Site icon PinterPolitik.com

NU-Muhammadiyah Padamkan Pembakaran Bendera?

Foto: Alinea.id

Pembakaran bendera di Garut berbuntut panjang, ada kalangan yang kecewa hingga melakukan aksi demonstrasi. Sementara NU dan Muhammadiyah melakukan pertemuan untuk meredam konflik semakin besar. Lebih dari itu, publik menunggu sikap pemerintah, terutama Jokowi sebagai kepala negara.


Pinterpolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]embakaran bendera di Garut beberapa waktu lalu menimbulkan ekses yang sangat panjang. Isu ini terus bergulir membuat kondisi di tengah kontestasi Pemilihan Presiden semakin gaduh.

Unjuk rasa memprotes pembakaran bendera terjadi di berbagai daerah, mulai Jakarta, Solo, hingga Garut. Ratusan hingga ribuan pendemo di kota-kota itu juga terlihat membawa dan mengibarkan bendera yang tengah menjadi polemik tersebut.

Oleh karenanya, dua organisasi besar Islam yakni NU dan Muhammadiyah melakukan pertemuan guna membicarakan terkait permasalahan tersebut dan bagaimana mengahadapi tantangan bangsa di masa yang akan datang.

Dalam pertemuannya, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah sepakat agar polemik pembakaran bendera di Garut tidak perlu diperpanjang.

Meski begitu, himbauan tersebut nampaknya kurang diperhatikan, terutama bagi kelompok yang merasa dirugikan dari pembakaran bendera. Hal itu terlihat dari, misalnya akan ada aksi lanjutan dengan tajuk Bela Tauhid jilid II yang akan dilakukan oleh Presidium Alumni (PA) 212, kelompok sama yang melakukan demo terhadap mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Mereka menganggap, meskipun para pembakar bendera sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun dalang atau orang di balik pembakaran bendera itu belum ditemukan. Atas alasan itu, mereka tetap akan melakukan demonstrasi.

Lantas, dengan kondisi tersebut, bagaimana proses demokrasi di Indonesia ke depannya? Mungkinkah persoalan ini menyebabkan konflik sektarian, seperti yang banyak pengamat ramalkan?

Bermula dari Bendera

Para santri di Garut sedang memperingati Hari Santri Nasional yang kebetulan jatuh pada hari Senin. Garut adalah satu dari sekian kota yang ikut merayakan selebrasi tersebut. Di tengah kerumunan massa, tiba-tiba terjadi aksi pembakaran bendera oleh beberapa orang.

Bendera tersebut berwarna hitam dan memiliki lafal tauhid dalam agama Islam. Video pembakaran secepat kilat beredar di media sosial, menuai beragam tanggapan hingga akhirnya menyulut pertentangan sosial.

Gelombang massa berhamburan di berbagai daerah, sehari setelah insiden pembakaran bendera terjadi. Mereka mendesak agar kepolisian segera menangkap para pelaku karena menganggap bendera yang dibakar memuat tulisan tauhid. Selain itu, mereka menuntut agar Banser (Barisan Ansor Serbaguna) meminta maaf.

Di hari yang sama, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham (Menkopolhukam) Wiranto mengumpulkan sejumlah pejabat di kantornya, termasuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Sementara itu, pejabat Mabes Polri lainnya juga berembuk di kantor Majelis Ulama Indonesia.

Insiden ini secara nyata menimbulkan eskalasi sosial politik yang panjang. Hingga saat ini, aksi tersebut masih menjadi pembicaraan di ruang publik dan memicu kemarahan beberapa kelompok massa.

Gambaran tersebut setidaknya mirip dengan apa yang dilukiskan oleh Anton C. Zijderveld dalam bukunya The Abstract Society: A Cultural Analysis of Our Time. Anton menyebut bahwa dalam masyarakat (society) adalah sebuah konsep yang abstrak (abstract), atau terpisah dengan dimensi sosial lainnya.

Anton mengkritik modernisme yang menciptakan sekat-sekat dalam kelompok, hal ini menimbulkan seseorang merasa terbelah dengan kondisi lainnya (the others) dan menciptakan perasaan terdiferensiasi. Lebih lanjut, kondisi tersebut menciptakan keterbelahan.

Dalam konteks Indonesia, situasi ini disebabkan oleh mayoritas masyarakat masih mengonsumsi berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian bernada SARA. Bertebarnya informasi menyesatkan dan rendahnya tingkat literasi masyarakat, menyebabkan mudahnya terjebak pada kebencian.

Perlu diterima bahwa yang terjadi pada pemandangan sosial politik Indonesia kerap didominasi  aktor oleh kelompok Islam.

Kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi Islam politik yang kembali mendapat tempat sejak peristiwa Ahok. Mengikuti argumentasi Profesor Studi Media dari Universitas Rutgers, Deepa Kumar bahwa Islam politik lahir karena ada tendensi yang berorientasi pada pendirian kekuasaan Islam.

Mereka percaya bahwa hanya melalui perjuangan politik, atau perebutan kekuasaan di tangan kaum muslim, Islam bisa ditegakkan secara paripurna.

Rentan Konflik Sektarian?

Adanya pembelahan dalam lanskap sosial politik Indonesia seperti sekarang ini semakin menegaskan mudahnya terjadi konflik sektarian. Tiap menjelang Pemilu, baik Pilkada maupun Pilpres, sektarianisme mencuat ke permukaan publik. Ini pula yang terjadi menjelang Pilpres kail ini.

Masyarakat terbelah menjadi beberapa kelompok yang saling berhadap-hadapan yang dapat memicu konflik horizontal. Kali ini, yang terjadi sesama kelompok Islam. Intoleransi yang berkembang di Indonesia disebabkan oleh keyakinan masyarakat pada konspirasi atau informasi yang diragukan kebenarannya.

Terutama bagi umat Muslim, yang sebagian besarnya selalu merasa terancam. Perasaan itu berasal dari kecemasan menjadi korban musuh, yang bisa diidentifikasi sebagai kekuatan politik lain.

Lebih jauh, kondisi ini sebenarnya ditunggangi oleh para peternak politik untuk kepentingan politiknya dengan mendengungkan perasaan terancam itu. Psikologi masyarakat dengan mudah disetir dan dapat mengarah pada kejadian negatif, bahkan hingga skala besar.

Setidaknya, hal itu terlihat ketika demonstrasi bela tauhid yang merespon pembakaran bendera. Di tengah demonstrasi, seruan masa berubah menjadi aksi 2019 ganti presiden.

Insiden pembakaran bendera ini memang mudah diasosiasikan kepada Jokowi. setidaknya terdapat dua hal yang bisa membuat itu terjadi. Pertama, Banser sebagai pelaku pembakaran adalah bagian dari NU yang mantan Rais Aam-nya, Ma’ruf Amin, menjadi wakil Jokowi.

Kedua, karena dalam kasus ini Jokowi dinilai kelompok Islam yang marah seperti melakukan pembiaran, sebab pelaku pembakaran belum dihukum.

Dalam kondisi seperti ini, rentan dipolitisasi dengan isu-isu agama yang mengarah pada sektarianisme. Politisasi isu agama itu menyebabkan rentannya kerukunan beragama.

Tentu saja hal ini bukanlah hal yang sehat dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi yang seharusnya berkembang dalam narasi yang rasional dan egaliter, dewasa ini banyak tercederai oleh sentimen-sentimen sektarian yang kontraproduktif dengan konsensus berdemokrasi.

Oleh karenanya, perlu adanya kebijaksanaan pemerintah dan keyakinan publik terhadap otoritas hukum.

Kebijaksanaan Pemerintah, NU-Muhammadiyah Berperan Penting

Menengok masalah kebangsaan yang cukup menggelisahkan, maka langkah PB NU dan PP Muhammadiyah dengan melakukan pertemuan merupakan langkah yang tepat. Dua organisasi itu dikenal sebagai pengayom umat. NU dan Muhammadiyah memiliki akar yang panjang terhadap kontribusi kehidupan sosial kebudayaan di Indonesia.

Dalam pertemuannya, dihasilkan empat butir kesepakatan yang dapat membantu meredam eskalasi konflik. Empat kesepakatan itu yang pertama adalah, Muhammadiyah dan NU berkomitmen kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan NKRI yang berdasarkan asas Pancasila sebagai sistem kenegaraan yang Islami.

Kedua, mendukung sistem demokrasi dan proses demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan nasional yang dilaksanakan secara profesional, konstitusional, adil, jujur dan berkeadaban.

Lalu ketiga, meningkatkan komunikasi dan kerja sama yang konstruktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun masyarakat yang makmur baik material maupun spiritual, serta peran politik kebangsaan melalui program pendidikan, ekonomi dan kebudayaan serta bidang strategis lainnya.

Terakhir, Muhammadiyah dan NU mengimbau di tahun politik ini semua pihak agar mengedepankan kearifan, kedamaian, toleransi dan kebersamaan di tengah perbedaan politik, kontestasi politik diharapkan berlangsung damai cerdas, dewasa serta menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara.

Dari empat poin tersebut, jelas bahwa NU dan Muhammadiyah menjalankan fungsinya untuk menjaga Indonesia dari disintegrasi bangsa dan konflik sektarian.

Sementara itu, langkah positif itu perlu disinergikan terhadap peran pemerintah untuk menghadapi isu tersebut. Pemerintah, dalam hal ini Jokowi perlu mengembalikan nilai luhur politik pada pemerintahan yang membuat kebijaksanaan.

Perlu ada upaya baik seruan maupun tindakan dengan cara yang membawa kemslahatan bukan kehancuran, atau membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan.

Kebijaksanaan ini, dalam ilmu pemerintahan yang mengendalikan tugas administratif dalam mengatur kehidupan umum berdasarkan prinsip keadilan. Atau mudahnya, langkah itu adalah seni mengatur dan menangani urusan rakyat yang mendatangkan kemaslahatan bagi mereka.

Dalam kadar tertentu, hal ini akan memberikan dampak positif bagi posisi Jokowi sebagai presiden sekaligus petahana. Secara pemerintahan, Jokowi akan dinilai sebagai pemerintahan yang responsif terhadap permasalahan kebangsaan. Sementara secara politis, hal itu akan memberikan dampak elektoral bagi kepentingan Pilpres 2019. Dalam konteks ini, potensi aksi atau perpecahan apapun yang mendelegitimasi kekuasaannya dapat ditangani.

Dengan demikian, persoalan pembakaran bendera ini semoga tidak berlarut-larut hingga menghabiskan energi bangsa. Namun, tidak menutup kemungkinan aksi-aksi serupa persitiwa Ahok akan terus berlanjut, selama tidak ada titik temu. (A37)

Exit mobile version