Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Tiongkok vs Prabowo-Barat?

Jokowi-Tiongkok vs Prabowo-Barat?

Jokowi dan Prabowo sangat mungkin berdiri di depan dua kepentingan hegemon yang berbeda (Foto: istimewa)

Debat keempat Pilpres 2019 membuka wacana publik tentang perbedaan  antara Jokowi dan Prabowo dalam hal militer serta hubungan internasional. Jokowi yang meletakkan militer di posisi ketiga setelah infrastruktur dan pembangunan manusia cenderung bergerak ke arah kooperasi ekonomi-politik dengan negara seperti Tiongkok. Sementara Prabowo menempatkan militer sebagai hal yang utama untuk membangun kekuatan nasional dan dianggap cenderung linear dengan kepentingan negara-negara Barat. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“Pessimism of the spirit; optimism of the will.”

:: Antonio Gramsci (1891-1937), filsuf Italia ::

[dropcap]K[/dropcap]onsep hegemoni adalah salah satu hal yang cukup sering ditemui dalam hubungan internasional. Kondisi yang sering diartikan sebagai keberadaan dominasi suatu negara atas negara lain tersebut nyatanya telah diperdebatkan bahkan jauh sebelum konsep negara bangsa (nation state) modern dicetuskan.

Sejarah Perang Peloponnesian yang dimainkan oleh Sparta, Athena dan Makedonia adalah salah satu kisah hegemoni yang terjadi sejak tahun 431 SM.

Kala itu, Sparta adalah kekuatan utama yang mempengaruhi negara-negara di Peloponnesian League. Sementara Raja Philip II dari Makedonia – ayah dari Alexander Agung – adalah hegemon dari League of Corinth yang sedang dalam upaya ekspansi kekuasaan ke negara-negara Yunani.

Kedekatan Jokowi dengan Tiongkok memang akan berbuah pada perubahan arah dukungan politik terhadapnya dari negara-negara Barat. Share on X

Konteks tersebut sama halnya ketika Athena juga muncul dan membentuk hegemon baru lewat Delian League. Benturan hegemon-hegemon itu kemudian melahirkan perang yang menjadi salah satu tonggak sejarah peradaban manusia.

Perbincangan tentang hegemoni itulah yang sekiranya bisa dilihat dalam debat keempat Pilpres 2019 beberapa hari lalu antara Joko Widodo (Jokowi) melawan Prabowo Subianto.

Debat tersebut memang menarik, bukan hanya terkait penampilan Prabowo yang begitu ofensif, namun juga terkait perbedaan ideologis, pemahaman tentang konsep pertahanan keamanan, serta arah politik luar negeri yang terjadi di antara kedua kandidat tersebut. Selain itu, terbersit pula konteks dominasi negara luar dalam membentuk wacana politik domestik yang terlihat dalam garis kebijakan masing-masing kandidat.

Jokowi misalnya berbicara tentang keterlibatan Indonesia dalam banyak upaya perdamaian lewat lembaga-lembaga internasional. Ia menganggapnya sebagai sebuah prestasi. Sementara itu, Prabowo justru berbicara tentang kondisi anarki yang umumnya terjadi dalam hubungan internasional, di mana negara akan mendapatkan pencapaian kepentingan nasional jika mempunyai militer yang kuat.

Konteks perbedaan pendapat ini memang memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Bahkan, jika ditarik ke tingkatan yang paling atas, ada benturan konsep kedekatan politik dengan entitas blok atau negara tertentu yang melibatkan hegemon-hegemon politik internasional saat ini. Tentu pertanyaannya adalah seperti apa benturan itu bisa dimaknai?

Pilpres 2019, Barat vs Tiongkok?

Dalam konteks kondisi politik internasional saat ini, memang terdapat perbedaan arah keberpihakan yang terjadi antara Jokowi dan Prabowo.

Jokowi memang percaya bahwa hubungan dengan negara lain didasari atas kooperasi dan bahwa kepentingan nasional akan bisa terwujud lewat kerja sama dan investasi. Terlihat bahwa sang presiden juga mempercayai bahwa hal tersebut akan membantu negara memenuhi kepentingan nasionalnya.

Pandangan Jokowi ini memang cenderung mengarah pada model pendekatan liberalisme dalam hubungan internasional, di mana negara atau pemimpin negara percaya bahwa ada keunggulan komparatif – seperti yang diungkapkan oleh ahli ekonomi-politik Inggris, David Ricardo – dan membuatnya tidak bisa bergantung pada diri sendiri untuk memenuhi kepentingan nasionalnya serta bisa mengambil lebih banyak keuntungan lewat kerja sama perdagangan serta investasi.

Konteks inilah yang membuat kebijakan Jokowi di era awal kekuasaannya cenderung membuka pintu investasi kepada negara seperti Tiongkok yang sedang getol-getolnya memberikan bantuan pendanaan pembangunan.

Dalam hal investasi, Tiongkok memang memiliki keunggulan komparatif, di mana pinjaman yang diberikan cenderung berbunga lunak – apa yang oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan disebut sebagai “duit yang murah”.

Konteks ini juga yang kemudian membuat Indonesia cenderung mulai berpaling dari negara-negara Barat, seperti AS dan Uni Eropa dalam hal kerja sama ekonomi dan investasi.

Dengan AS misalnya, di awal kekuasaan Jokowi, penurunan besaran investasi yang terjadi bahkan mencapai 2 kali lipat, dari US$ 2,4 miliar (Rp 33,9 triliun) pada 2013 menjadi US$ 1,3 miliar (Rp 18,3 triliun) pada tahun 2014. Jumlah ini terus turun mejadi US$ 893 juta (Rp 12,6 triliun) pada tahun 2015.

Hal yang sebaliknya justru terjadi pada Tiongkok, di mana investasi dari negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu terus mengalami peningkatan. Kini, investasi Tiongkok hanya kalah dari Jepang dan Singapura. Negara tersebut juga kini menjadi partner dagang terbesar Indonesia.

Lain Jokowi, lain pula Prabowo. Sang jenderal justru terlihat menggunakan pendekatan yang sebaliknya dalam melihat hubungan internasional, yaitu realisme. Pandangan ini adalah aliran yang melihat negara sebagai aktor utama, bukan organisasi-organisasi internasional.

Realisme memandang kondisi hubungan internasional sebagai sebuah anarki, di mana negara-negara akan selalu berjuang untuk mendapatkan power dan berupaya dengan segala cara mencapai kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, negara yang kuat akan cenderung punya posisi yang lebih tinggi dibandingkan negara lain dan militer adalah salah satu faktor kunci kekuatan nasional tersebut.

Kondisi ini juga melahirkan apa yang disebut sebagai sebagai zero sum game, di mana hubungan internasional cenderung menguntungkan bagi satu pihak dan merugikan bagi pihak lain – analogi yang diambil dari penjumlahan dua angka yang sama dengan dengan tanda plus dan minus di depan masing-masing angka tersebut.

Dengan demikian, dalam kaca mata Prabowo, negara harus memperjuangkan posisinya agar menjadi pihak yang selalu diuntungkan. Caranya adalah meningkatkan posisi tawar negara tersebut, katakanlah dengan memperkuat militernya lewat peningkatan anggaran serta pembelian persenjataan mutakhir.

Secara tidak langsung memang hal ini membuat pengeluaran militer dan persenjataan akan membesar. Menariknya, perusahaan-perusahaan pembuat alat utama sistem senjata (Alutsista) didominasi oleh negara-negara Barat, terutama AS. Pada tahun 2017, 5 perusahaan asal AS ada di daftar teratas dalam 6 perusahaan produsen Alutsista terbesar di dunia.

Lalu, apakah hal tersebut lantas membuat Prabowo dengan sendirinya punya afiliasi politik dengan AS dan negara-negara Barat?

Bisa jadi. Apalagi dalam salah satu wawancaranya dengan Allan Nairn, sang jenderal pernah menuturkan bahwa dirinya adalah American’s fair-haired boy – kiasan untuk menggambarkan kedekatannya dengan negara tersebut.

Prabowo juga pernah menyebutkan bahwa dirinya dekat dengan lingkungan militer dan intelijen AS, sekalipun pernah di-black list oleh otoritas negara tersebut.

Apalagi, saat ini Partai Republik tengah berkuasa, di mana kelompok industri dan militer adalah bagian dari pendana utamanya. Latar belakang dua kelompok penyokong tersebut memang cenderung lebih dekat dengan Prabowo.

Jelang Pilpres 2014 lalu misalnya, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo disebut sempat bertemu dengan banyak pengusaha di negeri Paman Sam dari sektor tersebut.

Konteks kepentingan ini juga akan sangat sejalan dengan upaya untuk membendung pengaruh Tiongkok di kawasan Asia Pasifik. Negara tersebut memang tengah tampil sebagai hegemon baru di kawasan.

Tiongkok kini memang memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik lewat program One Belt One Road (OBOR) yang berpusat pada pembangunan pusat-pusat ekonomi dan infrastruktur. Secara kebetulan – seperti sudah disebutkan sebelumnya – pendekatan pembangunan Jokowi memang membuatnya cenderung dekat dengan negara itu.

Artinya, memang sangat mungkin ada dua hegemon yang berbenturan pada Pilpres kali ini. Jokowi yang dekat dengan Tiongkok akan berhadapan dengan Prabowo yang bisa memanfaatkan ketidaksukaan Barat terhadap negara tersebut. Hingga kini AS dan Tiongkok pun masih terlibat dalam perang dagang “berdarah-darah”.

Apalagi negeri Paman Sam cukup sering terlibat dalam konteks pergantian kekuasaan di Indonesia – hal yang sudah terlihat sejak kejatuhan Soekarno. Dengan demikian, benturan ideologis dalam konteks pendekatan militer dan hubungan internasional sesungguhnya menggambarkan benturan hegemoni yang terjadi antara Tiongkok melawan negara-negara Barat, terutama AS.

Setelah Malaysia, Indonesia Lagi?

Sesungguhnya, kondisi ini sangat mirip dengan yang terjadi di Malaysia di bawah kekuasaan Najib Razak. Mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia itu memang cenderung mengarahkan kebijakan negaranya semakin dekat dengan Tiongkok lewat pendanaan investasi hingga hubungan militer.

Akibatnya, hal itu disebut mengganggu kepentingan AS di kawasan. Konteks keterlibatan negara tersebut terindikasi di mana akhir kekuasaan Najib disebut-sebut juga ditandai dengan keberadaan entitas AS, katakanlah lewat FBI yang sampai ikut terlibat dalam mengungkap skandal 1MDB yang menjatuhkan pria yang menjabat sebagai PM sejak 2009 tersebut.

Hal ini juga diungkapkan oleh Satu Limaye, Direktur East-West Center Washington DC – sebuah lembaga riset bentukan Kongres AS – dalam perbincangannya di National Public Radio (NPR). Kala itu Limaye  menyebut kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo ke beberapa negara di Asia Tenggara pada Agustus 2018 lalu juga bermaksud untuk “mengamankan” kepentingan politik AS di negara-negara tersebut.

Secara spesifik, Limaye menyebut Malaysia misalnya, yang baru mengalami pergantian kekuasaan, menjadi salah satu fokus kunjungan itu. Menurutnya, Pompeo membawa misi untuk memastikan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Mahathir Mohamad bisa mengakomodir kepentingan AS di negara tersebut.

Konteks kepentingan tersebut semakin terlihat jelas ketika Mahathir merenogosiasi dan membatalkan banyak proyek dengan Tiongkok. Artinya, memang bisa dipastikan ada nuansa pertarungan hegemoni yang terjadi dalam pertarungan kekuasaan kala itu.

Dalam hubungannya dengan Pilpres 2019, hal ini nyatanya juga sangat mungkin terjadi. (Baca: Pompeo, Jokowi Tak Didukung AS?) Kedekatan Jokowi dengan Tiongkok memang akan berbuah pada perubahan arah dukungan politik terhadapnya dari negara-negara Barat.

Dengan demikian, menyebut bahwa pertarungan politik kali ini juga melibatkan entitas Tiongkok melawan Barat atau AS di dalamnya, bisa dibenarkan. Hal ini hanya bisa dihindari jika Jokowi mengubah pendekatan politiknya atau memutar haluan di hari-hari akhir jelang pemungutan suara. Kalau hal itu tidak dilakukan, sangat mungkin Prabowo akan mendapatkan keuntungan politik dari situasi ini.

Pada akhirnya, konteks benturan hegemoni ini memang membuat pertarungan politik di Indonesia menjadi multidimensional. Hanya keinginan yang bisa menyelamatkan, demikian kata Antonio Gramsci di awal tulisan. (S13)

Exit mobile version