Site icon PinterPolitik.com

Modi, Jokowi dan Politik Film

Modi, Jokowi dan Politik Film

Presiden Joko Widodo ketika menonton film Yowis Ben di Kota Malang. (Foto: Istimewa)

Industri film Bollywood disebut-sebut memiliki keberpihakan tertentu pada agenda Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (PBJ) dalam Pemilu India 2019. Keberpihakan dan politisasi industri film ini tampaknya juga terjadi di Indonesia terkait agenda politik Joko Widodo (Jokowi).


PinterPolitik.com

“A superhero make myself dinero like I’m Stan Lee” – Dumbfoundead, penyanyi rap Korea-Amerika

Hasil Pemilu India 2019 yang baru saja diumumkan oleh Komisi Pemilu India beberapa waktu lalu menunjukkan kemenangan besar bagi PBJ, partai dari PM Modi. Kemenangan ini disebut-sebut dapat membawa dampak buruk bagi kelompok Muslim di India.

Bukan hal yang aneh apabila kemenangan PBJ dianggap dapat memperburuk situasi sektarian di negara kari tersebut. Pemerintahan Modi pada periode sebelumnya memang tampak memberlakukan kebijakan dan agenda nasionalis Hindu, seperti pelabelan terhadap Muslim sebagai anti-nasionalis.

Sebagai oposisi politik PBJ dan Modi, Rahul Gandhi dan partainya, Kongres Nasional India (KNI) berusaha melawan gagasan nasionalis tersebut yang dianggap tidak ramah bagi kelompok minoritas Muslim. Dalam situs partai tersebut, KNI menjelaskan bahwa sekulerisme dan demokrasi merupakan tulang punggung bagi India.

Namun, di tengah-tengah kontestasi Pemilu tersebut, industri film Bollywood dicurigai memiliki keberpihakan tertentu pada salah satu kubu, yaitu Modi dan PBJ. Keberpihakan ini terlihat dari bagaimana film-film yang tayang menjelang Pemilu tersebut memiliki pesan-pesan yang senada dengan agenda Modi dan PBJ.

Rana Ayyub, seorang penulis dan jurnalis India, dalam artikel opininya di Al Jazeera menjelaskan bahwa pengajuan pesan-pesan ala PBJ dan Modi tersebut terlihat dalam film-film perang. Film Kesari (2019) – berarti warna kuning jingga yang identik dengan PBJ – misalnya, menunjukkan peran Kumar sebagai komandan resimen Sikh yang kelompok Pashtun di Afghanistan.

Selain Kesari, terdapat juga film Uri: The Surgical Strike (2019) yang memberikan glorifikasi terhadap aksi pemerintah India sebagai aksi heroik. Kisah dalam film nasionalis ini didasarkan pada keputusan pemerintah India pada tahun 2016 yang menyerang Pakistan sebagai respons terhadap serangan negara tersebut terhadap markas-markas tentara India di Jammu dan Kashmir.

Beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Bagaimana bias politik perfilman tersebut dapat terjadi? Mengapa industri film Bollywood memiliki bias politik? Lalu, bagaimana kondisi ini dilihat dalam perfilman Indonesia?

 Hollywood, Bollywood dan Tarung Ideologi

Pesan-pesan politik dalam film sebenarnya bukanlah hal yang baru. Faktanya, sebagai salah satu bentuk karya seni, film juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan politik tertentu terhadap penonton, termasuk spektrum ideologi di baliknya.

Bahkan, film bisa jadi digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan politik oleh kelas penguasa. Filsuf Douglas Kellner dalam tulisannya yang berjudul Film, Politics, and Ideology, menjelaskan bahwa ideologi yang ditampilkan dalam film merupakan bentuk hegemoni dan dominasi dari kelas yang berkuasa.

Menurut Kellner, ideologi juga mengandung gambar, mitos, praktik-praktik sosial, dan narasi. Dari sini, Kellner mencoba menghubungkannya dengan budaya populer dan melihat film sebagai representrasi ideologis dari faktor-faktor sosial – seperti ras, gender, dan kelas – melalui gambar dan figur.

Kellner pun mencontohkan film Rambo (1985) yang dianggapnya merepresentasikan ideologi yang militeristis. Film Hollywood yang dibintangi oleh aktor Sylvester Stallone tersebut menceritakan seorang tentara dan pahlawan super yang menjalankan misi untuk menyelamatkan sekelompok tentara Amerika Serikat (AS) dari tentara-tentara jahat Vietnam dan sekutu Uni Sovietnya dalam Perang Vietnam (1955-1975).

Bagi Kellner, kisah heroik Rambo tersebut merupakan representasi dari ideologi dominan kelas penguasa. Militerisme dan imperialisme dalam film tersebut dianggap menjadi alat kepentingan kapitalis untuk memberikan legitimasi atas intervensi-intervensi oleh AS di Asia Tenggara, Amerika Tengah, dan berbagai belahan dunia lainnya.

Kepopuleran franchise film Rambo pun mendapatkan respon dari politisi AS sendiri. Presiden Ronald Reagan misalnya, menyebut tokoh Rambo sebagai sosok yang merefleksikan seorang Republik.

Selain itu, Kellner menilai bahwa film-film laga yang dibintangi Stallone dan Chuck Norris juga memiliki dampak sosio-politik tertentu. Citra karakter yang dibangun dalam film-film tersebut menunjukkan tokoh kelas pekerja yang brutal dan keras sehingga menunjukkan militer sebagai opsi yang menjanjikan bagi afirmasi diri individu-individu pada kelas ini.

Akibatnya, banyak orang yang masuk ke dunia militer dan menjadi Rambo-Rambo baru bagi pemerintahan Reagan. Hal ini semakin mendukung doktrin dan politik luar negeri Reagan yang mendorong intervensi-intervensi AS di negara-negara lain guna melawan komunisme.

Ideologi yang ditampilkan dalam film merupakan bentuk hegemoni dan dominasi dari kelas yang berkuasa. Share on X

Dalam konteks politik, sekalipun ikut mengalami pergeseran doktrin, Hollywood sebagai identitas perfilman Barat kini dinilai lebih dekat dengan ideologi liberal dan Partai Demokrat AS. Neil Gross dalam tulisan opininya di New York Times menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang membuat Hollywood memiliki tendensi serupa, yaitu persamaan karakteristik sosial antara Hollywood dan Partai Demokrat AS, serta kebutuhan akan emosi penonton terhadap kisah-kisah progresif.

Kedekatan ini membuat pihak-pihak di balik Hollywood menciptakan koneksi dengan Partai Demokrat AS. Dalam Pemilu Sela AS 2018 lalu, misalnya dana sponsor oleh figur-figur Hollywood bagi partai tersebut.

Hubungan Hollywood-Demokrat AS tampaknya juga menjadi semakin erat dan mutual. Hal ini terlihat dari bagaimana tokoh-tokoh Demokrat AS membuat diskusi dengan beberapa pihak di Hollywood untuk membicarakan program yang dapat menjangkau pemilih, terutama kelompok Afrika-Amerika, kaum muda, dan warga Puerto Riko.

Dengan melihat kehadiran representasi ideologi dalam film-film Hollywood, bagaimana dengan film-film Bollywood? Apakah Modi dan PBJ juga menggunakan film untuk memenuhi kepentingan politiknya?

Hampir sama dengan film laga Rambo di AS, film-film Bollywood di India juga merepresentasikan ideologi tertentu. Film-film seperti Kesari dan Uri dianggap mempromosikan nilai-nilai nasionalis yang memberikan semangat kenegaraan bagi penontonnya.

Representasi ideologi dalam Bollywood juga sejalan dengan program dan agenda nasionalis Hindu PBJ dan Modi – seperti pengecekan status imigrasi yang ketat terhadap Muslim – yang cenderung mengucilkan minoritas Muslim di India.

Selain itu, mengacu pada tulisan Ayyub, film-film tersebut secara tidak langsung juga memberikan glorifikasi bagi kebijakan dan citra Modi sebagai “penjaga” India yang memerangi ancaman dari kelompok-kelompok teroris Islam.

Ayyub juga menyebutkan bahwa terdapat film-film Bollywood lainnya yang turut menyerang pihak oposisi. Film-film seperti The Tashkent Files (2019) dan The Accidental Prime Minister (2019) menggambarkan KNI sebagai partai yang lemah, memecah belah, dan tidak becus dalam menjalankan pemerintahan.

Seperti di AS, keberpihakan film di India tidak hanya sebatas pada tingkatan alur. Ayyub menilai tokoh-tokoh dalam industri Bollywood memiliki kedekatan tertentu dengan politisi-politisi PBJ, seperti aktor Anupam Kher yang merupakan suami dari politisi PBJ Kirron Kher.

Film Indonesia juga Bias?

Dunia perfilman Indonesia bisa jadi juga menjadi representasi bagi ideologi tertentu. Film Lima (2018) misalnya, merupakan film yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai bingkai utama dari jalannya alur film tersebut.

Selain film Lima, terdapat juga film Indonesia lain yang dirilis menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, yaitu Bumi Itu Bulat (2019) yang dianggap membawa pesan-pesan toleransi dan persatuan Indonesia.

Nilai-nilai progresif dan liberal dalam film Indonesia juga semakin terlihat dengan diproduksinya film Kucumbu Tubuh Indahku (2019) yang berusaha melihat isu gender dalam budaya Jawa, sekalipun mendapatkan berbagai penolakan akibat isu homoseksualitas yang ditampilkannya.

Hal ini menunjukkan masih adanya kontestasi ideologi di masyarakat Indonesia, termasuk dalam film. Konteks sebaliknya juga terjadi jika kita mengacu pada penjelasan Ariel Heryanto dalam tulisannya yang berjudul “Upgraded Piety and Pleasure,” terkait nilai-nilai Islam dalam budaya populer yang semakin banyak digandrungi oleh kelompok muda kelas menengah Indonesia.

Heryanto pun mencontohkan film-film seperti Ayat-Ayat Cinta (2008) sebagai film yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai kerangka utama dalam alur. Hal ini terjadi akibat dinamika sosial di masyarakat.

Lalu, apakah kepentingan politik juga mendasari produksi film-film Indonesia, katakanlah terkait Pilpres 2019? Apakah koneksi tertentu juga eksis di belakang perfilman Indonesia?

Jika diperhatikan secara seksama, beberapa film Indonesia sebetulnya juga tampak menonjolkan pesan-pesan politik tertentu. Film 212: The Power of Love (2018) misalnya, berusaha menggambarkan konflik atas sifat manusiawi dan nilai-nilai Islam dalam suatu keluarga terkait Aksi 212 – aksi yang bertujuan untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam isu penistaan agama. Film tersebut juga dipromosikan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang nota bene berasal dari kubu oposisi.

Mirip dengan film tentang Aksi 212 itu, film Bumi Itu Bulat juga menonjolkan konflik terkait penerimaan figur Aisha yang dianggap memiliki paham garis keras, dalam kelompok internal suatu band. Namun, secara tidak langsung, film tersebut juga menonjolkan keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam menyelenggarakan kompetisi olahraga internasional Asian Games 2018.

Keterlibatan Gerakan Pemuda (GP) Ansor – yang pernah menyatakan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres lalu – dalam pembuatan film Bumi Itu Bulat ini juga tampak jelas dengan ditonjolkannya peran kelompok Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) dalam kisah di film tersebut. Selain film tersebut, terdapat juga film Jokowi Adalah Kita (2014) yang menggambarkan sosok Jokowi ketika menjadi pemimpin di Solo dan Jakarta. Film tersebut menampilkan nilai-nilai progresif yang dibawa oleh Jokowi.

Meskipun begitu, koneksi yang menghubungkan Jokowi dan industri film Indonesia belum dapat dipastikan. Yang jelas, banyak insan-insan perfilman Indonesia yang secara terbuka mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019.

Joko Anwar – sutradara film Gundala (2019) misalnya, secara terbuka menyatakan memilih Jokowi dalam Pilpres lalu. Selain itu, terdapat juga Arie Kriting – salah satu pemeran dalam Bumi Itu Bulat – juga secara terbuka mendukung Mantan Wali Kota Solo tersebut.

Selain tokoh-tokoh perfilman tersebut, beberapa politisi juga pernah secara aktif mendukung film yang dianggap sesuai dengan agenda politiknya. Film Lima yang dinilai sesuai dengan agenda Jokowi misalnya, sempat didukung dan dibantu terkait isu penayangannya oleh beberapa anggota DPR yang berasal dari kubu Jokowi, seperti Charles Honoris (PDIP), Dave Laksono (Golkar), Arvin Hakim Thoha (PKB), dan Evi Sundari (PDIP).

Jika benar begitu, lirik rapper Dumbfoundead pun menjadi relevan. Kisah-kisah yang dibuat dalam film-film bias tersebut dapat memenuhi kepentingan si politisi; layaknya kisah pahlawan super yang menjadi sumber penghasilan bagi Stan Lee, sang kreator Marvel Cinematic Universe (MCU). Mungkin, Thanos nantinya juga akan hadir dalam skenario para politisi untuk menghabisi lawan dengan infinity gauntlet-nya. (A43)

Exit mobile version