Nyanyian La Nyalla menjadi ‘bisul’ baru bagi Prabowo Subianto
PinterPolitik.com
“Kini rezim Jokowi senang sekali dengan perseteruan ini.”
-Slamet Maarif, Ketua Presidium Alumni 212-
Betul seratus persen pernyataan Slamet Maarif, yang juga juru bicara Front Pembela Islam (FPI), bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasti sedang berdendang menikmati atraksi perseteruan La Nyalla melawan Prabowo. Karena, siapa lagi selain pemerintah yang paling diuntungkan dengan terpecahnya kekuatan oposisi?
La Nyalla Mattalitti, Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila ‘bernyanyi’ di depan media massa menyoal permintaan mahar politik dari Prabowo Subianto sebesar 40 miliar kepadanya. Tak hanya dari Prabowo, La Nyalla juga menyebut ada permintaan dari Supriyatno, Ketua DPD Gerindra Jawa Timur sebesar lebih dari 100 miliar rupiah. Semua permintaan ‘mahar politik’ itu terkait keinginan La Nyalla untuk maju di Pilkada Jatim.
Pernyataan-pernyataannya ini kemudian menjadi pro-kontra di muka publik. Sebagian melihat praktik pemberian mahar politik sebagai hal biasa di Indonesia, dan mereka mengritik La Nyalla “cengeng” menghadapi kondisi ini.
Sebagian yang lain, yakni kelompok pro-pemerintah, tentu saja mengkapitalisasi isu ini untuk menjatuhkan nama Prabowo. Mereka mengritik Gerindra sebagai partai “tukang palak” dan Prabowo “sudah kehabisan uang.” Seakan-akan praktik seperti itu hanya Gerindra saja yang melakukannya.
Masalah ini pun lalu melebar kemana-mana. La Nyalla mengaku akan mem-polisi-kan oknum Gerindra yang “memalak” dirinya itu. Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri berjanji akan turun tangan mengenai isu ini, dengan memanggil kedua belah pihak yang berseteru: La Nyalla dan Prabowo.
Di samping gaduh masalah makar, uang kampanye, uang saksi TPS, dan uang-uang lainnya dalam politik kita, ada relasi kuasa yang terus bermain dalam kisruh ini. Tak hanya perkara Jatim saja, agresi kepada Gerindra sebagai partai oposisi terkuat ini pasti akan berdampak di level nasional.
Beberapa pihak menyebut ada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang turut bermain di sana. Benarkah?
Pemuda Pancasila Balik Badan?
La Nyalla bukan orang sembarangan di Jawa Timur. Derap langkah karir profesional dan organisasinya banyak dihabiskan di provinsi paling timur di Pulau Jawa ini. Aktivitas-aktivitasnya itu kemudian membuat La Nyalla memiliki kekuatan politik yang kokoh di Jawa Timur.
Dari sekian banyak organisasi yang digelutinya, mulai dari pengurus Kosgoro sampai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Timur, organisasi Pemuda Pancasila (PP) adalah yang menyumbang modal politik terbesar bagi La Nyalla. Ini terlihat dari bagaimana dia menduduki jabatan Ketua MPW PP Jawa Timur karena dorongan dari 38 MPC kabupaten-kota se-Jawa Timur.
La Nyalla sendiri sebelumnya memang pernah menjabat sebagai salah satu jajaran pengurus MPW PP Jatim. Namun, pada periode 2017-2022 ini ia mengaku tak memiliki ambisi untuk maju. Keterpilihannya sebagai ketua murni adalah ‘dorongan dari bawah’.
Selain basis organisasinya yang kuat, La Nyalla juga pernah menjabat di tiga perusahaan yang berbasis di Jawa Timur. Ketiganya adalah PT Airlanggatama Nusantara Sakti sebagai manajer, PT Airlangga Media Cakra Nusantara sebagai komisaris, dan PT Pelabuhan Jatim Satu juga sebagai komisaris.
Dari pengalaman bisnisnya ini, La Nyalla kemudian sempat menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Jatim, yang menyeretnya dalam kasus korupsi sebesar 5,3 miliar rupiah. Pada Desember 2016, La Nyalla lolos dari kasus ini dengan begitu banyak kontroversi di dalamnya.
Begitupun menjelang gelaran Pilkada 2018, pengurus MPC PP se-Jatim mendukung penuh pencalonan La Nyalla sebagai calon gubernur. Sudah ada suara bulat dari seluruh MPC PP di Jatim untuk mengusungnya sebagai cagub. Koalisi Trisula (Gerindra, PKS, PAN) diyakini oleh PP akan mengusung La Nyalla.
Namun, gagalnya Koalisi Trisula mengusung La Nyalla kemudian disinyalir menimbulkan sakit hati dari La Nyalla dan PP Jatim kepada Koalisi Trisula. Karenanya, agresi dilancarkan ke partai pemimpin mereka, Gerindra.
Sementara diam-diam di Istana Negara, Jokowi diduga sudah sejak lama menancapkan kukunya di Pemuda Pancasila. PP yang dulunya adalah pendukung Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014 tak lagi memiliki kedekatan dan komunikasi politik yang intens dengan Gerindra. Berbeda dengan, katakanlah, ormas seperti FPI.
Hubungan Jokowi dengan PP mengalami titik kulminasi dari negatif menjadi positif di tahun 2017 lalu. Sebelumnya, pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah belum memiliki hubungan yang terlalu baik dengan PP.
Pada saat itu, pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Panjaitan menyerang PP dengan ancaman akan membubarkan organisasi itu. Ancaman dilemparkan Luhut karena PP Jatim dianggap menekan proses hukum pengusutan kasus korupsi La Nyalla.
Ya, uniknya, ada nama La Nyalla lagi dalam pusaran relasi pemerintah dengan PP. Relasi konfrontatif yang terbangun saat itu, yang kemudian melahirkan persepsi La Nyalla dan PP sebagai musuh pemerintah.
Persepsi tersebut serta merta diputarbalikkan oleh Jokowi setahun kemudian. Jokowi disambangi oleh Ketua Umum PP, Yapto Soelistyo Soerjosoemarno di Istana Negara pada September 2017. Saat itu, Yapto mengaku tidak membicarakan politik dan hanya berbincang santai soal hobi-hobi mereka. Jokowi dan Yapto, yang sama-sama orang Solo, menunjukkan kedekatannya pada kesempatan itu.
Sebulan setelahnya, atau pada Oktober 2017, Jokowi pun hadir ke Musyawarah Besar (Mubes) PP. Pujian kepada PP datang dari Jokowi. Pada kesempatan itu juga, Jokowi mengakui kedekatan dirinya dengan Yapto. Dan sekali lagi, ini menjadi penanda bahwa pertentangan PP dengan pemerintahan Jokowi yang terjadi dari 2014 sampai 2016 telah menjadi masa lalu. Mereka telah dekat sekarang.
Lantas mengamati ini semua, tidakkah kita bisa melihat pola pergeseran posisi politik PP? La Nyalla diloloskan dari jerat hukum pada akhir 2016, kemudian Yapto menunjukkan kedekatan pada Jokowi pada September 2017, lalu ditutup dengan statement Jokowi bahwa Pemuda Pancasila adalah ‘ormas yang spesial.’
Karenanya, persoalan mahar politik yang ‘semua orang juga tahu’ tapi diungkit-ungkit lagi oleh La Nyalla sangat mungkin telah didesain oleh PP, yang saat ini lebih dekat ke pemerintah.
Atau, katakanlah La Nyalla mulanya memang lebih dekat ke Gerindra. Namun, karena sakit hati dicampakkan oleh Gerindra, bisa saja La Nyalla menyalurkan sakit hati itu dengan berlabuh ke sisi Jokowi, melalui Yapto, bukan? ‘Politik sakit hati’ kini pada gilirannya dimainkan oleh pemerintah, setelah oposisi memainkan politik yang sama dengan Anies Baswedan dan Sudirman Said.
Jika kedekatan dengan PP memang menandai perubahan politik dalam ormas tersebut, maka boleh jadi Jokowi secara tidak langsung telah ‘menggunakan’ La Nyalla untuk menghantam Prabowo. Memang tidak ada bukti yang tegas menunjukkan hal tersebut, namun argumentasi ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Pengkhianatan Pada Prabowo
Dengan begini, apakah Prabowo sedang dalam proses dikhianati? Narasi besar ‘balik badan’-nya para pendukung Prabowo sejak 2014 sangat mungkin terjadi.
Pertama, Prabowo mungkin ditinggalkan PKS pada Pemilu 2019. Wasekjen PKS Mardani Ali Sera sempat berujar bahwa PKS kemungkinan berambisi mengusung calon sendiri, yakni Gubernur Jawa Barat saat ini, Ahmad Heryawan. Ambisi ini kemudian meminggirkan nama Prabowo dari prioritas PKS.
Kedua, massa Aksi Bela Islam pun dinilai sangat mungkin tidak mendukung Prabowo lagi di 2019. Oleh beberapa pengamat, hubungan Prabowo dengan massa Islam tidaklah organik, namun lahir dari politik transaksional dan bukan politik ideologis yang kuat. Indikasinya sudah banyak terlihat kala Gerindra mencoba menjaga jarak dengan kelompok ini. ‘Nyanyian’ Al Khaththath beberapa hari yang lalu pun semakin mengindikasikan pecah kongsi Prabowo-massa Islam. (Baca juga: Prabowo Jaga Jarak dengan FPI)
Dan ketiga, ada kekuatan Pemuda Pancasila yang juga perlahan-lahan membelot dari Prabowo. PP yang mendukung Prabowo 100 persen pada Pemilu 2014, tengah berjalan menjauh dari pihak Gerindra.
Sikap ‘balik badan’ juga ditunjukkan oleh banyak politisi Gerindra yang sekaligus pengurus PP, yang ramai-ramai mundur dari partai berlambang burung garuda itu, di mulai dari Andi Baso Juherman. Belum lagi bila benar isu Prabowo yang memiliki hubungan natural yang tidak terlalu baik dengan PP, maka habislah Prabowo.
Apakah ini berarti satu per satu kekuatan Prabowo—kali ini kekuatan basis massa—akan direbut oleh Jokowi untuk 2019 mendatang?
Jelas, seperti kata Slamet Maarif, Jokowi tengah tersenyum melihat ‘bisul’ di pihak Prabowo.
Sungguh menarik. (R17)