Site icon PinterPolitik.com

Mungkinkah Revolusi Pasca Pemilu?

Mungkinkah Revolusi Pasca Pemilu?

Permadi sebut revolusi adalah solusi situasi politik nasional (Foto: istimewa)

Munculnya narasi “revolusi” beberapa waktu terakhir memang menjadi babak baru isu politik yang diperbincangkan pasca Pemilu 2019. Beberapa tokoh menggaungkan aksi perlawanan atas dugaan kecurangan Pemilu dengan menggunakan kekerasan dan melampaui konstitusi, sementara yang lain berlindung di bawah narasi revolusi damai. Faktanya, bahaya perpecahan dan kondisi yang lebih buruk sangat mungkin terjadi – hal yang sesungguhnya berakar dari negosiasi kepentingan di tingkat elite.


PinterPolitik.com

“Power is not a means, it is an end. One does not establish a dictatorship in order to safeguard a revolution; one makes the revolution in order to establish the dictatorship”.

:: George Orwell (1903-1950), novelis Inggris ::

Revolusi dan people power adalah dua terminologi yang digunakan oleh beberapa pihak sebagai narasi menentang dugaan adanya kecurangan Pemilu 2019, pun – suka tidak suka – sebagai artikulasi kekecewaan terhadap hasil kontestasi elektoral yang sudah mulai menuju ke titik akhir.

Meski memiliki pemaknaan yang berbeda, baik revolusi maupun people power identik dengan gerakan massa besar yang melakukan tuntutan tertentu – dalam hal ini menuntut keadilan terhadap dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2019.

Hal ini salah satunya dilakukan oleh politisi senior Partai Gerindra, Permadi yang mencuri perhatian masyarakat setelah tersebarnya sebuah video berisi pernyataannya yang menyebut urgensi revolusi pasca Pemilu 2019. 

Jika kondisi dalam negeri kacau, mereka-mereka itu akan melenggang dengan jet pribadinya ke Jepang, Maldives, Hong Kong, dan lain sebagainya. Share on X

Dalam video tersebut, Permadi bahkan seolah-olah “menginginkan” terjadinya pertumpahan darah – hal yang menurutnya merupakan satu-satunya solusi dari kondisi politik yang saat ini terjadi di tingkat nasional.

Mantan politisi PDIP itu juga menyebutkan bahwa solusi yang konstitusional tidak akan mungkin terwujud dan tidak akan membawa jalan keluar yang menguntungkan bagi pihaknya – dalam hal ini kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra itu juga menyebutkan bahwa saat ini musuh utama pihaknya bukanlah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, ataupun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, melainkan Tiongkok yang disebutnya sebagai tangan besar yang ada di balik situasi politik yang kini terjadi di Indonesia dengan segala kepentingannya.

Dengan nada yang keras, ia juga mengajak berbagai pihak untuk tidak takut menghadapi situasi kalau-kalau revolusi tersebut terjadi.

Pernyataan Permadi ini tentu memiliki nuansa yang berbeda dengan sikap beberapa faksi pendukung Prabowo-Sandi. Ijtima Ulama III misalnya, merekomendasikan agar kubu oposisi tersebut menggunakan jalur legal-konstitusional untuk melawan kecurangan Pemilu.

Sementara, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi secara resmi telah menyatakan menolak people power dan memilih melaporkan kecurangan Pemilu ke Bawaslu.

Belakangan diketahui bahwa beberapa pihak telah melaporkan Permadi ke kepolisian terkait pernyataannya tersebut. Ia dianggap telah melakukan ujaran kebencian. 

Bahkan, laporan terbaru dari politikus PDIP Stefanus Asat Gusma menyangkutkan Permadi dengan tuduhan makar. Penyebutan entitas etnis tertentu, ajakan untuk tidak tunduk pada konstitusi dan melakukan revolusi, menurut Stefanus adalah bagian dari upaya makar tersebut. Apalagi, revolusi identik dengan menjatuhkan sistem negara dan menghancurkan pemerintah yang sah.

Terlepas dari video dan laporan polisi atas aksi Permadi, di beberapa forum dan pemberitaan, wacana revolusi dalam bentuk yang berbeda menjadi topik yang juga hangat dibicarakan. Adalah istilah “revolusi damai” yang disebut sangat mungkin terjadi jika berbagai tuduhan kecurangan Pemilu dan segala persoalannya tidak juga bisa terselesaikan.

Istilah ini muncul dalam tulisan Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan di portal RMOL. Dalam tulisannya tersebut, ia menyebutkan bahwa konteks situasi “yang tersakiti” terjadi secara merata – dalam hal ini dialami oleh hampir separuh dari rakyat Indonesia yang tentu saja menjadi pemilih Prabowo.

Tentu pertanyaan terbesarnya adalah apakah revolusi – baik dalam pemikiran Permadi maupun dalam pemikiran Syahganda – bisa terjadi pasca Pemilu 2019?

Mungkinkah Revolusi Pemilu?

Revolusi kerap diartikan sebagai tranformasi sosial-politik fundamental yang umumnya terjadi seketika (sudden change) dalam hubungan dengan kekuasaan maupun struktur kemasyarakatan. 

Revolusioner asal Rusia, Leon Trotsky membedakan revolusi ke dalam political revolution dan social revolution, di mana kategori yang pertama hanya melibatkan pergantian pucuk kekuasaan tanpa mempengaruhi struktur sosial dan kepemilikan properti, sementara kategori terakhir melibatkan perubahan yang menyeluruh termasuk struktur sosial masyarakat. 

Reformasi 1998 adalah contoh political revolution karena hanya mengganti pucuk kekuasaan – terbukti dengan masih berkuasanya elite Orde Baru hingga saat ini.Sementara Revolusi Bolshevik pada 1917 adalah social revolution karena menghancurkan struktur sosial masyarakat yang kala itu dikuasai oleh otokrasi tsaris di bawah Kekaisaran Rusia.

Aristoteles membahasakannya secara berbeda dalam karyanya Politics. Menurut murid dari Plato itu, revolusi bisa diklasifikasikan dalam konteks signifikansi perubahan konstitusional yang terjadi. Artinya, ada revolusi yang benar-benar mengganti secara keseluruhan konstitusi negara, namun ada pula yang hanya memodifikasi sebagian saja. 

Terkait wacana revolusi pasca Pemilu 2019, memang tidak begitu jelas apakah tujuannya adalah social revolution ataukah sekedar political revolution. Juga belum begitu jelas apakah perubahannya adalah mengganti konstitusi secara utuh atau hanya memodifikasi saja.

Namun, jika diperhatikan, Permadi juga sempat menyinggung bahwa sangat perlu konstitusi negara dikembalikan ke UUD 1945 versi asli yang belum diamandemen. Artinya secara konstitusional, perubahan yang diinginkan sangat mungkin parsial.

Selain itu, ada konteks rasial yang juga disinggung oleh pria yang dikenal percaya dunia klenik tersebut, yakni ketika ia berbicara tentang korban pertumpahan darah dan Tiongkok. Sangat mungkin hal ini mengarah pada struktur sosial masyarakat secara keseluruhan yang ujungnya menunjuk pada keinginan terjadinya social revolution.

Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut mungkin terjadi?

Jawabannya tentu saja cukup sulit. Pasalnya revolusi membutuhkan gerakan masyarakat yang besar atau mayoritas. Sementara, konteks Pemilu 2019 – jika hasilnya tidak berubah sesuai dengan perhitungan yang saat ini dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) – dukungan untuk Prabowo-Sandi hanya mencapai angka 43-45 persen saja.

Selain itu, para pemilih Prabowo-Sandi pun tampaknya banyak yang tak setuju dengan gagasan people power, apalagi revolusi. BPN sebagai badan resmi telah menolak ide tersebut. Faksi koalisi oposisi seperti Partai Demokrat, PAN dan PKS juga sangat mungkin menolaknya.

Bahkan, kelompok-kelompok berbasis agama yang umumnya keras, justru mengeluarkan rekomendasi lewat Ijtima Ulama III agar dugaan kecurangan disikapi secara prosedural-konstitusional.

Lalu, apakah itu berarti Permadi berdiri sendiri dalam isu tersebut? Jawabannya mungkin ya dan mungkin juga tidak. Di satu sisi, revolusi mungkin hanya menjadi delusi atau keyakinan Permadi semata. Namun, bukan tidak mungkin memang ada “segelintir orang” yang benar-benar menginginkannya.

Politik Kekuasaan: Revolusi Damai?

People power secara definitif memang cukup sulit terjadi di Indonesia saat ini. Apalagi, menurut mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali, syarat-syarat people power – seperti krisis ekonomi yang benar-benar menyengsarakan, serta krisis politik dan budaya – tidak terjadi.

Kondisi ekonomi saat ini memang tidak cukup baik, namun tidak seburuk katakanlah yang terjadi pada tahun 1998. Krisis politik yang menyebabkan pemerintahan tidak berjalan juga tidak sedang terjadi. Begitupun dengan krisis kebudayaan dan tidak berfungsinya pranata sosial, hilangnya identitas bangsa, dan runtuhnya semangat kebersamaan – semuanya juga belum cukup terjadi.

Namun, people power dalam konteks gerakan massa, tetap saja mungkin terjadi. Apalagi, jika tudingan kecurangan Pemilu bisa dibuktikan dan benar adanya, serta kelompok-kelompok elite mampu menggerakkan massa dalam jumlah yang besar.

Hal inilah yang membuat narasi revolusi damai yang diungkapkan Syahganda Nainggolan bisa saja terjadi. Revolusi damai memang menitikberatkan pada tidak adanya korban jiwa yang dihasilkan dari gerakan tersebut.

Dalam tulisannya, Syahganda memang menyebutkan beberapa contoh, misalnya #BlackLivesMatter yang terjadi di Amerika Serikat (AS) sebagai protes penembakan warga kulit hitam, Occupy Wall Street (OWS) yang merupakan protes atas ketimpangan sosial dan ekonomi, serta The Arab Spring yang terjadi di Tunisia yang menurutnya terjadi secara damai tanpa jatuhnya korban jiwa.

Ia juga menyebutkan bahwa revolusi damai berakar dari gerakan Mahatma Gandhi di India dan Martin Luther King di AS.

Namun, patut dicatat bahwa revolusi damai Gandhi bersifat pasif. Gerakan tersebut berfokus pada dampak dari aktivitas – misalnya memboikot produk-produk tertentu – sebagai ujung dari tuntutan. Butuh lebih dari cukup jumlah mayoritas masyarakat Indonesia agar revolusi model seperti ini dapat berhasil.

Demikianpun dengan aksi Martin Luther King yang punya dimensi dan ikatan yang lebih kuat karena berbasis pada isu rasial warna kulit yang jelas terlihat. Sementara, konteks Indonesia saat ini cukup sulit untuk melihat ikatan yang demikian bisa diartikulasikan.

Memang, ada persoalan bahwa 1 persen dari populasi di negara ini menguasai 49 persen kekayaan nasional. Namun, konteks tersebut belum cukup untuk mampu menggerakan aksi massa yang besar, kecuali – katakanlah – pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok atau bahkan minus, inflasi tak terkendali, utang membengkak, dan lain sebagainya.

Jika hal-hal itu yang terjadi, maka tak butuh Permadi atau Syahganda, masyarakat pun dengan sendirinya akan tahu apa yang harus dilakukan.

Pada akhirnya, dinamika politik yang terjadi saat ini memang tak lebihnya menjadi ujung dari politik kekuasaan. Jangan sampai gara-gara perebutan kepentingan di tingkat elite, masyarakat jadi mudah diadudomba.

Sebab, jika kondisi dalam negeri kacau, mereka-mereka itu akan melenggang dengan jet pribadinya ke Jepang, Maldives, Hong Kong, dan lain sebagainya. Sementara masyarakat biasalah yang akan menangisi hilangnya masa depan anak-anak mereka. (S13)

Exit mobile version