Aksi massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) dulu sempat berseberangan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kini, sepertinya mereka terus merapat ke sisi Jokowi.
PinterPolitik.com
Pada Senin 12 Maret 2018, GNPF Ulama—perubahan dari GNPF MUI—melakukan perombakan pucuk pimpinan. Ketua GNPF Ulama yang sebelumnya dijabat oleh Bachtiar Nasir, kini digantikan oleh Yusuf Martak. Sementara sekretaris jenderal yang sebelumnya dijabat oleh Munarman, kini digantikan oleh Al-Khaththath.
Nama-nama yang masuk dan keluar itu diduga mengindikasikan adanya perpecahan dalam tubuh GNPF itu sendiri. Sebelumnya, Bachtiar Nasir memang melakukan manuver-manuver mendekatkan diri kepada Jokowi, yang dianggap bertentangan dengan arah awal GNPF sebagai oposisi. Bahkan, pengubahan nama GNPF sendiri diduga sebagai pelurusan terhadap garis juang GNPF dianggap sudah mulai keluar dari jalurnya.
Namun, isu tersebut ditepis oleh Ketua Dewan Pembina GNPF Habib Rizieq Shihab. Rizieq sendiri menyebut bahwa kepengurusan Bachtiar telah baik, walaupun masih cenderung‘sentralistik’. Maka Yusuf akan meneruskannya dan menjadikan GNPF lebih ‘kolektif-kolegial’—konsep yang mungkin berarti egalitarian dalam gerakan GNPF. Rizieq menyebut, solidaritas dan persaudaraan masih tetap ada di dalam GNPF.
Lagipula, memang jelas bahwa GNPF Ulama tidak dalam perpecahan, pasalnya Bachtiar naik tingkat menjadi anggota dewan pembina, posisi yang lebih dekat dengan Habib Rizieq sebagai ketua dewan pembina. Keberadaan Bachtiar dengan Yusuf di struktur bawahnya, tidak membawa GNPF Ulama ke arah perpecahan seperti isu yang banyak beredar di media sosial.
Tidak ada kubu-kubu yang berbeda arah seperti yang diduga oleh banyak pihak, namun mungkin saja GNPF tengah “membelokkan” kapalnya, tentu saja kali ini dengan nahkoda baru.
Bahkan, sangat mungkin GNPF justru tidak menjauh dari Jokowi, tapi sebaliknya, ada indikasi bahwa kelompok ini sedang mengarah semakin mendekat ke poros Jokowi. Benarkah?
Rekonsiliasi dalam Proses?
Bila ditarik ke belakang, meruncingnya hubungan GNPF dengan Jokowi memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Nama GNPF itu sendiri baru lahir setelah ormas-ormas Islam sepakat untuk merespon fatwa Ketua MUI Ma’ruf Amin tentang ‘penistaan agama’ dan ‘memilih pemimpin Muslim’. GNPF bertugas untuk mengawal berjalannya fatwa-fatwa MUI tersebut, termasuk lewat munculnya Aksi-aksi Bela Islam.
Tapi, tak hanya menargetkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai ‘musuh umat Islam’ karena pernyataannya yang dianggap menodai agama, Aksi Bela Islam juga dihiasi banyaknya tekanan politik kepada Jokowi. Pada aksi 411 misalnya, tuntutan datang kepada Jokowi yang dianggap berkuasa untuk memenjarakan Ahok. Sementara, pada aksi 212 tuntutan terlihat semakin nyata, bahkan sampai menekan Jokowi keluar dari istana.
Selain itu, isu mengenai makar pun menyeruak ke permukaan. Hal ini mengindikasikan bahwa massa Islam adalah oposisi Jokowi, terlebih adanya fakta kedekatan dengan pihak-pihak yang beroposisi dengan Jokowi, seperti Partai Gerindra, PKS, dan pihak-pihak asing lainnya.
Pasca apa yang menimpa Ahok—yang oleh banyak pihak dituduh sarat akan kepentingan oposisi Jokowi—kasus ini memasuki babak baru ketika pentolan GNPF macam Habib Rizieq juga terkena kasus hukum.
Baru pasca drama Ahok selesai dan Rizieq melarikan diri, negosiasi antara pemerintah dengan GNPF terjadi. Negosiasi apa yang dimaksud? Tentu saja, negosiasi untuk menghasilkan rekonsiliasi konfik yang terjadi antara kedua belah pihak.
Menyusul dugaan kriminalisasi terhadap Rizieq, GNPF Ulama kemudian menyampaikan 8 tuntutan kepada Jokowi, tertanggal 31 Mei 2017. Jokowi menjawabnya dengan mengundang kelompok tersebut ke Istana pada 25 Juni 2017.
Pasca pertemuan itu, Bachtiar Nasir memberikan pernyataan yang cukup memuji Jokowi, bahwa Jokowi punya keberpihakan kepada rakyat kecil. Bachtiar mengaku bahwa ucapannya adalah sikap objektif GNPF, namun beberapa pihak mengintepretasikannya sebagai mulai berbeloknya arah politik Bachtiar dan GNPF.
Tak hanya dengan presiden, GNPF pun menjalin komunikasi dengan pihak Kepolisian, melalui sejumlah pertemuan dengan Kapolri Tito Karnavian. Pertemuan pertama mereka adalah sebelum Aksi 212. Pertemuan kedua terjadi pada bulan Maret, terkait dengan permintaan GNPF untuk menghentikan kasus yang menjerat Bachtiar atas tuduhan mengirim uang Aksi Bela Islam ke Turki untuk mendanai ISIS. Kasus Bachtiar memang dihentikan, namun tidak dengan kasus Rizieq.
Pertemuan berikutnya yang menandakan kedekatan Polri dengan GNPF terjadi pada bulan Februari 2018, setelah viralnya pidato Kapolri Tito Karnavian soal Ormas Islam. Pasca beredarnya video itu, Kapolri pun melakukan safari ke banyak ormas Islam, salah satunya adalah bertemu dengan pihak GNPF. Hal ini juga sekaligus menjadi momentum agar Kapolri punya kesempatan bertemu dengan kelompok-kelompok Islam, termasuk GNPF.
Yang jelas, setelah kejadian-kejadian itu, GNPF Ulama sepakat untuk bersinergi dengan Polri dalam memberantas banyak kasus, mulai dari kasus-kasus penyerangan pemuka agama (termasuk non-Muslim) sampai kasus-kasus hoaks yang menyerang Rizieq, Prabowo, bahkan Jokowi.
Apakah itu berarti, Jokowi telah sukses merangkul GNPF—minimal di level elitnya saja? Apakah rangkulan ini juga terbukti dengan adanya sinergitas antara GNPF dengan Polri? Bisa jadi.
Yang pasti, kasus Rizieq masih menjadi bargain dari pemerintah untuk terus memaksa pihak GNPF bersikap lebih tenang dan tidak terus merongrong. Selain itu, upaya-upaya untuk memulangkan Rizieq dengan selamat—seperti mengenai kabar komunikasi Wiranto dengan Rizieq, atau selentingan mengenai penjemputan yang dilakukan Budi Gunawan kepada Rizieq—masih akan menjadi bagian dari kepentingan yang dinegosiasikan. (Baca juga: Siapa Musuhi Rizieq?)
Dukungan untuk Jokowi atau Poros Ketiga?
GNPF menekankan, pihaknya sampai saat ini masih bersikap untuk membantu Polri dalam penegakan hukum. Belum ada sikap politik yang jelas tentang ke arah mana dukungan politik diarahkan, khususnya dalam Pilkada 2018 dan menyambut Pemilu 2019.
Namun, arah politik GNPF mulai terlihat dalam beberapa peristiwa. Beberapa isu mengenai kedekatan Yusuf Martak dengan Calon Gubernur (Cagub) Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi misalnya, sempat menimbulkan spekulasi arah dukungan kelompok ini. Hal tersebut terkuak melalui sejumlah foto Yusuf dan Edy yang beredar.
Kedekatan keduanya juga diakui oleh Tuan Guru Bajang yang menjadi saksi GNPF Ulama meneken kontrak politik dengan Edy. Menariknya, dalam suatu kesempatan, Edy yang diusung oleh Gerindra, PKS, dan PAN, justru meneriakkan dukungan kepada Jokowi. (Baca juga: Duel Prajurit Jokowi di Pilkada)
Lalu beberapa hari lalu, GNPF juga menunjukkan kecenderungan untuk mendukung lahirnya poros ketiga, dengan menyebut nama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres potensial umat Islam. GNPF menyebut pencalonan tunggal Jokowi tidaklah baik, namun mereka juga tidak tertarik untuk mendukung Prabowo.
Apa yang terjadi dengan dukungan mereka kepada Prabowo? Sepertinya, jika desas-desus yang beredar benar, ada kemungkinan kontrak politik mereka memang tidak berlanjut pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017. Ada banyak indikasi yang menunjukkan mulai menjauhnya kedua belah pihak. Bahkan, perpecahan justru terlihat ketika Al-Khathtath membela La Nyalla Matalitti, terkait kasus mahar politik dengan Prabowo beberapa waktu lalu. (Baca juga: Prabowo Jaga Jarak dengan FPI)
Sehingga, sangat mungkin pilihan-pilihan rasional GNPF tidak lagi berpusat pada Prabowo, namun bisa saja berputar kepada Jokowi maupun ke nama-nama capres lain yang berpeluang diusung oleh poros ketiga.
Selain itu, sangat mungkin kelompok ini justru akhirnya berlabuh ke sisi Jokowi, bila elektabilitas Jokowi tak terbendung dan bila yang benar-benar bisa menyelamatkan Rizieq hanyalah Jokowi sebagai presiden. (Baca juga: Opsi Presiden untuk Rizieq)
Semua masih tergantung pada proses politik beberapa waktu ke depan, termasuk tergantung pembentukan koalisi dan nama-nama yang akan dimajukan pada Pemilu 2019. (R17)