Kedekatan Prabowo Subianto dengan kelompok Islam konservatif dalam satu gerbong politik mendatangkan kekhawatiran dari kelompok minoritas dan non-muslim. Ada ketakutan yang tersebar – tidak sedikit yang sengaja dikonstruksi – bahwa jika Prabowo terpilih akan ada perubahan signifikan, termasuk yang mengarah pada lahirnya sebuah negara Islam. Mungkinkah hal tersebut terjadi?
PinterPolitik.com
“Kepala negara adalah kepala eksekutif, dimana kepala negara bertanggung jawab atas rasa keadilan hukum didalam bernegara.”
:: Prabowo Subianto ::
[dropcap]P[/dropcap]emilihan kepala negara seharusnya menjadi hal yang menggembirakan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sebab, sang kepala negara akan menjalankan roda pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyatnya. Namun, apa jadinya jika Pemilihan Presiden (Pilpres) membuat sebagian warganya cemas seandainya salah satu kandidat menang karena kampanye yang ia usung?
Hal itu setidaknya pernah terjadi di Pilpres Amerika Serikat (AS) saat Hillary Clinton dan Donald Trump bertarung pada 2016 lalu. Seperti diketahui, Trump yang diusung Partai Republik disebut menggunakan politik ketakutan saat berkampanye. Ia dinilai membelah masyarakat antara warga kulit putih sebagai mayoritas dengan kelompok imigran, kulit hitam dan kelompok muslim sebagai minoritas.
Pembelahan ini nyatanya membawa ketakutan kepada kelompok minoritas di AS. Howida Tarabzooni, seorang mahasiswa The New York Institute of Technology, bahkan melakukan tindakan yang keluar dari apa yang ia yakini selama ini.
Beberapa jam usai pengumuman kemenangan Trump, perempuan asal Arab Saudi yang pindah ke AS sejak awal tahun 2015 lalu itu segera memutuskan untuk mengganti jilbabnya dengan memakai topi. Ia menanggalkan selembar kain yang membentuk identitasnya sejak usia 13 tahun.
Dalam wawancaranya dengan New York Daily News, Howida menyebut bahwa tindakannya itu dilakukan bukan karena ia takut dengan Trump, melainkan takut dengan pendukung fanatik Trump.
Persoalan ini tidak hanya menimpa pada Howida. Setidaknya tiga dari empat teman satu kelas Howida yang biasa mengenakan jilbab juga mengganti dengan penutup kepala lain seperti dirinya.
Faktanya, kini ketakutan semacam ini tidak hanya terjadi di AS, namun juga di negara-negara yang disebut menggunakan politik identitas untuk memenangkan Pilpres, termasuk Indonesia.
Prabowo Subianto sebagai penantang Joko Widodo (Jokowi) dianggap merangkul kelompok konservatif atau populis kanan untuk meraih simpati dari mayoritas pemilih di Indonesia yang beragama Islam, meski di sisi lain petahana menggandeng Ma’ruf Amin – yang disebut sebagai tokoh konservatif – sebagai wakilnya.
Ketakutan muncul di kalangan minoritas dan non-muslim seandainya Prabowo terpilih menjadi presiden. Sebab, kelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama, atau bahkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – demikian klaim beberapa pihak – yang cenderung ekstrem, kini ada di barisan Prabowo.
Bahkan tidak sedikit konteks ketakutan tersebut dikonstruksi dan mengarah pada kekhawatiran akan lahirnya negara Islam. Tokoh seperti Rizieq Shihab misalnya yang sering berbicara tentang konsep ayat suci di atas konstitusi – hal yang intrinsik dalam sebuah negara berbasis agama – adalah bagian dari gerbong politik Prabowo.
Tentu saja pertanyaannya adalah apakah jika Prabowo terpilih menjadi presiden, maka ketakutan dari kelompok minoritas ini akan menjadi sebuah dan apakah negara Islam seperti yang dikhawatirkan mungkin terjadi?
Inside Prabowo
Untuk memahami garis politik Prabowo hari ini, tentu saja perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana rekam jejak politik, latar belakang keluarga, maupun persona Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo pernah menegaskan jelang Pilpres 2014, bahwa keluarga mereka berlatar belakang keyakinan yang berbeda. Hashim menyebutkan bahwa ibu mereka, Dora Sigar adalah seorang Kristen sama seperti dirinya.
Sementara Prabowo adalah seorang muslim sama seperi ayah mereka, Sumitro Djojohadikusumo. Sedangkan kakak Prabowo ada yang beragama Katolik, bahkan ada sepupu Prabowo yang menikah dengan seorang Yahudi.
Selanjutnya, dalam konteks pendidikan, Prabowo adalah sosok yang mengenyam pendidikan ala Barat. Bahkan Harold Crouch dalam bukunya berjudul Political Reform in Indonesia After Soeharto, menyebut keluarga Prabowo sebagai post-colonial Dutch educated urban elite atau elite urban pasca kolonial dengan pendidikan ala Belanda.
Hal ini cenderung membuat keluarga Prabowo cukup liberal dan membebaskan pilihan-pilihan, termasuk dalam hal agama. Konteks latar belakang yang demikian tentu saja membuat citra Islami sedikit banyak tidak terlihat dalam diri Prabowo.
Konteks tersebut tentu saja akan sangat mempengaruhi pandangan-pandangan politik Prabowo saat ini terhadap Islam, pluralisme dan perbedaan-perbedaan, mengingat banyak penelitian ilmiah yang menyebutkan bahwa apa yang seseorang alami saat masih kecil di keluarganya punya pengaruh besar terhadap persepsinya ketika dewasa.
Pada titik ini, Prabowo bisa dikatakan sebagai sosok yang sekuler. Lantas, mengapa ia dianggap sebagai sosok yang mengakomodir kelompok kepentingan Islam konservatif?
Tentu saja jawabannya adalah karena kepentingan politik jangka pendek yang sedang ingin ia capai. Dalam hal ini citra Prabowo yang seolah “Islami” adalah konstruksi yang dibangun oleh koalisinya. Hal ini tentu saja untuk meraih simpati dari massa Islam yang sejak Pilkada DKI 2017 sudah satu barisan dengan Prabowo.
Artinya, identitas Islami Prabowo memang hasil konstruksi untuk kepentingan mobilisasi dukungan politik.
Kasiaaan sih prabowo di framing ky gt sama pendukungnya, seolah2 kalo Prabowo jd presiden Indonesia akan menjadi negara Islam pdhl kan keluarganya Prabowo sendiri banyak dr non-muslim?
— Monica (@mncbkr) January 8, 2019
Strategi Politik, Kekhawatiran Berlebihan?
Menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, populisme adalah praktik politik. Melalui pendekatan ini, populisme dianggap lebih mudah untuk dikaji.
Umumnya, para ahli menilai bahwa populisme, entah yang lahir karena sentimen ekonomi-politik atau karena kepentingan politik semata, merupakan buah ekspresi rasa frustrasi hebat yang tidak terdefinisikan dengan baik terhadap sebuah kondisi yang dirasa buruk, yang umumnya dituduhkan terhadap kelompok kecil elite tertentu sebagai penyebabnya.
Sebagai strategi politik, populisme selalu mewacanakan segregasi antara kelompok “kami” dan “kalian”, dengan sebutan “kami” mewakili golongan yang secara populasi lebih besar. Identitas tentang siapa kami dan siapa kalian dikonstruksi melalui politik bahasa. Sentimen ras, agama, dan lain sebagainya kerap dijadikan dasar pembedaan.
Pada titik ini, kebangkitan populisme turut terjadi di Indoneisa, dan bahkan menjadi kekhawatiran kepada kelompok minoritas. Hal itu tidak saja dicemaskan oleh kelompok minoritas dan non-muslim. Kelompok mayoritas Islam sendiri juga merasa cemas dengan adanya pergeseran dari kultur Islam yang selama ini sudah ada di Indonesia.
Islam saat ini disebut lebih condong mengarah kepada kultur Arab yang nyatanya berbeda dengan Indonesia. Hal ini salah satunya disampaikan oleh dosen teologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor Dr. Qasim Mathar yang mengatakan bahwa kekhawatiran itu disebabkan oleh paham Wahabi-Salafi yang berasal dari Timur Tengah (negara Arab) didesakkan ke dalam masyarakat Indonesia.
Kekhawatiran ini dibuktikan dengan gelombang demonstrasi besar pada tahun 2016 untuk menuntut pengusutan kasus penistaan agama Islam oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kebetulan berasal dari kelompok minoritas.
Melalui strategi mobilisasi dan menciptakan Ahok sebagai musuh bersama – ciri khas populisme – maka peristiwa bersejarah itu mendapatkan panggung. Selain itu, populisme memiliki pertalian kuat dengan kepentingan politik seseorang atau kelompok.
Peristiwa itu kemudian semakin menguatkan segregasi kelompok di masyarakat, di mana kelompok minoritas merasa lebih tertekan. Bahkan ada anggapan bahwa seandainya Prabowo menjadi presiden maka akan ada “Islamisasi” terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia.
Apakah hal itu mungkin terjadi?
Jika melihat latar belakang Prabowo dan persona pribadinya, hal tersebut sulit terjadi. Pasalnya hal tersebut bertentangan dengan kepribadian sang jenderal yang adalah sosok sekuler. Apalagi, konteks populisme Prabowo adalah sebuah strategi politik.
Dilihat dari jati diri Prabowo sebagaimana latar belakang keluarga maupun pendidikannya pun memang tidak ada kesamaan terhadap kelompok populis yang memanfaatkan penokohan Prabowo.
Pada titik ini, kedudukan antara Prabowo dengan kelompok Islam konservatif bisa dikatakan hanya sebatas kepentingan politik semata. Konteks identitas Prabowo yang diidentikkan lebih Islami nyatanya adalah sebuah constructed identity atau identitas yang dikonstruksi untuk kepentingan politik.
Walaupun demikian, segala kemungkinan memang bisa terjadi, apalagi dalam dunia politik. Yang jelas, jika memperhatikan beberapa aspek – baik pribadi Prabowo maupun loyalisnya – maka konteks menjadi negara Islam akan sulit terwujud.
Yang mungkin muncul adalah ketegangan politik di antara para pendukung sang jenderal. Pasalnya, ada dua kubu dalam koalisi Prabowo, yakni kelompok Islam konservatif yang mendukung Prabowo karena menginginkan negara Islam dan di sisi lain ada pendukung inti Prabowo – yang sudah bersama Prabowo dari awal-awal karir politiknya – yang sangat liberal dan sekuler.
Prabowo tentu sadar bahwa dia harus bisa mengendalikan kelompok konservatif yang saat ini ia jadikan kendaraan politik. Dirinya yang sekuler tentu tidak akan membiarkan kelompok konservatif mengambil kendali untuk ambisi politik mereka.
Penyebaran video saat dirinya mengikuti perayaan Natal beberapa waktu lalu mungkin menjadi cara – dan tanda – bahwa Prabowo ingin menunjukkan bahwa dia bukanlah sosok yang bisa didikte oleh kelompok konservatif. Bahkan kelompok seperti Persatuan Alumni (PA) 212 yang merupakan wadah yang terbentuk pasca Aksi 212 pun kini mempertanyakan posisi mereka dalam tim Prabowo.
Kecemasan kelompok minoritas bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam seandainya Prabowo menjadi presiden akan sulit terwujud. Share on XPada akhirnya, memang perlu ketegasan seorang pemimpin untuk memberikan rasa aman dan keadilan di tengah masyarakat. So, apakah Prabowo bisa menjadi chief executive atau penegak hukum tertinggi seperti yang ia janjikan saat debat Pilpres perdana jika menjadi presiden dan melindungi semua golongan termasuk kelompok minoritas? Menarik ditunggu. (A37)