“Politics is who gets what, when, how.” Harold Lasswell, American Political Scientist
Pinterpolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]i tengah kerumunan elite-elite partai politik dan pewarta yang hadir di restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat, Jokowi menyampaikan bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang akan mendampingi dirinya. Ia secara yakin memilih KH Ma’ruf Amin sebagai wakilnya untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Keluarnya nama Ma’ruf dinilai mengejutkan banyak pihak. Sebab beberapa jam sebelum pengumuman, nama Mahfud MD yang justru menguat bakal menemani Jokowi menjadi cawapres. Mahfud juga diketahui telah mengurus surat keterangan tidak pailit di Pengadilan Negeri Sleman sebagai salah satu syarat pendaftaran capres-cawapres.
Tapi semua perkiraan akhirnya salah, pilah-pilih cawapres yang dimatangkan sejak Jokowi menemui Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni lalu bermuara pada nama Ma’ruf Amin.
Dengan munculnya nama Ma’ruf, sontak pembacaan publik bermuara pada satu narasi: mengamankan suara Islam.
Lantas, apakah langkah Jokowi beserta partai koalisinya ini merupakan representasi dari jargon “bersih, merakyat, kerja nyata” yang tertulis pada baju yang dikenakan Jokowi saat pendaftaran ke KPU hari ini atau hanya untuk kepentingan elektoralnya saja? Apakah digandenganya Ma’ruf Amin menjadi representasi tokoh nasionalis-religius atau hanya sekedar “pendorong gerobak” pada Pemilu nanti?
Ma’ruf Amin, Tubir Pragmatisme Jokowi
Jika ditinjau dari pilihan politik Jokowi, tentu keputusan memilih Ma’ruf Amin bukanlah suatu hal yang mengejutkan dan bisa diprediksi sebenarnya. Strategi ini bisa dipahami sebagai cara untuk memenangkan Pilpres 2019. Pada titik ini, ada pragmatisme politik yang digunakan Jokowi untuk menentukan keputusan tersebut.
Secara sederhana, pragmatis adalah suatu sifat, ciri yang menyatakan seseorang lebih cenderung bersifat praktis, terbingkai, dan kaku. John Dewey, tokoh pragmatisme Amerika Serikat mengatakan bahwa sifat ini dapat timbul jika ada perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya.
Dalam pandangan teori pragmatisme, kebenaran suatu pengetahuan dinilai dari sejauh mana pengetahuan itu bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya.
Dalam konteks Pilpres, tentu ada sebuah pilihan pragmatis yang dilakukan oleh Jokowi dengan menunjuk Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Ini adalah strategi politik agar dirinya tidak dicap anti-Islam dan menampilkan diri dekat dengan ulama.
Nama Ma’ruf Amin dalam bursa cawapres Jokowi tidaklah setenar Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartato, hingga Susi Pudjiastuti. Namun, menurut Jokowi, Ma’ruf adalah tokoh agama yang bijaksana. Ia juga pernah beberapa kali menempati jabatan politik, utamnya yang terakhir sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sosok kiai sepuh ini memang tidak asing lagi bagi masyarakat, terutama warga Nahdlatul Ulama(NU). Selain orang nomor satu di MUI, Ma’ruf juga menduduki jabatan tertinggi di NU, organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Jabatannya adalah Rais Am atau jabatan tertinggi di ormas tersebut.
Ma’ruf punya rekam jejak cukup panjang di dunia politik, terutama di lembaga legislatif. Sementara di partai, ia adalah bagian dari PKB dan menjabat Ketua Dewan Syuro partai yang didirikan Gus Dur itu. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ma’ruf dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak tahun 2007 hingga 2014.
Secara politik, nama Ma’ruf terangkat ke publik sejak kasus penodaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ketika itu ia datang ke Pengadilan Jakarta Selatan sebagai saksi ahli yang memberatkan Ahok. Ia pula yang sebelumnya mengeluarkan fatwa tentang kasus tersebut.
Golput adalah pilihan yang konyol karena itu akan melenggangkan KARDUS untuk berkuasa
Yg bernurani tidak akan bisa menerima negeri ini jatuh ke tangan sosok yang bermental KARDUS
Pilihan terbaik adalah memilih yg terbaik dari dua pilihan
(Ir Jokowi – Kiai Ma'ruf Amin)— ??#JokowiLagi?? (@NurSyahbana9) August 9, 2018
Dengan besarnya sorotan publik atas kasus ini, jelas bahwa posisi politik Ma’ruf tidak bisa dipandang sepele, utamanya di depan pemilih Islam. Kita tentu ingat aksi-aksi demonstrasi berjilid-jilid yang semuanya berawal dari fatwa sang Kiai pemimpin MUI itu. Aksi-aksi tersebut bahkan sempat pula mengancam kekuasan Jokowi sebagai presiden.
Dari fakta itu dapat dilihat bahwa pengaruh Ma’ruf Amin sangat besar, bukan hanya di kalangan NU, namun bagi umat Islam di Indonesia secara keseluruhan. Jokowi tentu tidak ingin politik berbasis agama digunakan lagi melawan dirinya.
Memilih Ma’ruf akan menjadi citra positif bagi Jokowi yang selama ini dicap anti-Islam. Secara struktural pun posisi Ma’ruf jauh lebih tinggi dibandingkan tokoh Islam lain seperti Mahfud MD atau Muhaimin Iskandar.
Portal berita Singapura, The Strait Times menyebut Ma’ruf Amin sebagai strong Islamic figure yang dapat melawan serangan kubu lawan yang kemungkinan akan menggunakan narasi politik identitas Islam dan juga bisa “mengamankan” suara dari kantong-kantong kelompok konservatif, utamanya di Pulau Jawa.
Pragmatisme Jokowi, Mau Kemana?
Dalam tataran paling umum, pragmatisme memiliki pengertian bahwa pemikiran mengikuti tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatisme berarti kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran (paham/doktrin/gagasan/pernyataan) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.
Namun dalam konteks politik, pragmatisme memiliki pergeseran arti dan makna. Dalam buku Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi karya Firmanzah disebutkan bahwa pragmatisme politik adalah tindakan yang memiliki orientasi jangka pendek dari para aktor politik untuk dapat memenangkan persaingan politik. Pragmatisme juga berarti adanya efisiensi dalam pengambilan keputusan politik.
Tendensi negatif ini muncul sebagai akibat dari nafsu berkuasa, dan seringkali orientasi ini membawa para aktor politik ke arah sikap yang lebih mementingkan tujuan untuk berkuasa ketimbang apa saja yang akan dilakukan setelah berkuasa.
Jokowi trauma Pilkada DKI 2017. Ia kehilangan rasa percaya diri, kenegarawaannya dikalahkan pertimbangan pragmatis politik. Saya sangat kecewa bukan @mohmahfudmd
— Daniel H.T. (@danielht2009) August 9, 2018
Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang sedang diagendakan oleh Jokowi dalam konteks pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres. Jokowi nampaknya khawatir dengan apa yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu.
Saat itu, tensi politik identitas begitu masif berhembus dan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, yang diyakini banyak pihak akan terulang pada Pilpres 2019 ini. Jokowi berharap dengan menggandeng kelompok “kanan” tersebut akan menjamin dirinya terpilih pada 2019.
Pemilihan Ma’ruf Amin sebenarnya kontradiktif dengan apa yang sempat diucapkan oleh Jokowi. Sebelumnya ia pernah menyebut jika pasangannya nanti bisa merangkul kaum milenial. Kita tahu bahwa usia KH Ma’ruf saat ini menginjak 76 tahun, bukan usia yang produktif jika dipasangkan sebagai calon presiden, apalagi jika targetnya adalah ingin menggaet pemiliih milenial yang kemungkinan akan berjumlah 52 persen atau setara dengan 100 juta orang jumlah pemilih di 2019.
Selain itu, Jokowi juga sedang dihadapkan dengan persoalan ekonomi yang tidak mudah. Dalam sebuah artikel di Bloomberg, dijelaskan bahwa ada “lubang” yang ditinggal oleh Jokowi, dan hal itu bisa dimanfaatkan oleh kubu Prabowo.
Fokus isu yang dipertimbangkan Jokowi hanyalah ceruk pemilih Islam tersebut. Dengan orientasi jangka pendek dan untuk memenangkan persaingan politik, nampaknya mustahil jika Jokowi akan mengakomodir kepentingan rakyat yang lebih mendasar dan fundamental, dalam hal ini ekonomi.
Inilah sikap Jokowi yang menjadikan “kekuasaan” sebagai tujuan akhir dan bukannya melakukan pembaharuan kebijakan publik sebagai hasil dari kekuasaan itu. Memang terdapat narasi bahwa dengan dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres, setidaknya kelompok “kanan” konservatif akan lebih “patuh”. Namun, tentu saja hal itu tidak menjawab tantangan mendasar bagi Indonessia saat ini, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan pemerataan kesejahteraan.
Apalagi kesejahteraan tentu saja memiliki korelasi positif dengan tingkat pendapatan ekonomi rakyat. Dengan ketiadaan alternatif yang coba ditawarkan Jokowi pada tataran ekonomi, akan tergambar bahwa Jokowi akan kembali menjual janji-janji politik yang memabukkan.
Faktanya, keputusan yang diambil Jokowi menunjukkan bahwa dunia politik Indonesia seringkali tidak menyentuh akar permasalahan. Yang diperdebatkan bukanlah permasalahan rakyat, tetapi kepentingan masing-masing partai dan kelompok kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Dalam konteks Kiai Ma’ruf, wacana menggandeng ulama sebagai representasi umat Islam dan tokoh-tokoh yang didengar terlihat digunakan sekedar sebagai basis pengorganisasian mobilisasi politik populisme yang dapat dibangun untuk kepentingan elektoral.
Jokowi jelas menampilkan citra diri dan politiknya sebagai sosok yang populis sekaligus pragmatis karena cenderung berpikir untuk kepentingan jangka pendek dan menyesuaikan diri dengan situasi politik nasional yang memang penuh pertentangan berbasis identitas.
Tentu masih akan ada perdebatan tentang dampak positif atau negatif pragmatisme Jokowi ini terhadap rakyat. Yang jelas Marcus Mietzner dalam tulisannya berjudul Reinventing Asian Populism membenarkan bahwa Jokowi adalah seorang populis yang pragmatis.
Agenda populis dijadikan kampanye dan branding image sebagai politisi yang santun dan merakyat, sementara sikap-sikapnya juga mencerminkan perilaku yang berorientasi pada penyelesaian masalah secara efisien, yang tidak sedikit juga membuat janji-janji kampanyenya menjadi sekedar janji.
Pertanyaannya adalah akankah pragmatisme politik ini berdampak pnegatif bagi Jokowi di 2019, atau ia tetap akan melenggang mulus untuk periode kedua? (A37)