Dalam konteks psikologis, Sandi berhasil memikat emak-emak dengan membangun persepsi perempuan melalui sosoknya yang kharismatik dan rupawan. Terlihat dari beberapa aksi kunjungannya di beberapa daerah, ia kerap lekat berinteraksi dengan emak-emak.
PinterPolitik.com
[dropcap]E[/dropcap]mak-emak menjadi diskursus penting di tahun politik ini, terutama pasca cawapres nomor urut 2, Sandiaga Uno memviralkan diksi “emak-emak” dan semakin dekat dengan kelompok tersebut. Secara cepat, eksistensi emak-emak dalam politik jadi rebutan banyak pihak.
Maklum saja, setengah dari total 197 juta pemilih sementara untuk Pemilu 2019 nanti adalah perempuan. Tak heran, jika para politisi mulai menggaungkan isu yang berhubungan dengan perempuan karena ini jadi ceruk yang sangat menarik untuk digarap oleh kedua kandidat.
Walaupun Prabowo-Sandi menjadi sangat populer berkat jargon emak-emak, nyatanya survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan bahwa di segmen emak-emak atau perempuan, Jokowi-Ma'ruf masih unggul dibandingkan… Share on XMengutip situs pencatat data media sosial Spredfast seperti dilansir dari BBC Indonesia, akibat aktivitas Sandi, kata “emak-emak” mulai banyak digunakan di Twitter sejak akhir Agustus lalu. Jumlahnya hingga kini mencapai sekitar 70.000 cuitan.
Dalam konteks Pemilu, menarik untuk menjawab mengapa penting memperebutkan suara perempuan. Akankah gerakan “emak-emak” ala Sandi mampu membawanya bersama Prabowo mengalahkan Jokowi dan Ma’ruf Amin?
Adu Strategi Rebutan Emak-Emak
Setelah beberapa lama beredar, jargon emak-emak Sandiaga Uno nampaknya berhasil memantik reaksi politik dari kubu lawan. Tim Jokowi-Ma’ruf pada akhirnya juga merespons isu emak-emak dengan menciptakan jargon tandingan, yaitu “ibu bangsa”.
Hal ini salah satunya disampaikan oleh Jokowi dalam acara Temu Nasional Kongres Wanita Indonesia ke-90 dan Sidang Umum International Council of Woman (ICW) ke-35 di Yogyakarta. Pada kesempatan itu, sang presiden mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk menjadi ibu bangsa yang mempunyai peran penting dalam mendidik para penerus masa depan bangsa.
Terkait hal tersebut, jika melihat postur pendukung keduanya, bisa disimpulkan bahwa jargon emak-emak ala Sandiaga merupakan representasi kesederhanaan dan merakyat yang sesuai dengan visi “Adil dan Makmur” kubu Prabowo-Sandi.
Untuk menarik simpati emak-emak. satu pasang Capres menggelar pasar murah. Emak2 diyakinkan hanya dg uang Rp. 2000, dapat membawa pulang antara lain : Minyak, Terigu, garam, kol, tauge, daun bawang, wortel dalam satu paket.
Paket tersebut diberi nama BAKWAN
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) September 23, 2018
Sedangkan jargon ibu bangsa ala Jokowi merupakan perwujudan kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Hal ini sejalan dengan visi pembangunan sumber daya manusia yang unggul milik kubu Jokowi-Ma’ruf.
Menurut pengamat politik CSIS Arya Fernandes, tim Prabowo-Sandi memilih diksi “emak-emak” karena lebih memorable, sehingga akan lebih mudah diingat orang.
Sementara jargon “ibu bangsa” bisa diasumsikan lebih melekat pada segmentasi pemilih milenial dan kelompok intelektual.
Walaupun Prabowo-Sandi menjadi sangat populer berkat jargon emak-emak, nyatanya survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan bahwa di segmen emak-emak atau perempuan, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 50,2 persen atas Prabowo-Sandi yang hanya memperoleh tingkat dukungan sebesar 30,0 persen.
Merespons kekalahan hasil survei tersebut, Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Suparno mengatakan tim pemenangan Prabowo-Sandi berencana membentuk jubir khusus emak-emak.
Tugasnya adalah untuk menguatkan fungsi dan peran juru bicara tim pemenangan Prabowo-Sandi. Jubir emak-emak ini akan menyuarakan keprihatinan perempuan-perempuan di Indonesia.
Langkah ini bisa disebut sebagi manuver politik yang cukup strategis sekaligus progresif dari kubu Prabowo-Sandi.
Mengapa Emak-Emak Penting?
Polemik jargon emak-emak bisa dikatakan sebagai bentuk politik gender. Politik gender adalah salah satu cara klasik yang kerap berhasil dalam mendulang suara di Pemilu.
Gender muncul sebagai fitur penting dalam kampanye politik di abad ke-20. Barbara C. Burrell dari Northern Illinois University dalam jurnalnya Gender, Presidential Elections and Public Policy: Making Women’s Votes Matter mengatakan politik gender muncul sebagai salah satu pembatas untuk mendefinisikan identitas politisi dan pemilih di Amerika Serikat (AS), meskipun pernah dianggap sebagai isu marginal.
Barusan di Bandara Juanda kasir kafe mengembalikan duitku. “Sudah dibayari ibu2 yg di sudut sana Mbah. Orangnya ud boarding,” kata kasir. Wah.. menurutmu ini the power of emak2 apa the power of ibu bangsa, Cuk?
— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) September 26, 2018
Suara wanita bahkan dianggap lebih penting daripada pria karena dapat mempengaruhi hasil Pemilu, terutama dalam konteks jumlah pemilih.
Mantan Direktur Eksektif Democratic Leadership Council and Progressive Policy Institute, Chuck Alston pernah mengatakan bahwa suara perempuan sering kali menjadi penentu hasil akhir kontestasi politik di AS. Pernyataan tersebut dalam banyak hal menjadi ciri lanskap politik elektoral negara tersebut dalam 25 tahun terakhir.
Ironisnya, pada Pilpres AS 2016 lalu, Hillary Clinton yang berpeluang menjadi presiden perempuan pertama di negara tersebut, justru kehilangan ceruk pemilih wanita.
Saat itu Hillary menggunakan politik identitas berbasis gender, cara yang sama yang digunakan Barack Obama ketika mengumpulkan pemilih kulit hitam pada tahun 2008. Namun, sementara Obama memenangkan 95 persen suara pemilih kulit hitam, Clinton nyatanya memenangkan hanya 54 persen suara perempuan.
Dalam penelitian asisten profesor di Oregon State University, Kelsy Kretschmer, terungkap bahwa kekalahan Clinton dalam memainkan diskursus perempuan di Pilpres AS 2016 terjadi karena perempuan kulit putih yang mayoritas mendukung Trump, mengalami ketergantungan secara ekonomi kepada suami mereka. Sehingga alasan ekonomi adalah pertimbangan utama bagi perempuan untuk menentukan pilihan.
Paradoks dalam Pilpres AS tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya politik gender tidak hanya terpaku pada upaya perempuan meraih eksistensi dalam politik, tetapi juga sebagai bentuk alat bagi laki-laki untuk memaksimalkan suara perempuan.
Pilpres AS 2016 sudah membuktikan bahwa urusan ekonomi dan asap dapur seringkali menjadi faktor penentu pilihan perempuan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Dalam konteks politik Indonesia, bisa jadi Pilpres tahun depan akan menjadi sejarah jika politik gender lewat jargon emak-emak atau ibu bangsa yang dipakai berhasil menentukan hasil akhir.
The power of emak-emak ala Sandi bisa menjadi jargon yang akan mengantarkannya menduduki kekuasaan. Terlebih, framing media terhadap isu emak-emak ini menjadi salah satu kekuatan pencitraan mantan Wagub DKI Jakarta itu.
Selain itu, pada beberapa Pemilu sebelumnya, apa yang dilakukan Sandi juga pernah terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Pada Pemilu 2009, SBY berhasil memanfaatkan pilihan politik kaum perempuan yang akhirnya mengantarnya ke puncak kekuasaan untuk dua periode.
Menurut laporan Tempo, SBY berhasil mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang hangat (cool), santun, gagah dan manis (nice). Tidak heran citra sang jenderal menjadi sangat positif di mata banyak kelompok pemilih yang saat ini disebut sebagai emak-emak itu.
Beberapa poin tersebut ternyata efektif membuat rakyat kembali terpesona untuk memilihnya lagi, ketimbang mendukung sang lawan, Megawati Soekarnoputri. Bahkan, Megawati yang menjadi capres perempuan justru kehilangan suara di kalangan pemilih perempuan.
Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan gender telah menjadi bagian dari retorika politik. Nyatanya, ide kesenjangan gender dibingkai dalam dinamika kampanye dan pembuatan kebijakan dalam Pemilu politik.
Dalam konteks Sandi hal ini juga mendapatkan kritik dari kelompok aktivis perempuan yang menganggap cawapres Prabowo itu hanya memanfaatkan kekuatan elektoral ibu-ibu rumah tangga.
Walaupun demikian, pidato Sandi setelah mendaftar di KPU beberapa waktu lalu yang menyinggung belum terrepresentasikannya peran emak-emak dalam politik berhasil meningkatkan pamornya. Dampaknya kata-kata tersebut tentu saja semakin menguatkan citra Sandi, hal yang turut difasilitasi oleh media.
Hal ini tentu saja patut diperhatikan oleh kubu petahana, mengingat jargon ibu bangsa lebih terkesan eksklusif dan hanya menyasar kelompok aktivis. Pada titik ini, Jokowi-Ma’ruf perlu memikirkan strategi tertentu jika tidak ingin kehilangan dukungan dari para ibu rumah tangga tersebut.
Psikologi Politik Pemilih Perempuan
Jika diperhatikan, pendekatan yang digunakan Sandi melalui glorifikasi isu-isu seperti pangan dan ekonomi memang menjadi daya magis tersendiri dalam memikat segmentasi suara perempuan. Hal ini tidak terlepas dari pendekatan psikologis dalam menjaring perilaku politik.
Menurut beberapa sarjana Ilmu Politik dari Universitas Michigan, terdapat tiga pusat perhatian dari pendekatan psikologis dalam melihat perilaku pemilih, yaitu persepsi dan penilaian pribadi terhadap kandidat, persepsi dan penilaian pribadi terhadap tema-tema yang diangkat, serta identifikasi partai atau partisanship.
Dalam konteks psikologis, Sandi berhasil memikat emak-emak dengan membangun persepsi perempuan melalui sosoknya yang kharismatik dan rupawan. Terlihat dari beberapa aksi kunjungannya di beberapa daerah, ia kerap lekat berinteraksi dengan emak-emak.
Di Surabaya, Malang, hingga Medan, kehadiran Sandi mengundang simpati emak-emak yang menunjukkan sikap histeris atau hanya sekedar ingin mencubit pipi pria 49 tahun itu.
Selain itu, dengan mengangkat isu ekonomi dan menyasar isu kesenjangan, Sandi berhasil menjaring simpati pemilih. Merangkul para emak bahkan sudah dilakukan sejak ia masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI. Bahkan ia mencontohkan kebijakannya kala menjabat sebagai wagub DKI yang diklaimnya memudahkan emak-emak.
Bukan tidak mungkin hal-hal semacam ini membuat sosok Sandi lebih melekat di hati emak-emak, terutama pada segmentasi kelas sosial menengah ke bawah.
Politik emak-emak Sandi bisa jadi membahayakan elektabilitas kubu Jokowi-Ma’ruf dalam beberapa waktu ke depan.
Apalagi, dalam konteks isu perempuan, kubu petahana selama ini mengusung ide-ide kesetaraan gender yang sebenarnya tidak menyentuh realitas persoalan perempuan di Indonesia yang seringkali lebih banyak dipusingkan dengan urusan asap dapur dan mahalnya kebutuhan pokok.
Dengan demikian, mungkinkah kubu Jokowi akan kalah dalam menggaet suara emak-emak? Menarik untuk ditunggu. (M39)