada Agustus 2018 lalu, elektabilitas partai merah itu di kalangan pemilih muslim menyentuh angka 23,2 persen. Jumlah tersebut turun menjadi hanya 18,4 persen pada Januari 2019.
Memang masih terlalu awal untuk melihat kemungkinan hasil akhir perolehan suara di Pemilu mendatang. Namun, mungkinkah kondisi ini menunjukkan bahwa partai banteng itu mulai ditinggal pemilihnya? Lalu apakah mungkin Pemilu 2019 menghasilkan partai pemenang baru?
Tuah Partai Banteng
Sejak reformasi hingga saat ini, memang baru ada 3 partai politik yang pernah memenangkan Pemilu. PDIP memenangkannya dua kali, yakni pada Pemilu 1999 dan 2014. Lalu, ada Partai Golkar yang memenangkan kontestasi politik tersebut di tahun 2004 dan Partai Demokrat yang menjadi penguasa di Pemilu 2009.
Jika diperhatikan secara seksama, hanya Golkar yang menjadi partai tanpa tokoh sentral. Sementara, PDIP punya Megawati Soekarnoputri dan Demokrat punya SBY. Artinya, tuah partai penguasa memang mayoritas punya ketergantungan pada sosok tertentu.
Dalam konteks PDIP, memang untuk waktu yang sangat lama, partai ini bergantung pada sosok Megawati. Sekalipun kemunculannya adalah akibat benturan kepentingan politik antara Soeharto dengan Benny Moerdani yang pada dekade 1980-an menjabat sebagai Panglima ABRI dan memainkan perimbangan kekuasaan, namun posisi sentral politik Mega adalah kombinasi faktor ideologis dan biologis yang didapatnya dari sang ayah, Soekarno.
Konteks Soekarno ini menjadi sangat penting bagi PDIP. Pasalnya, survei Indo Barometer pada pertengahan 2018 lalu menyebutkan bahwa sang proklamator adalah sosok pemimpin paling berhasil kedua setelah Soeharto.
Sentralnya sosok Soekarno memang tidak lepas dari peran dan kharisma presiden pertama Indonesia itu dalam gerakan perjuangan kemerdekaan. Sekalipun era kekuasaannya disebut oleh majalah The New Yorker edisi 23 November 1968, “diwarnai mismanagement dan kebangkrutan negara” serta makin otokratik, sosok Soekarno adalah idola politik yang hingga kini masih dipuja oleh banyak bagian dari masyarakat.
Ideologi PDIP sendiri memang punya pertalian dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada 1927, sekalipun citra politik yang ditampilkan sering kali tidak sejalan. Setidaknya hal itu tergambar dari kritik yang sering disampaikan oleh saudari Mega, Rachmawati Soekarnoputri.
Belakangan, citra Soekarnois ini juga mendapatkan tantangannya setelah anak-anak Soeharto juga mulai kembali ke panggung politik. Persoalan Soekarnos vs Soehartos – sebutan untuk anak-anak dan keturunannya – ini masih menjadi salah satu wajah utama politik Indonesia, sekalipun banyak pihak mencoba untuk mengesampingkan hal tersebut.
Pasalnya, Soeharto masih lebih populer dibanding Soekarno – setidaknya menurut survei Indo Barometer. Selain itu, citra politik PDIP sebagai “lawannya” Orde Baru belakangan terlihat mulai luntur. Pada Pemilu 1999, citra PDIP masih dianggap sebagai antitesis rezim Soeharto, sehingga mampu meraih 33 persen suara nasional.
Jumlah ini terus menurun, bahkan setelah itu PDIP tak pernah meraih suara sampai 20 persen. Hanya Golkar dan Demokrat yang mampu melakukannya di 2004 dan 2009. Pada Pemilu 2014, PDIP hanya mampu meraih 18,95 persen suara.
Jika demikian, dengan elektabilitas pesaing – katakanlah Gerindra – yang kini sudah menyentuh angka 16 persen, mungkinkah PDIP akan tersusul?
Jawabannya tergantung. PDIP masih menikmati coat-tail effect atau efek ekor jas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini diusungnya lagi. Artinya, jika Jokowi masih kuat secara politik, ada dampak secara langsung yang dirasakan oleh PDIP. Hal ini terlihat dari survei-survei sebelumnya yang bahkan menempatkan elektabilitas PDIP di level hingga 27,7 persen.
Persoalannya tinggal bagaimana partai banteng menjaga dukungan politiknya diambil oleh partai-partai nasionalis sejenis yang ada di koalisi Jokowi. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo, Nasdem atau Hanura adalah contoh-contohnya.
Selain itu, dukungan kelompok Islam kepada Prabowo juga akan menjadi tantangan lain yang harus juga dihadapi.
Menuju Cartel Party?
Saat ini PDIP telah ada di level ruling party atau partai penguasa yang menduduki kursi paling banyak di parlemen dan kadernya menjadi pemimpin di negeri ini. Namun, dengan posisi kekuasaannya saat ini, PDIP sangat mungkin berubah menjadi party of power yang punya kekuasaan berlebihan di eksekutif, bahkan menjadi cartel party atau yang memanfaatkan konteks kekuasaan eksekutif dan sumber daya negara untuk memenangkan kembali Pemilu.
Istilah ini digunakan oleh Richard S. Katz dan Peter Mair ketika membahas perubahan model partai politik yang terjadi di banyak negara. Cartel party umumnya terjadi karena penurunan partisipasi politik yang dialami oleh banyak parpol, sehingga membuat mereka bergantung pada negara – dalam hal pendananaan dan strategi pemenangan – yang tidak sedikit juga menggunakan cara-cara yang kolusif.
Hal tersebut juga dibahas oleh Klaus Detterbeck dari University of Göttingen dengan menambahkan 3 poin yang menjadi tolok ukur menilai arah artai politik, yaitu peran politiknya (penguasa atau oposisi), kompetisi dan struktur organisasinya.
Bagaimana dengan konteks PDIP? Memang tidak ada yang bisa membuktikan hal tersebut secara pasti. Publik hanya menyaksikan bagaimana sosok seperti pengamat politik Rocky Gerung menyebut kekuatan utama PDIP adalah kuasa atas Badan Intelijen Negara (BIN) berbekal hubungan dengan pimpinan lembaga tersebut.
Pernyataan ini tentu saja tidak berlebihan jika dinilai dari konteks pertalian kepentingan yang terjadi. Hal itu belum lagi dihitung dari jabatan-jabatan politik lain yang berhubungan dengan partai tersebut.
Artinya, penurunan suara PDIP memang berpotensi sulit terjadi jika mampu memanfaatkan statusnya sebagai partai berkuasa.
Namun, tidak ada yang pasti di dalam politik. Jika tetap berleha-leha dan hanya berharap pada efek Jokowi – yang nyatanya juga diperebutkan partai-partai lain di koalisi – tidak menutup kemungkinan suara PDIP akan tersusul oleh partai lain.
Yang jelas, seperti kata John Hall di awal tulisan, hanya ada satu partai di negeri ini, yaitu partainya “pengusaha”. Dengan demikian, siapa yang paling kencang kantong dan pengusahanya, dialah yang menang. (S13)