Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menerbitkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Dalam instruksinya itu, eks Kapolri tersebut mengancam mencopot kepala daerah yang gagal menegakkan protokol kesehatan. Jika memang maklumat ini dikeluarkan untuk kepentingan penanganan pandemi, lantas mengapa baru diterbitkan saat ini? Adakah manuver lain di balik instruksi tersebut?
Polemik kerumunan massa simpatisan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) agaknya masih jauh dari kata selesai. Belum tuntas pemanggilan sejumlah kepala daerah oleh pihak kepolisian, kini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian turut meramaikan polemik ini.
Belum lama ini, Tito menerbitkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Dalam beleid tersebut, Tito menegaskan kepada para kepala daerah untuk konsisten menerapkan protokol kesehatan demi mencegah penyebaran Covid-19 di wilayahnya masing-masing.
Secara substansi, instruksi Tito ini sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya pemerintah untuk menekan penyebaran pagebluk yang memang belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Akan tetapi, aturan ini tetap menimbulkan perdebatan tersendiri lantaran disertai ancaman bahwa kepala daerah yang melanggar akan diberhentikan dari jabatannya.
Tito berdalih ancaman sanksi pemberhentian tersebut sesuai dengan aturan Pasal 78 Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah. Dalam poin kelima dijelaskan bahwa sanksi bagi kepala daerah yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan akan diberhentikan.
Kendati pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah memberikan klarifikasinya, namun sejumlah pakar tetap menanggapi sinisinstruksi Tito ini lantaran dinilai mencederai semangat otonomi daerah. Padahal desentralisasi kekuasaan tersebut merupakan salah satu amanat reformasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Orientasi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang cenderung mengarah pada sentralisasi kekuasaan sebenarnya bukan kali ini saja mencuat ke publik. Belum lama ini, pengesahan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) juga membangkitkan diskursus serupa lantaran sejumlah aturan di dalamnya berpotensi menyunat kewenangan pemerintahan daerah.
Erwida Maulia dalam tulisannya di Nikkei Asia mengatakan bahwa UU tersebut memungkinkan pemerintah pusat untuk merebut kembali kewenangan daerah dalam memproses izin usaha di berbagai sektor termasuk pertambangan, energi dan manufaktur. Hal ini kemudian membangkitkan memori akan kekuatan otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Selain persoalan hukum, instruksi Tito yang baru dikeluarkan bertepatan dengan polemik kerumunan HRS ini juga menimbulkan kecurigaan lain. Jika memang murni dimaksudkan untuk penanganan pandemi, mengapa Mendagri baru menerbitkan aturan tersebut saat ini? Apakah ini memang dimaksudkan untuk menjegal pihak-pihak tertentu?
Persoalan Hukum
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa pengangkatan seorang kepala daerah dilakukan langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Adapun peran Presiden dan Mendagri hanyalah menerbitkan keputusan tentang pengesahan calon kepala daerah terpilih dan melantiknya. Sehingga secara hukum, eksekutif tak bisa mengambil inisiatif untuk memberhentian kepala daerah yang sudah dipilih oleh rakyat. Mereka hanya bisa dicopot oleh DPRD melalui mekanisme pemakzulan.
Selain itu, Yusril juga menekankan instruksi seperti yang diterbitkan Tito juga sudah tak lagi tercantum sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019, sehingga maklumat tersebut tak bisa dijadikan dasar untuk pencopotan kepala daerah.
Senada, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf juga menilai bahwa pemerintah tak seharusnya menjatuhkan sanksi kepada kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan. Sebab penanganan pandemi bukan sepenuhnya tanggung jawab kepala daerah, melainkan juga pemerintah pusat dan institusi terkait lainnya.
Sebaliknya, Ia menyarankan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan koordinasi ketimbang mengambil tindakan hukum.
Di sisi lain, pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun justru melihat instruksi Tito ini dari sudut pandang berbeda. Ia mengingatkan pemerintah bahwa UU tidak boleh digunakan secara serampangan untuk menjatuhkan lawan politik.
Konteks wanti-wanti Refly ini kemudian menjadi menarik untuk didalami lebih lanjut. Jika memang pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu, maka pertanyaannya siapa sebenarnya yang hendak ditarget oleh instruksi tersebut?
Menarget Anies?
Kendati pihak Kemendagri berdalih telah memberikan peringatan kepada puluhan kepala daerah terkait penanganan pandemi, namun tak dapat dipungkiri, keluarnya ancaman pemecatan saat polemik kerumunan HRS mencuat ke muka publik akan menimbulkan persepsi bahwa instruksi tersebut memang disiapkan untuk momen seperti saat ini.
Apalagi kembalinya HRS ke Indonesia dipandang sejumlah pihak sebagai titik balik bagi kekuatan oposisi, sehingga menjadi wajar jika pemerintah kini tengah berusaha keras untuk membendung kekuatan tersebut.
Sejak kepulangan HRS yang fenomenal beberapa waktu lalu, sosok Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memang sudah menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Anies bahkan menjadi salah satu pejabat publik pertama yang menyambangi kediaman HRS di bilangan Petamburan, Jakarta.
Gercep-nya Anies untuk menyambangi HRS sebenarnya dapat dimaklumi. Keduanya memang memiliki kedekatan secara politik sejak Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Bahkan HRS dan kekuatan politiknya bisa dibilang berperan besar dalam membuka jalan Anies menuju DKI-1.
Melihat konteks garis politik Anies yang tak terpisahkan dengan HRS, kemudian menjadi wajar jika kini pemerintah tengah menjadikan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu sebagai ‘target operasi’. Termasuk jika itu harus ditempuh melalui instrumen hukum.
Tom Power dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn mengatakan bahwa politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum bukanlah fenomena baru di Indonesia. Bahkan menurutnya upaya pemerintah dalam memanfaatkan perangkat hukum demi kepentingan politik justru semakin lumrah dan sistematis di bawah kepemimpinan Jokowi.
Pendapat Tom Power tersebut nyatanya diamini oleh profesor dan pengamat politik Indonesia dari Australian National University (ANU) Greg Fealy. Dalam tulisannya di East Asia Forum, Ia menyebut pemerintahan Jokowi memang telah melakukan kampanye sistematis untuk menekan golongan Islamis seperti HRS.
Sampai di sini, agaknya bisa dipahami mengapa pemerintah ingin segera membendung kekuatan politik HRS. Namun ancaman yang dikeluarkan Tito tersebut secara spesifik diarahkan kepada kepala daerah, yang dalam konteks ini, Anies mungkin merupakan target empuk lantaran posisinya yang begitu dekat dengan HRS.
Jika semua asumsi ini benar, lantas pertanyaan selanjutnya, untuk kepentingan apa sebenarnya pemerintah ingin menjatuhkan Anies?
Salah Strategi FPI?
Sesaat setelah Polda Metro Jaya melakukan pemeriksaan terhadap Anies, gerakan #AniesForPresident2024 bergema di media sosial. Gerakan tersebut bahkan sempat memuncaki jajaran trending topic di media sosial Twitter.
Pihak FPI pun tidak menampik bahwa mereka lah yang berada di balik gerakan tersebut. Akun DPP FPI sempat mencuitkan sejumlah prestasi-prestasi Anies yang dibubuhi narasi provokatif seperti ‘guncang Istana’.
Kendati nama Anies memang langganan muncul dalam survei-survei kandidat calon presiden di 2024, namun, narasi pencalonan yang terlalu pagi bisa saja menjadi blunder yang malah akan merugikan Anies.
Refly Harun sendiri sudah mewanti-wanti hal tersebut. Menurutnya saat ini mesin politik seharusnya belum perlu panas, mengingat Pilkada DKI Jakarta maupun Pilpres tidak diselenggarakan dalam waktu dekat.
Frank McQuade dalam tulisannya yang berjudul Stepping Stone or Stumbling Block: How Soon for Political Advance? menyebutkan bahwa penggunaan posisi atau jabatan tertentu sebagai batu loncatan bagi karier politik berikutnya, dapat berbalik menjadi sebuah kerugian besar ketika dianggap tidak memiliki pencapaian atau justru berbuat blunder dan tidak dikalkulasikan secara matang.
Memang benar jika kursi DKI-1 yang kini diduduki Anies merupakan batu loncatan empuk bagi dirinya untuk meraih kursi politik tertinggi di negeri ini. Presiden Jokowi sendiri sudah membuktikan hal tersebut enam tahun lalu.
Kendati begitu, Anies tetaplah harus waspada. Sebab batu loncatan itu bisa berbalik menjadi batu sandungan jika Ia dianggap gagal dalam mengemban jabatan yang dipegangnya saat ini.Baca Juga :JIS, “Milik” Anies atau Jokowi?
Dalam konteks polemik ini, kemudian bisa saja dipahami bahwa ancaman Tito dan juga narasi-narasi yang mencoba menyudutkan Anies terkait munculnya kerumunan HRS di tengah pandemi merupakan respons pemerintah terhadap narasi pencalonan Anies yang terlalu dini oleh FPI.
Sebab, jika strategi ini berhasil, katakanlah skenario terburuknya Anies benar-benar dicopot untuk yang kedua kalinya, maka prospek penggagas gerakan Indonesia Mengajar itu untuk maju dalam Pilpres 2024 bisa saja gugur sebelum berkembang.
Kendati demikian, sekelumit ulasan tersebut hanyalah analisis teoritis semata yang masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Namun setidaknya bisa disepakati bahwa ancaman pemerintah untuk mencopot kepala daerah yang dipilih langsung merupakan tindakan tidak tepat karena berpotensi melangkahi kehendak dan suara rakyat. Bagaimana dinamika polemik ini akan bergulir tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.