Site icon PinterPolitik.com

Mendikbud Jadi Rebutan NU-Muhammadiyah?

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, dan Ketua PBNU Said Aqil (Foto: Bengkulu Post)

Di tengah isu penggodokan kabinet baru, kursi Mendikbud tidak lepas dari sorotan. Kursi yang saat ini diduduki oleh kader Muhammadiyah itu ternyata diincar secara terbuka oleh PKB dan NU.


PinterPolitik.com

Permintaan jatah menteri yang diajukan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bukanlah hal yang mengejutkan. Sebagai bagian dari koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, wajar bila PKB memeinta posisi di pemerintahan sebagai bentuk penghargaan.

Hal yang sama berlaku bagi Nahdatul Ulama (NU). Dukungan kader-kader NU menurut survei bahkan menjadi kunci kemenangan Jokowi-Ma’ruf, khususnya dalam meraih suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Yang menjadi sorotan adalah adanya sinyal bahwa saat ini NU menginginkan kadernya duduk di kursi menteri secara langsung tanpa melalui partai. Sinyal ini diperkuat oleh PKB yang mengatakan bahwa jatah menteri NU dan PKB harus dipisah.

Adapun salah satu kursi menteri yang diincar adalah jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang saat ini diduduki oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Pendidikan, Muhadjir Effendy.

Seperti apa probabilitas digantinya seorang Muhadjir? Lalu ada apa di balik keingingan kader PKB-NU untuk menggantikan kader Muhammadiyah di kursi Mendikbud?

Rivalitas NU-Muhamaddiyah?

Semenjak menjabat sebagai Mendikbud menggantikan Anies Baswedan, Muhadjir Effendy beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang menuai kontroversi dan tidak jarang mendatangkan gelombang penolakan dari berbagai pihak.

Diawali dengan gagasan full day school, kebijakan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), hingga dilibatkannya Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Kemendikbud dalam pembinaan siswa pada Masa Orientasi Sekolah.

Mengenail full day school, kritik salah satunya datang dari NU yang menolak keras program ini.

Dalam penolakannya, NU bahkan berencana menggelar aksi yang lebih besar dari Aksi 212 jika tuntutannya tidak direspon. Bahkan Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Arifin Junaidi, diabarkan pernah meminta Jokowi untuk mencopot Muhadjir.

Dalam mengatasi kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, kinerja Muhadjir juga terlihat belum maksimal. Tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan adanya peningkatan sebesar 51,20 persen kasus kekerasan anak di dunia pendidikan Indonesia.

Bahkan hingga saat ini kasus kematian siswa di dunia pendidikan masih terjadi dengan meninggalnya siswa SMA Semi Militer di Palembang saat mengikuti Masa Orientasi Siswa beberapa hari lalu.

Menurut Azis Anwar Fachrudin, dalam tulisannya di New Mandala, saat ini sedang terjadi rivalitas antar organisasi Islam di Indonesia yang melibatkan NU, Muhammadiyah dan Front Pembela Islam (FPI).

Azis menuliskan adanya kekhawatiran beberapa tokoh Muhammadiyah yang melihat bahwa saat ini NU-lah organisasi Islam favorit pemerintah. Kekhawatiran ini bisa jadi memang bukan tanpa alasan.

Saat ini Muhadjir menjadi satu-satunya sosok dari Muhammadiyah yang ada dalam Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Sementara ada enam menteri berlatarbelakang NU yang sedang ataupun pernah mejabat. Ketimpangan ini juga semakin terlihat dengan terpilihnya Ma’ruf Amin menjadi Wapres periode 2019-2024.

Selain itu, kedua organisasi Islam ini juga dalam beberapa kesempatan saling berbeda pendapat, termasuk saling mengkritik satu sama lain.

Dalam penetapan Hari Santri Nasional yang didukung NU, Muhammadiyah mengutarakan penolakannya. Salah satu kader NU kemudian melihat penolakan yang dilakukan Muhammadiyah ini lebih terkait dengan latar belakang Hari Santri Nasional yang diadakan, salah satunya, untuk memperingati Resolusi Jihad pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

Muhammadiyah juga pernah mengkritik pidato Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, yang mengutarakan keinginannya agar peran dan jabatan terkait kegamaan di pemerintah maupun masyarakat, mulai dari menteri sampai imam masjid, dipegang oleh kader NU.

Menurut Muhammadiyah, pidato tersebut merupakan upaya untuk untuk mengambil dan meraup semua jabatan dan posisi yang ada di negeri ini untuk NU. Terlebih lagi, saat ini pejabat di Kementerian Agama maupun rektor-rektor di UIN dan IAIN tidak ada yang berlatar belakang Muhammadiyah.

Dalam Pilpres 2019, perbedaan sikap antara kedua organisasi juga terlihat. Meskipun keduanya secara resmi menyatakan netral, namun anggapan bahwa keduanya lebih condong ke salah satu calon tidak dapat dihidari.

Beberapa tokoh inti Muhammadiyah medukung Prabowo-Sandiaga, sementara kedekatan NU dengan Jokowi juga jelas terlihat dengan dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres.

Godaan Kursi Mendikbud

Kursi Mendikbud memang strategis. Secara anggaran, pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan 20 persen dana APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Kemendikbud sendiri, setidaknya dalam lima tahun terakhir, selalu masuk kedalam 10 lembaga/kementerian dengan anggaran terbesar.

NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki afiliasi dengan puluhan ribu lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Terpilihnya kader NU atau Muhammadiyah sebagai Mendikbud bisa jadi akan memberikan dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki masing-masing organisasi tersebut.

Pengaruh posisi Mendikbud terhadap pondok pesantren juga diprediksi akan semakin kuat mengingat saat ini pemerintah sedang memproses Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang ditargetkan akan disahkan pada Agustus tahun ini.

RUU ini akan memperkuat posisi pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan formal yang diakui oleh negara. Bukan hanya dari aspek legalitas lulusannya, RUU ini juga akan menjadi dasar hukum pemerintah untuk membuka keran anggaran bagi pondok pesantren.

Namun, mencari kader yang dapat memenuhi kriteria Jokowi untuk Mendikbud periode 2019-2024 tidaklah mudah. Dalam masa jabatannya yang terakhir, Jokowi tentunya hanya ingin kabinetnya diisi oleh orang-orang terbaik.

Jokowi sudah beberapa kali mengutarakan kriteria menteri yang ia inginkan seperti muda, berkarakter kuat, dan harus berani. Terlebih lagi urusan pendidikan menjadi salah satu kunci utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi fokus pemerintahan Jokowi lima tahun mendatang.

Seperti yang disampaikannya pada pidato berjudul “Visi Indonesia”, Jokowi menginginkan adanya peningkatan kualitas dan dukungan pendidikan, pendidikan vokasi, dan manajemen talenta.

Jika melihat pengaruh NU dan Muhammadiyah terhadap Jokowi, kursi Mendikbud rasa-rasanya lebih mungkin diberikan kepada kader NU.

Faktor kedekatan Jokowi dengan NU baik selama masa jabatannya yang pertama hingga selama Pilpres, memperlihatkan adanya keistimewaan yang diberikan terhadap NU, termasuk afiliasinya dengan PKB, untuk menempati posisi penting di pemerintahan.

Namun, jalan NU dan PKB menuju kursi Kemendikbud-1 bukan tanpa hambatan. Selain adanya persaingan dengan partai ataupun organisasi lain untuk menduduki kursi yang sama, hambatan juga datang dari reaksi semakin kuatnya pengaruh NU di pemerintah.

Permintaan NU terhadap jatah menteri misalnya kurang disambut baik oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bagi PPP – yang juga memiliki tempat berpolitik kader NU – simbol NU di pemerintah sudah cukup terwakilkan dengan adanya sosok Ma’ruf Amin.

Sinyal penolakan juga datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengatakan PBNU sebaiknya masuk kabinet melalui satu jalur saja, yaitu PKB.

Keinginan NU untuk secara langsung menempatkan kadernya di kursi menteri tanpa melewati partai juga mendapat penolakan dari Yenny Wahid, putri Gus Dur yang juga menjabat sebagai Direktur Wahid Institute. Ia mengingatkan petinggi NU mengenai khittah 1926 yang memposisikan NU tak terlibat politik praktis.

Konteks ini juga pernah disoroti oleh Greg Fealy dari Australian National University (ANU) yang menyebutkan bahwa NU memang telah makin masuk ke politik pemerintahan dalam 10 tahun terakhir. 

Semakin dekatnya NU dengan pemerintah (politik praktis) juga dapat berdampak negatif bagi organisasi tersebut. Kecemburan ditambah kesan eksklusivitas ormas tersebut dapat menyebabkan dikucilkannya NU oleh pihak-pihak non-NU.  

Sejauh ini baru NU dan PKB yang secara terbuka meminta kursi Mendikbud, sementara Muhammadiyah mengklaim tidak meminta kursi menteri apapun dan menyerahkan urusan menteri ke Jokowi.

Namun, di balik sifat pasif Muhammadiyah, bisa jadi ormas tersebut sebenarnya ingin mempertahankan posisi Mendikbud.

Selain karena posisi Mendikbud sebagai satu-satunya jabatan menteri yang saat ini diduduki kader Muhammadiyah, ini juga menjadi pertaruhan untuk mempertahankan klaim tradisi kader Muhammadiyah menduduki jabatan Mendikbud. (F51)

 

Exit mobile version