HomeNalar PolitikGatot dan Polemik Hak Politik Militer

Gatot dan Polemik Hak Politik Militer

Panglima TNI mewacanakan diberikannya kembali hak politik bagi prajurit TNI. Cita-cita institusi atau ambisi pribadi?


Pinterpolitik.com

Ketakutan akan kembalinya hegemoni militer atas kehidupan bermasyarakat Indonesia kembali menyeruak kala Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa prajurit TNI ibarat warga asing di Indonesia karena mereka tidak memiliki hak politik untuk ikut memberikan suaranya dalam pemilu. Untuk itu, Gatot berharap dalam 5-10 tahun ke depan, hak memilih dan dipilih sudah dapat diberikan kepada prajurit TNI.

Jika mundur ke belakang, semasa Orde Baru berkuasa, prajurit TNI, selain diberi porsi kerja militer mereka juga diberikan jatah mengisi jabatan-jabatan sipil lewat diterapkannya Dwifungsi ABRI. Di lembaga legislatif misalnya, ABRI mempunyai fraksi sendiri – Fraksi ABRI – di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang anggotanya diangkat tidak melalui proses pemilu. Akibat tidak berimbangnya relasi kuasa antara militer dan sipil, militer pun menguasai kehidupan masyarakat Indonesia dari level Nasional hingga tingkat pedesaan.

Drama cengkraman militer tamat semenjak angin reformasi berhembus pada 1998. Sejak saat itu, pengembalian peran TNI pun dimulai. Institusi TNI dipisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Dwifungsi ABRI dihapus, serta prajurit TNI tidak diberikan hak memilih dan dipilih dalam berbagai ajang pemilihan elektoral. Kaki dan tangan prajurit TNI aktif seolah dikekang, tak bisa lagi berpolitik.

Tidak Banyak Dukungan

Ucapan Gatot bisa dibilang tendensius, seolah ingin mendobrak kekangan politik yang amat membelenggu TNI. Namun sayangnya, Gatot tampak seperti ‘lone wolf’ yang berjuang sendiri dan banyak diserang sana-sini.

Seluruh jajaran yang berada di bawahnya, seperti pimpinan Kodam, Kopassus, Kostrad, dan berbagai institusi TNI lainnya, bungkam. Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, pun tidak setuju jika TNI diberikan hak politik. Menurut Ryamizard, kondisi saat ini tidak pas bagi TNI untuk memiliki hak politik. Sementara itu, Sekretaris Negara, Pratikno, mengatakan bahwa tidak seharusnya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mempermasalahkan hak politik anggota TNI sebab sudah ada dasar hukum yang melarang hal tersebut.

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Supiadin Aries Saputra menolak anggota TNI kembali diberikan hak pilih dalam pemilihan umum. Menurut dia, hal itu berpotensi memecah belah kesatuan TNI. Daripada diberikan hak pilih, Supiadin mengusulkan agar anggota TNI diberikan hak dipilih.

Operasi Senyap Militer di Berbagai Bidang

Walau dwifungsi ABRI sudah dihapus, namun nafasnya masih belum mati. Dalam bidang olahraga misalnya, purnawirawan TNI banyak mengisi jabatan ketua umum organisasi induk olahraga, seperti Wiranto yang menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia. Bahkan, prajurit TNI aktif seperti Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Edy Rahamayadi pun menduduki kursi Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Rangkap jabatan ini tidak hanya menyusup ke institusi pemerintah, beberapa petinggi militer juga menjadi komisaris di perusahaan BUMN, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT PINDAD, ataupun PT Dok dan Perkapalan.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Di bidang pertanian, militer pun diikutsertakan ‘perang’ di sawah. Mereka dituntut melakukan pembukaan sawah-sawah baru, penyuluhan kepada petani-petani di desa, mendistribusikan pupuk dan memastikan target produksi pertanian terpenuhi. Sementara di bidang pendidikan, wacana kurikulum bela negara kembali menyeruak. Bahkan di beberapa kampus, kuliah-kuliah umum diselenggarakan dengan mendatangkan petinggi militer sebagai pembicara utama.

Manuver Politik Sang Panglima

Jika dibandingkan dengan panglima TNI lain yang menjabat pasca reformasi, Gatot akrab bersenggolan dengan dunia politik. Misalnya, Gatot hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II Golkar. Di sana, dia membacakan puisi bertajuk “Tapi Bukan Kami” karya Denny JA. “Desa semakin kaya tapi bukan kami punya. Kota semakin kaya tapi bukan kami punya,” ujar Gatot. Pada acara tersebut, dari bangku peserta, hadirin menyoraki Gatot, “Capres, capres, capres.”

Gatot dan Polemik Hak Politik Militer
Panglima TNI Gatot Nurmantyo Bersama Jajaran Petinggi Partai Golkar

Di sisi lain, nama Gatot juga santer tampil dalam berbagai hasil survey kandidat calon presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.  Hasil survei yang dilakukan Segitiga Institute misalnya, menempatkan Gatot sebagai tokoh yang paling banyak dipilih untuk menjadi presiden dengan latar belakang militer. Elektabilitas Gatot mengalahkan panglima sebelumnya, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto, Jenderal (Purn) Moeldoko, dan Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono. Jika Gatot dapat mempertahankan elektabilitasnya ini, tak pelak lagi dia bakal bisa menjadi rival Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Sosok Gatot yang tampil dengan peci putih di samping Jokowi dalam aksi 212 dan sering memberikan pernyataan yang ‘menyejukkan’ umat Islam dinilai sebagai langkah politik mendulang suara dari kaum mayoritas. Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, mengatakan langkah Gatot Nurmantyo yang mendekati umat Islam belakangan ini sangat tepat pada saat umat Islam sedang mencari idola. “Karena itu, daripada ruang kosong umat Islam yang mencari idola ini mengerucut kepada Panglima Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, lebih baik Panglima TNI yang menjadi idola umat Islam, yang komitmennya pada NKRI tidak perlu diragukan lagi,” kata Qodari.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?
(Lihat juga: Percikan Antara Jokowi dan Gatot)
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla bersama sejumlah menteri hendak mendatangi area aksi Damai 212 (Sumber: Jawa Pos)

Untungnya bagi Gatot, meskipun di 2019 nanti prajurit TNI masih tidak bisa memilih dan dipilih, pasangan rumah tangga mereka (baik istri ataupun suami) masih bisa menggunakan haknya. Artinya, meski secara resmi tak punya hak politik, prajurit TNI dapat mendorong sanak keluarganya untuk memilih calon tertentu dalam ajang elektoral. Pernyataan Gatot yang ingin mengembalikan hak politik prajurit TNI bisa jadi daya jual tersendiri bagi prajurit TNI yang mendambakan kembalinya peran militer aktif dalam politik Indonesia.

Soal elektabilitas dan popularitas, modal Gatot cukup mumpuni jika ia serius ingin menjadi kandidat dalam ajang Pilpres 2019. Namun, ketika dibenturkan dengan wacana ‘militer masuk politik’, di sinilah letak kejelian strategi Jenderal Gatot diuji. Di satu sisi wacana tersebut dapat mengantarkannya meraup suara keluarga para prajurit TNI. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Indonesia masih trauma dengan hegemoni militer yang mendominasi Indonesia selama Orde Baru berkuasa.

Tentu, tidak mungkin Gatot tidak membaca keadaan bahwa rakyat mendamba pemimpin yang tegas sekaligus merakyat, tapi juga tidak militeristik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah pernyataan Gatot tersebut murni karena dia ingin melepas kekangan yang membelenggu institusinya atau hanya sekedar pemulus jalannya menuju Pilpres 2019?

Berikan pendapatmu.

(H31)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Simpang Siur Suara Yusril

Heboh, kata Yusril, Jokowi sudah bisa digulingkan dari jabatan presidennya karena besarnya utang negara sudah melebihi batas yang ditentukan. Usut punya usut, pernyataan tersebut...

Elit Politik Di Balik Partai Syariah 212

Bermodal ikon '212', Partai Syariah 212 melaju ke gelanggang politik Indonesia. Apakah pembentukan partai ini murni ditujukan untuk menegakan Indonesia bersyariah ataukah hanya sekedar...

Blokir Medsos, Kunci Tangani Terorisme?

Kebijakan pemerintah memblokir Telegram menuai pujian dan kecaman. Beberapa pihak menilai, hal tersebut merupakan bentuk ketegasan pemerintah terhadap mereka yang turut memudahkan jaringan terorisme...