Di sela-sela kesibukannya, Presiden Jokowi menyempatkan diri menjenguk Ani Yudhoyono, istri Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kunjungan tersebut mungkin oleh banyak pihak dimaknai sebagai hal yang lumrah. Namun, dengan kondisi politik saat ini jelang Pilpres 2019 dan sentralnya posisi politik SBY di koalisi Prabowo Subianto, hal ini tentu saja bisa dimaknai secara berbeda.
PinterPolitik.com
“Politics is the art of the possible”.
:: Otto von Bismarck
[dropcap]K[/dropcap]etika Partai Demokrat memutuskan untuk menjadi bagian dari koalisi pemenangan Prabowo Subianto pada Agustus 2018 lalu, hampir semua media massa menyorotinya sebagai salah satu kejadian paling penting di tahun tersebut.
Pasalnya, latar belakang keduanya yang sama-sama berasal dari militer menjadi hal unik, yang kemudian diwarnai oleh sejarah hubungan yang panjang sejak di akademi, hingga isu-isu seperti “jenderal kardus” di detik-detik akhir penentuan calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo.
Kisah Two Generals – meminjam judul buku Scott Chantler – itu oleh beberapa pihak dianggap sebagai koalisi ala Triumvirat Pertama di era Romawi yang dibangun atas dasar kesamaan kepentingan, tanpa perlu saling suka. Koalisi dua jenderal itu kemudian cukup mempengaruhi kondisi politik pada skala nasional, pun terhadap internal kubu Prabowo-Sandiaga Uno.
Dari sudut pandang Jokowi, showcase kunjungannya ke Singapura adalah hal yang penting. Ia bisa mendapatkan simpati politik dari pendukung SBY dan Demokrat. Share on XPasalnya, Prabowo yang awalnya bergantung pada kekuatan politik Islam lewat PKS dan PAN, kemudian mendapatkan suntikan kekuatan politik dari kelompok nasionalis lewat Demokrat. Bahkan sentralnya dukungan politik itu bisa dilihat pada acara Pidato Kebangsaan Prabowo, di mana SBY menjadi satu-satunya ketua partai yang diundang ke atas panggung.
Kini, dengan sakitnya Ani Yudhoyono, SBY diperkirakan akan menepi untuk beberapa saat dari panggung politik nasional. Secara politik, hal ini tentu akan cukup merugikan Prabowo kalau seandainya SBY tidak bisa berkampanye untuk pemenangan dirinya.
Konteks inilah yang membuat kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya dimensi politik yang berbeda. Dengan showcase pemberitaan yang ada, sangat mungkin kunjungan ini bisa berdampak pada perubahan peta politik nasional, khusunya di akar rumput pendukung Demokrat dan SBY.
Pasalnya, jika berkaca dari survei Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) pada Juli 2018 lalu, mayoritas pemilih Demokrat justru menginginkan partai itu mendukung Jokowi.
Dari sudut pandang Jokowi, konteks kunjungan ini tentu saja akan punya dampak politik yang besar, sekalipun hal tersebut tidak mengubah dukungan politik Partai Demokrat di tingkatan elite. Pertanyaannya adalah apakah benar demikian?
Momen Jokowi Jenguk Ani Yudhoyono dan Berbincang dengan SBYhttps://t.co/boqPloPScc
Presiden Jokowi menjenguk Ani Yudhoyono di Singapura. Di sana, Jokowi dan keluarga juga sempat berbincang dengan SBY. Begini momennya pic.twitter.com/wRVPUAbvVB
— kiv z#FNI (@triwul82) February 21, 2019
SBY, Faktor Penentu
Sebagai mantan presiden, posisi politik SBY memang bisa sangat menentukan hasil akhir kontestasi politik di tahun ini. Hal ini juga umum terjadi di banyak negara dan terjadi pada tokoh-tokoh yang dianggap punya kharisma politik yang besar.
Pada Pemilu Sela di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu misalnya, Barack Obama dianggap sebagai salah satu kunci Partai Demokrat AS memenangkan kontestasi elektoral tersebut. Obama memang aktif berkampanye untuk calon-calon dari Demokrat.
Hal ini pun tentu akan terjadi pada pemenangan Prabowo, seandainya SBY ikut berkampanye. Akan sangat besar dampak yang ditimbulkan jika menantu dari Sarwo Edhie Wibowo itu berkampanye untuk Prabowo dan mengajak para simpatisan serta konstituen Demokrat untuk memilih sang jenderal.
Konteks SBY sebagai faktor penentu juga beralasan, pasalnya pada November 2018 lalu, partai biru itu telah membebaskan kadernya untuk menyatakan dukungan pada kandidat yang bertarung di Pilpres 2019. Artinya, sekalipun ada di koalisi Prabowo, Demokrat membebaskan kadernya untuk mendukung Jokowi.
Konteks tersebut memang sempat melahirkan tanda tanya besar, terkait sikap politik Demokrat sebagai partai, dan SBY secara personal.
Pasalnya, banyak pihak menyebutkan bahwa SBY punya perasaan “kurang suka” dengan gaya dan temperamen Prabowo. Profesor Greg Fealy dalam tulisannya di buku The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation karya Edward Aspinall, Marcus Mietzner dan Dirk Tomsa menyebutkan hal tersebut secara gamblang.
Fealy mencontohkan pada Pilpres 2014 lalu, SBY “melarang” Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menerbitkan hasil survei di akhir-akhir jelang hari pemungutan suara. Konteks itu menjadi menarik karena survei tersebut menunjukkan hasil yang seimbang antara Prabowo dan Jokowi, bahkan Prabowo disebut berpeluang untuk memenangkan kontestasi.
Pernyataan Fealy ini cukup mengejutkan karena itu berarti SBY merasa lebih aman jika Jokowi yang menjadi presiden. Fealy juga menyebut SBY tidak ingin survei SMRC tersebut melemahkan posisi Jokowi.
Secara garis besar, ada penilaian “personal” dalam diri SBY yang menyebutkan bahwa Prabowo berpeluang menjadi presiden yang “buruk” – hal yang menurut Fealy sering dikatakan pria kelahiran Pacitan itu, mengingat track record Prabowo di masa lalu.
Sebagai catatan, SBY adalah bagian dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang memecat Prabowo dari TNI di tahun 1998. Sementara, beberapa selentingan lain menyebut panas-dingin hubungan keduanya sudah terjadi sejak di akademi – walaupun hal ini hanya sebatas cerita-cerita tak berujung.
Artinya, dukungan politik pada 2014 lalu ketika SBY meminta partainya mendukung Prabowo sesungguhnya adalah dukungan yang lebih berdasar pada kepentingan politik semata karena partai politik harus berkontestasi pada Pemilu. Hal ini pun sangat mungkin yang terjadi lagi di Pilpres tahun ini.
Dukungan Partai Demokrat ke Prabowo dapat terjadi karena merapat ke kubu Jokowi sangat sulit terwujud dengan keberadaan PDIP serta sejarah hubungan SBY dan Megawati Soekarnoputri di dalamnya.
Pendapat ini sangat beralasan, terlihat dari sikap Partai Demokrat yang lebih cenderung ingin berkoalisi dengan Jokowi pada Pilpres 2019 – yang dinyatakan secara terbuka sejak awal 2018 lalu – dan memang menjadi indikasi bahwa SBY “tidak begitu ingin” Prabowo menjadi presiden.
Tetapi, apakah itu berarti SBY tidak benar-benar mendukung Prabowo pada Pilpres kali ini? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, politik sangat dinamis dan mungkin saja kini SBY melihat hal yang berbeda dalam diri Prabowo.
Menebak Arah Angin
Lalu, bagaimana dengan Jokowi?
Hubungan SBY dengan mantan Wali Kota Solo itu memang cenderung lebih cair dan terkesan baik di mata publik. SBY memang tidak jarang mengritik pemerintahan Jokowi, namun kritikannya cenderung punya bias makna dan sering kali “ditembakkan” untuk menyerang tokoh lain di koalisi pemerintah.
Jokowi juga lebih diterima oleh konstituen Demokrat di daerah-daerah – terbukti dari hasil survei LIPI seperti disiinggung di awal tulisan. Pergantian kekuasaan dari SBY ke Jokowi di 2014 lalu pun cenderung berjalan dengan mulus.
Dalam konteks Pilpres 2019, posisi politik Partai Demokrat memang cenderung lebih banyak ditampilkan oleh tokoh-tokohnya, katakanlah seperti Ferdinand Hutahaean atau Andi Arief, yang memang cukup keras mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah.
Namun, konteks kritikan tersebut cukup sulit dinilai sebagai sikap politik pribadi SBY – sekalipun beberapa pihak juga menyebutkan bahwa SBY adalah salah satu faksi politik yang tidak ingin Prabowo kalah di Pilpres kali ini. Pasalnya, sulit untuk melihat nasib Demokrat jika harus berada di luar pemerintahan lagi dalam 5 tahun ke depan.
Walaupun demikian, sangat mungkin SBY juga memperhitungkan keunggulan politik Jokowi – secara popularitas, elektabilitas, dan personal – dibandingkan Prabowo. Artinya, kalaupun pada akhirnya Jokowi menang, partai biru itu masih mungkin punya peluang untuk merapat ke pemerintahan.
Sementara, dari sudut pandang Jokowi, showcase kunjungannya ke Singapura adalah hal yang penting. Ia bisa mendapatkan simpati politik dari pendukung SBY dan Demokrat – sekalipun ada juga selentingan yang menyebutkan bahwa misi sang presiden “gagal” karena singkatnya waktu kunjungan dan kehati-hatian SBY menyikapi kunjungan tersebut.
Yang jelas, Jokowi mendapatkan hypodermic needle effect – atau efek jarum suntik – yang menyebutkan bahwa media dan pemberitaan yang dimuat akan menjadi dasar pembentukan opini publik. Foto yang terpampang di halaman depan harian Kompas adalah contohnya.
Pada akhirnya, memang tidak pantas untuk mempolitisasi cobaan sakit yang tengah dialami Ani Yudhoyono. Namun, dengan konteks momentum politik yang terjadi, selalu ada cerita menarik yang bisa ditampilkan ke hadapan publik. Sebab, seperti kata Kanselir pertama Jerman, Otto von Bismarck di awal tulisan, politik memang adalah tentang kemungkinan. (S13)