Jokowi dan Sandiaga belakangan kerap kunjungi pasar tradisional, melihat sebagai heartland dalam kontestasi Pilpres 2019.
Pinterpolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]oko Widodo (Jokowi) dan Sandiaga Uno (Sandi) akhir-akhir ini rajin mengunjungi pasar tradisional di berbagai daerah. Keduanya saling melempar klaim terkait kondisi lapangan tersebut.
Dalam berbagai kunjungannya, Sandi kerap menyampaikan bahwa harga kebutuhan pokok masih cenderung mahal dan tidak stabil.
Untuk menyederhanakan persoalan yang didapatinya, Sandi membuat pernyataan yang cukup sensasional, misalnya dengan adanya temuan tempe setipis ATM, hingga tempe saset. Fenomena ini menurut Sandi akibat mahalnya bahan baku kedelai.
Pasar tradisional ibarat heartland bagi Jokowi dan Sandiaga. Share on XSementara itu, Jokowi turut rajin blusukan untuk memastikan bahwa harga-harga tetap stabil, dan memastikan “nyanyian” Sandi terkait harga yang melonjak. Menurut Jokowi, , harga sejumlah bahan pangan di pasar tergolong stabil.
Jika dilihat dari polanya, nampak sedang terjadi “perang” di antara dua kandidat Pilpres tersebut di ranah pasar tradisional. Saling jual beli “serangan” terbuka rajin dipertontonkan keduanya akhir-akhir ini.
Oleh sebab itu, patut ditelaah mengapa keduanya menggunakan pasar tradisional sebagai instrumen kampanye politik, serta apa makna penting pasar tradisional itu sendiri, terutama dalam suasana Pilpres 2019?
Pasar Sebagai Produk Budaya
Berbicara tentang pasar tradisional, sudah dipahami bahwa pasar tradisional adalah lokasi atau tempat bertemunya penjual dan pembeli di mana terjadi tawar-menawar harga atas barang-barang yang dijual biasanya merupakan barang kebutuhan sehari-hari.
Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke-5 Masehi dengan sistem transaksi barter. Bahkan di beberapa relief candi nusantara diperlihatkan cerita tentang masyarakat zaman kerajaan ketika bertransaksi jual beli walaupun tidak secara detail.
Secara antropologis, pasar tradisional merupakan salah satu representasi dari pranata budaya ekonomi lokal. Dengan demikian, terancamnya keberadaan budaya pasar tradisional turut mempengaruhi keberadaan kebudayaan suatu masyarakat. Konsep yang dipakai untuk menempatkan pasar dalam kebudayaan suatu masyarakat adalah budaya pasar (market culture).
Ini suasana Pasar Cihaurgeulis, pasar tradisional di Bandung yang saya kunjungi pagi tadi. Saya membeli ubi, kangkung, dan bayam.
Ternyata, harga bahan pokok di sini sama saja dengan harga di pasar-pasar yang sudah saya kunjungi seperti Pasar Bogor dan Pasar Anyar, Tangerang. pic.twitter.com/IGCoqqGbSu
— Joko Widodo (@jokowi) November 11, 2018
Hal yang menarik dari pasar tradisional adalah bahwa pasar tradisional menyangkut hajat hidup masyarakat yang lebih banyak, dan mayoritas adalah masyarakat kecil. Keberadaan pasar mempunyai pengaruh besar terhadap taraf atau mutu kehidupan masyarakat, pola pertumbuhan, dan prospek perkembangan ekonominya.
Dalam Merencana Pasar Tradisional di Wilayah Yogyakarta, Rizon Pamardi-Utomo menulis bahwa pasar tradisional mempunyai nilai strategis yang tinggi dalam memelihara keseimbangan pembangunan wilayah dan pengendali roda perekonomian.
Sampai saat ini, pasar tradisional masih eksis perannya di Indonesia dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, terutama bagi kelas menengah ke bawah.
Peranan pasar sebagai pusat ekonomi maupun sebagai pusat kebudayaan akan mendatangkan dampak sosial bagi masyarakat sekitarnya. Pasar tradisional bukan hanya sekedar ruang jual-beli, akan tetapi sebagai lembaga sosial yang terbentuk karena proses interaksi sosial dan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan demikian, pasar tradisional bernuansa unik yakni sebagai karakter sosial budaya masyarakat lokal di mana pasar tersebut terselenggara.
Pivot Area
Lantas, apa hubungannya dengan Pilpres? Melihat pentingnya keberadaan pasar tradisional, sudah barang tentu kandidat yang berkontestasi akan memusatkan perhatiannya pada sektor riil tersebut.
Apalagi, saat ini isu yang sangat mudah dikembangkan adalah permasalahan ekonomi. Pasar tradisional dianggap sebagai representasi yang paling dekat dengan mayoritas masyarakat Indonesia.
Pasar tradisional menjadi titik temu dari berbagai macam kepentingan dari beragam kelas dan golongan. Dalam konteks Pilpres, pasar tradisional seolah menjadi heartland atau jantung daratan di mana posisi tersebut sangat “seksi” untuk diperebutkan oleh kandidat yang bertarung dalam Pilpres 2019.
Saya dan Pak @prabowo akan melindungi para pedagang tradisional ini, dan kami akan merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang sudah tidak layak sehingga bisa lebih mensejahterakan para pedagang pasar ini.
— Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) November 6, 2018
Sir Halford J. Mackinder mengemukakan sebuah teori untuk menganalisis fenomena geopolitik dunia. Mackinder berpendapat bahwa, pusat dunia berada dalam zona yang dinamakannya sebagai pivot area, wilayah tersebut terletak pada tengah-tengah dunia yaitu Rusia, Asia Tengah, Tiongkok, sampai Timur Tengah. Di sekililing pivot area terdapat inner dan outer crescent, yang paling luar disebut Mackinder sebagai world island.
Dalam pembayangan tersebut, Mackinder mengatakan bahwa siapa saja yang dapat menguasai pivot area, ia bisa menguasai jantung daratan atau heartland, lalu barang siapa dapat meguasai jantung daratan, maka ia dapat menguasai inner dan outer crescent, maka ia dapat menguasai seluruh dunia.
Jika menggunakan pisau analisis Mackinder, bisa dikatakan bahwa pasar tradisional adalah area pivot yang memiliki nilai strategis tinggi bagi kepentingan dua belah pihak. Pasar tradisional sebagai ruang hidup mempertemukan beragam kelas dan kepentingan.
Pasar tradisional tidak hanya bisa dimaknai sebagai tempat untuk bertransaksi (nilai ekonomi), namun memiliki nilai sosial dan budaya yang kuat bagi lingkungan sekitar.
Dengan menguasai pasar tradisional tersebut, akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan dengan tertariknya wilayah inner dan outer atau lingkungan masyarakat sekitar.
Data survei AC Nielsen tahun 2013 menunjukkan, jumlah pasar rakyat di Indonesia terus mengalami penurunan. Tahun 2007 pasar rakyat berjumlah 13.550, tahun 2009 berjumlah 13.450 dan tahun 2011 berjumlah 9.950. Meskipun begitu, pasar tradisional masih memiliki daya pikat tinggi bagi mayoritas masyarakat Indonesia karena mudah dijangkau dan biasanya dekat dengan lingkungan warga.
Sementara itu, berdasarkan data IKAPPI (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia), hingga saat ini terdapat 12.625.000 pedagang pasar tradisional. Secara jumlah, angka ini bisa dikatakan cukup besar mengingat masih ada area inner dan outer – bisa diasumsikan sebagai keluarga – yang bisa ikut ditarik.
Lips Service Jokowi-Sandi
Seperti diketahui, pasar tradisional selalu dijadikan panggung politik oleh para elite politik dalam melakukan kampanye seperti melakukan berdialog dengan para pedagang ataupun menjanjikan sesuatu tentang pasar tersebut jika terpilih kelak.
Misalnya saja pada tahun 2014, Jokowi mengguanakan pasar tradisional sebagai salah satu medan kampanye dan menjanjikan revitalisasi 5.000 pasar tradisional. Sementara hingga 3,5 tahun perjalanannya, Jokowi telah merenovasi atau membangun 2.600 pasar tradisional.
Sementara itu, dalam survei Indonesia Monitoring Development (IDM) pada 2017, terdapat 77,3 persen responden yang menjawab pemerintah tidak merealisasikan janji membangun ekonomi kerakyatan dan tidak memprioritaskan pasar tradisional sebagaimana dalam kampanyenya. 14,1 persen menilai pemerintah telah merealisasikan janjinya dan 8,6 persen lainnya menjawab tidak tahu.
Hingga saat ini, Jokowi dan Sandi rajin blusukan ke pasar tradisional. Bahkan Sandi mengaku dalam setahun dirinya sudah melakukan kunjungan ke 200 pasar tradisional. Hasil kunjungannya ke pasar atau informasi yang diperolehnya dari para pedagang maupun emak-emak yang berbelanja di pasar kemudian menjadi sering dinarasikannya menjadi dua hal pokok. Yaitu, pertama, harga-harga di pasar naik. Kedua, daya beli masyarakat menurun.
Beberapa temuannya yang mendapatkan perhatian publik adalah ketika ia menyebut dengan Rp100.000 hanya dapat cabai dan bawang. Kemudian komentarnya perihal adanaya tempe setipis ATM dan tempe saset.
Selanjutnya, dari berbagai temuannya itu, Sandi berjanji akan melakukan perubahan apabila dirinya terpilih menjadi wakil presiden kelak.
Sementara di pihak lain, Jokowi ikut turun gunung untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Sandi, atau dalam kata lain Jokowi tidak ingin bahwa narasi yang dikembangkan oleh Sandi menjadi pembenaran oleh publik.
Oleh karenanya, dalam temuannya ke pasar tradisional, Jokowi mengungkap bahwa harga-harga barang pokok stabil dan tidak ada pelonjakan harga sebagaimana disebutkan oleh Sandi.
Dua kandidat ini saling serang untuk dengan melempar klaimnya masing-masing.
Dari agenda keduanya, masih sangat diragukan keseriusannya untuk benar-benar memperhatikan pasar tradisional. Blusukan dua kandidat tersebut hanya sebatas seremonial simbolik untuk mendapatkan dukungan politik.
Preseden ini muncul karena kunjungan mereka intens pada masa tahun politik seperti saat ini. Perhatian itu terkonsentrasi pada masa kampanye Pilpres. Hal ini sudah terbukti dengan minimnya realisasi dari kampanye Jokowi di 2014.
Sementara Sandi sebagai penantang tidak memiliki konsep tandingan yang jelas dan terukur. Sandi sejauh ini hanya memberikan kritik terhadap Jokowi dengan mengatakan harga naik dan daya beli menurun.
Pasar tradisional dengan segala kompleksitasnya hanya dijadikan komoditas politik dan gaining momentum dua kandidat tersebut, mempengaruhi psikologi publik dengan simbolisasi tokoh yang memiliki perhatian pada kondisi perekonomian rakyat kecil.
Pada akhirnya, pasar tradisional yang memiliki arti penting bagi masyarakat luas, hanya dijadikan ruang untuk mendulang suara. Perlu ada langkah yang lebih konkret agar Jokowi atau Sandi bisa mengamankan heartland tersebut. (A37)