Menurut Menteri Luhut, kembali hadirnya Perang Dingin 2.0 sangat mungkin terjadi jika perang dagang antara AS dan Tiongkok terus berlangsung. Gesekan-gesekan ini berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi-politik global. Selain itu, perang dagang punya sejarah cukup panjang, yang tidak jarang melahirkan konflik terbuka antarnegara. Presiden Jokowi – yang tengah menikmati kedekatan ekonomi dengan Tiongkok – harus mengukur arah pergerakan politiknya.
PinterPolitik.com
“Older men declare war. But it is the youth that must fight and die.”
:: Herbert Hoover (1874-1964), Presiden ke-31 AS ::
[dropcap]S[/dropcap]eratus lima puluh ribu tahun lalu disebut-sebut sebagai awal ketika manusia mengenal perdagangan jarak jauh – demikian catatan sejarawan Inggris, Peter Watson. Sejak saat itu pula, konteks perdagangan lintas wilayah, negara, atau entitas yang berbeda, mengambil bentuk dan mempengaruhi perkembangan peradaban – entah yang membawa pada kemajuan, maupun melahirkan konflik sebagai akibat adanya benturan kepentingan.
Konteks perdagangan yang demikian nyatanya masih berkelanjutan hingga saat ini, bahkan menjadi faktor penentu arah ekonomi-politik global. Setidaknya, hal itulah yang disoroti oleh Menteri Koordinator Bidang (Menko) Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, terkait potensi lahirnya Perang Dingin jilid kedua atau Cold War 2.0.
Jika Perang Dingin 2.0 benar-benar terjadi, besar kemungkinan Jokowi akan berada di sisi Tiongkok, dan Prabowo di sisi AS. Share on XDalam tulisan terbarunya di portal berita Singapura, The Straits Times, Luhut menyoroti konteks perang dagang yang saat ini terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sebagai potensi penyebabnya.
Menurut Luhut, sekalipun telah ada upaya “gencatan senjata” antara kedua negara yang tercapai pada pertemuan G20 beberapa waktu lalu, namun kemungkinan lahirnya Perang Dingin 2.0 yang multi dimensional tetap saja besar. Secara khusus, hal ini juga akan berdampak buruk bagi Indonesia yang selama ini bergantung pada perdagangan global. Apalagi, baik AS maupun Tiongkok adalah mitra dagang Indonesia.
Kontestasi kekuatan regional – misalnya di kawasan Laut China Selatan – menurut Luhut juga akan menjadi warna tersendiri yang mempengaruhi banyak negara di kawasan jika Perang Dingin 2.0 terjadi.
Memang, mantan Dubes Indonesia untuk Singapura itu kemudian mengaitkan persoalan ini dengan bagaimana orang-orang kaya di dunia ketiga yang meng-show case dampak globalisasi, hiburan, dan kemewahan dalam acara-acara semacam pernikahan super mewah dan sejenisnya – misalnya pernikahan keluarga Ambani di India beberapa waktu lalu. Namun, poin yang mungkin paling menarik dari pemikiran Luhut tersebut tentu saja adalah konteks Perang Dingin 2.0.
Pertanyaannya adalah akan seperti apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia jika Perang Dingin yang disebutkan oleh Luhut tersebut benar-benar terjadi lagi? Lalu, seperti apa seharusnya sikap pemerintah Indonesia – entah Jokowi atau Prabowo jika memenangkan Pilpres 2019 nanti – terhadap konteks tersebut?
Perang Dingin 2.0, Keniscayaan Sejak Opium Wars
Menikmati teh di sore hari mungkin menjadi salah satu kebiasaan banyak orang – setidaknya untuk mereka yang tidak suka kopi, atau yang tidak sedang dalam larangan dokter karena penyakit tertentu. Namun, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa komoditas teh pernah menjadi salah satu alasan terjadinya konflik antarnegara.
Adalah kisah “kegilaan” orang-orang Inggris akan teh hitam yang meningkat seiring menguatnya budaya minum teh pada abad ke-17, yang jadi lembaran sejarah konflik tersebut. Pada tahun 1792, Inggris mengimpor lebih dari 10 juta pounds/lbs (sekitar 4.500 ton) teh hitam dari Tiongkok setiap tahunnya.
Persoalannya, Tiongkok yang kala itu diperintah oleh Dinasti Qing menerapkan proteksi ekonomi dan hanya membuka wilayah-wilayah tertentu saja untuk perdagangan internasional.
Dengan kondisi ekonomi negara itu yang pada tahun-tahun tersebut menjadi yang terkuat di dunia – menurut ekonom Inggris, Angus Maddison – pemerintahan Dinasti Qing membuat peraturan-peraturan yang menyulitkan pedagang-pedagang dari luar untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan dengan harga murah.
Singkatnya, hal tersebut menyebabkan ketegangan politik yang melibatkan Inggris dan Tiongkok, serta melahirkan perang dagang yang kemudian berujung pada perang terbuka. Namun, bukan teh yang mendapatkan “kehormatan”, melainkan opium yang dipakai sebagai alasan perang yang dikenal dengan sebutan Opium Wars atau Perang Candu – mungkin karena orang-orang Inggris merasa “kurang keren” menyebut teh sebagai penyebab perang. That last one is just a joke.
Yang jelas, banyak sejarawan yang menyebut Perang Candu Pertama (1839-1842) sebagai perang terbuka yang terjadi akibat perang dagang. Gesekan kepentingan yang timbul akibat proteksi ekonomi melahirkan benturan kepentingan yang berujung pada konflik – pada akhirnya juga menyebabkan kejatuhan Dinasti Qing dan kelahiran Republik Tiongkok.
Dalam konteks inilah istilah Perang Dingin 2.0 yang dikemukakan oleh Menteri Luhut mendapatkan bentuknya karena menjadi kelanjutan dari konteks perang dagang.
Namun, jika ditelusuri, narasi tentang Perang Dingin 2.0 sebenarnya bukan hal yang baru diungkapkan Luhut. Pada April lalu, frase tersebut sempat digunakan oleh Sekjen PBB, Antonio Guterres ketika membahasakan apa yang ia sebut sebagai “retorika penuh kebencian” yang terjadi antara delegasi AS dengan delegasi Rusia dalam salah satu sesi pertemuan Security Council.
Memang, pada era Perang Dingin sebelumnya – antara tahun 1947-1991 – pertarungan politik global antara AS dengan Uni Soviet terjadi hampir di semua bidang, mulai dari operasi intelijen hingga perlombaan senjata nuklir. Namun, pasca runtuhnya Uni Soviet, Rusia sebagai negara yang mewarisi digdaya komunisme masa lalu itu, tidak lagi menampilkan pertarungan politik yang seintens di era Soviet, sekalipun kekuatan politiknya masih diperhitungkan.
Konteks Perang Dingin 2.0 kemudian menampilkan pemain baru, yaitu Tiongkok yang menjelma sebagai kekuatan utama ekonomi-politik global. Pada November lalu, The Washington Post mengulas potensi Perang Dingin 2.0 sebelum pertemuan G20 sebagai ketegangan yang timbul akibat perang dagang yang terjadi antara AS dan Tiongkok.
Dalam editorialnya, media yang sejak 2013 lalu dimiliki oleh orang terkaya di dunia, Jeff Bezos ini menyebutkan ada pertalian antara kepentingan domestik yang ingin dicapai oleh Presiden AS, Donald Trump ketika membuat kebijakan menaikkan tarif perdagangan untuk komoditas dari Tiongkok.
Seperti diketahui, pada akhir Maret hingga awal April 2018 lalu, Trump memang membuat kebijakan kenaikan tarif komoditas ekspor asal Tiongkok, terutama yang berhubungan dengan industri high-tech. Nilainya bahkan mencapai US$ 50 miliar (Rp 725 triliun).
Kebijakan tersebut kemudian dibalas oleh Tiongkok dengan menaikkan tarif terhadap 128 komoditi impor dari AS. Dua kebijakan tersebut dianggap berpotensi melahirkan kebijakan-kebijakan tandingan lain, yang oleh lembaga manajemen aset asal Inggris, Janus Henderson, disebut akan melahirkan resesi global dan mengguncang perekonomian di banyak negara. Pasalnya, AS dan Tiongkok adalah dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Sebagai catatan – sekalipun masih penuh perdebatan – banyak ahli yang menyebutkan bahwa resesi global yang terjadi pada tahun 1930, dikenal dengan sebutan Great Depression, adalah salah satu faktor yang dianggap secara tidak langsung berperan pada pecahnya Perang Dunia II.
Artinya, memang ada dampak serius yang timbul jika perang dagang ini melahirkan resesi ekonomi. Bagi Trump, kebijakan merkantil-proteksionis tersebut memang menjadi bagian dari wacana yang telah ia bangun sejak kampanye, yakni bahwa ada ketimpangan dan ketidakadilan dalam hubungan perdagangan antara AS dengan Tiongkok.
Kebijakan-kebijakan AS dan Tiongkok tersebut ditakutkan dapat berujung pada persaingan tanpa henti yang melahirkan blok-blok, sama seperti yang terjadi pada era Perang Dingin. Apalagi, narasi yang dibangun di AS terhadap Tiongkok cenderung menganggap negara tersebut sebagai “revisionist powers” – istilah yang digunakan Luhut dalam tulisannya.
Tiongkok juga dianggap punya ambisi untuk membangun “empire” baru lewat kekuatan ekonomi yang predatory – “memangsa” negara lain lewat kerja sama ekonomi – sembari memperkuat militernya. Artinya, potensi perubahan arah dari perang dagang ke Perang Dingin, dan kemudian ke perang terbuka sangat mungkin terjadi.
Luhut Pandjaitan: If the Indo-Pacific becomes a naval arena designed to contain China – "One outcome might even be the Chinese contemplating a Sino-Pacific sphere, in opposition to the Indo-Pacific one, that excludes America." https://t.co/6YyFNtUTZW
— Manjeet S. Pardesi (@manjeetsp) December 20, 2018
Jokowi dan Prabowo Mau ke Mana?
Tentu pertanyaannya adalah posisi apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia jika Perang Dingin 2.0 ini terjadi?
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini memang dikenal dekat dengan Tiongkok, terutama lewat kerja sama ekonomi di sektor pembiayaan pembangunan infrastruktur. Investasi Tiongkok di Indonesia juga terus meningkat setiap tahunnya dan negara Tirai Bambu itu juga menjadi mitra dagang terbesar Indonesia.
Artinya, jika Perang Dingin 2.0 benar-benar terjadi, besar kemungkinan Jokowi akan berada di sisi Tiongkok. Namun, sikap politik tersebut pasti tidak akan benar-benar dinyatakan secara terbuka karena AS pun punya hubungan yang cukup erat dengan Indonesia dan punya banyak kepentingan di negara ini.
Lalu, bagaimana dengan Prabowo? Jika dilihat dari kampanye politiknya, sang jenderal memang kerap menyerang Jokowi dengan isu-isu ekonomi yang berhubungan dengan Tiongkok.
Dengan latar belakang pendidikannya yang ala Barat, berpeluang membuat Prabowo akan cenderung linear dengan kepentingan AS. Hal ini juga sangat mungkin berkaitan dengan pertalian kepentingan binis yang berhubungan dengan keluarganya. (Baca: Pompeo, Jokowi Tak Didukung AS)
Yang jelas, baik Jokowi mapun Prabowo harus menyikapi persoalan ini dengan hati-hati. Republik ini telah mengalami dua kepemimpinan di era Perang Dingin. Soekarno misalnya, cenderung bersebelahan dengan AS, sementara Soeharto sebaliknya, cenderung dekat dengan negara tersebut. Keduanya pun mengalami baik untung maupun rugi dari pilihan politik yang diambil.
Pada akhirnya, Menteri Luhut memang membawa kembali wacana ekonomi-politik global ke dalam diskursus pengambilan kebijakan. Sejarah sudah membuktikan, entah itu teh hitam, opium, hingga tetek bengek produk high-tech dan kedelai, menjadi saksi benturan-benturan kepentingan, konflik atau perang yang perlu diwaspadai.
Indonesia memang perlu bersikap karena bagaimanapun juga, seperti kata Herbert Hoover di awal tulisan, generasi tua yang menciptakan perang, namun generasai muda lah yang bertarung dan mati. (S13)