Pernyataan politikus Hanura, Inas Nasrullah Zubir yang menyebut Prabowo menghadirkan paham neo-orbanazisme tak lain adalah bagian dari culture of fear – politik ketakutan. Hal ini nyatanya justru menggambarkan bahwa kubu Jokowi terjebak dalam politik ketakutan yang dimainkan oposisi, bahkan sangat mungkin menyiratkan bahwa sang petahana “sedang takut kalah”. Survei terbaru Kompas membuktikan semuanya.
PinterPolitik.com
“It is not death that a man should fear, but he should fear never beginning to live.”
:: Marcus Aurelius (121-180 M), filsuf dan kaisar Romawi ::
[dropcap]E[/dropcap]ntah sejak kapan manusia mengenal rasa takut. Yang jelas kisah tentang Phobos – keturunan Ares sang dewa perang dan Aphrodite sang dewi cinta dalam mitologi Yunani kuno – adalah awal mula manusia mempersonifikasi rasa takut. Dari Phobos lahirlah fobia – istilah yang sering disejajarkan dengan kata tertentu sebagai gambaran rasa takut.
Setidaknya, dalam konteks kekinian, tak perlu sampai ke level fobia untuk memahami perkataan Inas Nasrullah Zubir. Politisi Partai Hanura itu memang tengah menggunakan keturunan Ares dan Aphrodite itu dalam pernyataannya tentang Prabowo Subianto.
Angin kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2016 dengan political of fear dan politik identitas kini terlihat seperti digunakan oleh Prabowo. Share on XInas menyebut Prabowo Subianto kini membawa paham baru dalam politik Indonesia dan mengembalikan paham Orde Baru (Orba) ke panggung politik nasional.
Menurut Inas, ciri-ciri politik Orde Baru yang penuh dengan persekongkolan politik telah kembali lagi ke permukaan dalam Pilpres 2019. Hal ini menurutnya tampak dari kembalinya keluarga Soeharto dengan Prabowo – sang menantu – sebagai bagian darinya, ke panggung politik nasional. Titiek dan Tommy Soeharto sebagai anak-anak Soeharto pun saat ini telah berdiri di barisan pendukung Prabowo.
Sementara itu, sosok Prabowo pun menurut Inas membawa gaya kepemimpinan yang sangat mirip dengan neo-nazisme – paham yang mengadopsi nilai dan gaya politik Nazi Jerman ala Adolf Hitler.
Inas menyebut ciri-ciri nazisme seperti kesetian absolut kepada pemimpin, adanya xenophobia atau ketakutan berlebih kepada identitas asing, dan masifnya propaganda politik, menunjukkan bahwa Prabowo sedang membangkitkan gerakan ekstrem kanan baru tersebut.
Partai Gerindra misalnya disebut tidak memiliki Musyawarah Nasional (Munas) untuk memilih Ketua Umum. Absolutisme kekuasaan partai inilah yang membuat Inas menyebut Prabowo membawa Orde Baru dan neo-nazisme secara bersamaan, yang ia sebut sebagai neo-orbanazisme.
Tentu saja pemberian istilah yang menohok tersebut menimbulkan tanda tanya. Di satu sisi, pernyataan Inas ini bisa disebut sebagai kampanye negatif (negative campaign) karena bukan fitnah, namun merugikan kubu Prabowo.
Dalam konteks Orde Baru misalnya, harus diakui saat ini anak-anak Soeharto memang ada di kubu Prabowo. Demikian pun dengan tuduhan xenophobia yang selama ini selalu dikampanyekan oleh Prabowo lewat tagline “anti asing”.
Adapun soal kekuasaan absolut bisa dilihat dari AD/ART Partai Gerindra yang menariknya tidak memuat satu pun bagian tentang “Munas”. Memang ada Musyawarah Daerah, Cabang, dan Ranting. Namun, dalam konteks kepemimpinan nasional, tak ada satu bagian pun yang mengatur tentang kepemimpinan Ketua Umum.
Artinya, memang kekuatan pimpinan partai sangat absolut pada diri Prabowo sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina. Selain itu, Prabowo dan nasionalismenya memang cenderung ada di framing politik kanan, walaupun tidak sampai pada level Nazi Jerman.
Sementara di sisi lain, pernyataan Inas tentang isu kembalinya Orde Baru dengan bumbu ala Nazi ini memang menunjukkan bahwa kubu Presiden Joko Widodo (Jokowi) – dengan Hanura sebagai salah satu partai pendukungnya – pun tidak mampu mengemas kampanye yang lebih positif dan cenderung kembali ke isu-isu lama yang boleh jadi menjadi satu-satunya alasan mengapa Jokowi mampu memenangkan pertarungan di 2014 lalu: ketakutan akan Orde Baru.
Tentu pertanyaannya adalah akankah strategi membuka luka lama ini bisa berhasil kembali seperti 2014 lalu?
Budaya Ketakutan, Jokowi-Prabowo Sama Saja
Tuduhan neo-orbanazisme yang dikeluarkan Inas memang patut dicurigai. Pasalnya, sebagai politisi Partai Hanura, pernyataan Inas yang menunjuk Prabowo sebagai bagian dari Orde Baru ibarat “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.
Pasalnya, justru identitas Orde Baru juga melekat pada Hanura sebagai partai yang dipimpin oleh Wiranto. Nama terakhir adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di era-era akhir kekuasaan Soeharto.
Bahkan, jika ditelusuri, masih kuatnya Keluarga Cendana hingga saat ini adalah karena Wiranto. Pidatonya pasca pengunduran diri Soeharto yang menyebutkan bahawa “ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan Soeharto dan keluarganya” merupakan alasan tetap bertahannya gurita kekuasaan Cendana.
Dengan kata lain, Wiranto adalah jaminan mengapa “persekongkolan politik keluarga Soeharto” yang disebut Inas sebagai bagian dari gerakan pemenangan Prabowo, bisa terjadi. (Baca: Cendana, Alasan Gagalnya Reformasi?)
Pada titik ini, pernyataan Inas bersifat ilusif dan sebenarnya hanya ingin mengait-ngaitkan rekam jejak Prabowo dengan kekuasaan Soeharto, padahal di saat yang sama junjungannya adalah bagian dari pelanggengan kekuasaan Cendana tersebut.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa penyebutan neo-orbanazisme tidak lain adalah cara Inas – sebagai bagian dari kubu Jokowi – untuk mendiskreditkan rekam jejak Prabowo.
Pasalnya, persoalan rekam jejak adalah hal yang sangat intrinsik dalam kontestasi politik sekelas Pilpres. Dengan menyebut Prabowo membawa kembali Orde Baru, tentu saja masyarakat akan melihat posisi mantan Danjen Kopassus itu sebagai bagian dari rezim yang kolusif dan otoritarian. Posisi tersebut tentu saja sangat merugikan citra Prabowo di hadapan pemilih rasional.
Lalu, bagaimana dengan konteks neo-nazisme – paham yang punya sejarah kelam di Eropa – yang juga disebut Inas?
Isu ini nyatanya sempat menjadi konsen pemberitaan media-media asing pada Pilpres 2014 lalu. Saat itu, Ahmad Dhani yang adalah juru kampanye Prabowo, memakai pakaian dengan embel-embel ala Nazi dalam sebuah video dan sempat menjadi pertanyaan besar tentang kehadiran gerakan ultra kanan tersebut.
Walaupun pertaliannya masih perlu studi lain yang lebih mendalam untuk melihat kerkaitannya, namun memang terlalu ambisius untuk menyebut Prabowo membawa neo-nazisme – sekalipun bukan tidak mungkin juga berhubungan. (Baca: Menuju Bangkitnya Fasisme Indonesia)
Yang jelas, Inas menyuguhkan politik ketakutan akan Prabowo dengan dua paham yang punya dampak buruk secara global dan lokal.
Hal ini sesuai dengan pemikiran sosiolog Amerika Serikat (AS) Barry Glassner tentang konsep culture of fear atau budaya ketakutan. Menurut Glassner, ketakutan sering kali digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik lewat bias emosional.
Walaupun pendukung Orde Baru masih sangat banyak, namun tidak ada yang meragukan bahwa masih banyak masyarakat yang takut pada rezim yang berkuasa 32 tahun tersebut. Demikian pula halnya dengan nazisme yang dianggap sebagai salah satu “luka peradaban” terbesar dalam dua abad terakhir.
Artinya, Inas sedang memainkan culture of fear tersebut agar masyarakat tidak memilih Prabowo dan sebaliknya memilih Jokowi yang dianggap sebagai pemimpin yang jauh lebih “aman”.
Retorika ini nyatanya masih menjadi senjata pamungkas kubu Jokowi, katakanlah misalnya ketika Budiman Sudjatmiko – juru kampanye Jokowi yang lain – menyebut Prabowo sebagai bagian dari “kekuasaan elite lama”. Ketakutan akan kisah sejarah tersebut dimanfaatkan sebagai jalan politik untuk merebut basis massa.
Namun, aksi yang dilakukan Inas ini juga patut disayangkan. Ini menunjukkan bahwa baik kubu Prabowo maupun Jokowi sama-sama menggunakan politik ketakutan tersebut untuk tujuan politik – membenarkan pidato politik Presiden Prancis, Emmanuel Macron saat berkunjung ke AS, bahwa dunia saat ini memang dipenuhi oleh politik ketakutan.
Justru, kata-kata Inas ini akan merugikan kubu Jokowi, khususnya di hadapan pemilih kritis yang akan menilai hal tersebut secara negatif. Bagaimanapun juga, ketakutan memang telah menjadi bagian intrinsik dalam politik, sama seperti ketika mantan Wapres AS, Al Gore menyebutnya bertujuan untuk mendistorsi publik dari kenyataan.
Jokowi Fear of Losing?
Tentu pertanyaannya adalah mengapa strategi politik ketakutan ini digunakan kubu Jokowi? Jawabannya sangat mungkin adalah karena ketakutan itu sendiri. Culture of fear sangat mungkin digunakan oleh Jokowi karena fear of losing atau takut kalah jelang kontestasi Pilpres 2019.
Denny JA, sang pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memang menyebut Jokowi unggul atas Prabowo dalam 3M: money, media dan momentum.
Namun, jika berkaca dari hasil survei terbaru yang dikeluarkan Litbang Kompas, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin hanya menyentuh angka 52,6 persen berbanding 32,7 persen milik Prabowo-Sandiaga Uno.
Jika dibandingkan dengan survei Kompas pada Oktober tahun 2017 lalu, peningkatan dukungan terhadap Jokowi hanya menyentuh angka 6 persen. Bandingkan dengan dukungan untuk Prabowo yang mengalami peningkatan mencapai 3 kali lipat milik Jokowi dari 18 persen berdasarkan survei sebelumnya.
Selain itu, angka 52,6 persen tersebut belum tergolong aman untuk calon petahana. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjelang Pilpres 2009 misalnya, memiliki elektabilitas di atas 71 persen. Hal itu menjamin kemenangan SBY dengan perolehan suara di atas 60 persen saat pemungutan suara berlangsung.
Sementara elektabilitas Jokowi kini hanya tipis berada di atas 50 persen. Jika marjin 10 persen SBY itu dijadikan patokan, hal ini tentu saja berbahaya untuk petahana. Mungkin inilah yang membuat sehari yang lalu Jokowi sempat meminta timnya untuk tidak terbuai dari hasil survei karena memang belum aman.
Konteks fear of losing menunjukkan bahwa kampanye politik di Pilpres 2019 sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan 2014 lalu. Segala cara kembali digunakan, termasuk dengan politik ketakutan lewat neo-orbanazisme ala Inas.
Perasaan takut kalah ini juga tampak dari ulasan Majalah Tempo minggu ini yang menyebut adanya “tim bayangan” yang dibentuk oleh Jokowi untuk tugas pemenangannya. Apalagi, angin kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2016 dengan political of fear dan politik identitas kini digunakan oleh Prabowo.
Dengan demikian tampak jelas adanya pertalian antara ketakutan politik kubu Jokowi tersebut dengan neo-orbanazisme ala Inas.
Pada akhirnya publik memang masih akan disuguhi culture of fear ini hingga hari pemungutan suara nanti sebab seperti kata Marcus Aurelius di awal tulisan ini, bukan kematian yang menakutkan, tetapi mungkin ketidakmampuan Jokowi untuk memulai periode kedua kekuasaannya. Viva, Phobos! (S13)