Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Kedekatan keduanya berlanjut dengan keberadaan satu nama, Sunny Tanuwidjaja.
PinterPolitik.com
“Dalam politik, Anda harus tetap berjalan dengan mantap. Saat Anda goyah dan mereka merasa bahwa Anda terluka, mereka akan menjadi serigala untuk Anda.”
-R. A. Butler-
Nama Sunny Tanuwidjaja beredar luas dua hari terakhir. Banyak desas desus miring mengenai terkuaknya nama Sunny sebagai Sekretaris Dewan Pembina PSI—posisi yang lebih tinggi dari Grace Natalie. Sunny sendiri adalah orang yang dekat dengan Ahok dan bekerja di bawahnya selama lima tahun, saat Ahok menjabat wakil gubernur dan gubernur Jakarta, tahun 2012-2017.
Kemunculan nama Sunny ini dinilai negatif oleh pengamat politik dari Lingkar Survei Indonesia (LSI), Denny Januar Ali. Denny menilai, terkuaknya sosok Sunny di dalam PSI adalah hasil dari korek mengorek yang dilakukan oleh publik. Pasalnya, ada indikasi bahwa PSI menutupi keberadaan Sunny selama ini, dan publik terpaksa menemukannya dengan cara “kasar”.
Sebuah partai lahir melalui persekongkolan..orang2 di belakang layar yg melindungi bisnis besar dengan memuja kekuasaan lalu memanfaatkan Anak2 muda yang lugu “siap grak” maju ke depan…baru sekarang ada anak muda yg menyebut diri idealis sambil memuja pemerintahan…
— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) February 28, 2018
Sebelum tulisan ini, pinterpolitik.com sudah mencoba membaca siapa pihak yang berada di belakang PSI sebagai partai baru, khususnya melalui Ketua Umum Grace Natalie. Grace disebut-sebut sebagai orang yang dekat dengan taipan media Edy Kusnandi Sariaatamadja. Di samping Edy, ada juga sosok Jeffry Geovanie, yang adalah pebisnis sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina PSI. (Baca juga: Di Balik Grace Natalie)
Nama Jeffry di balik PSI sendiri sudah terdengar di telinga publik sejak tahun lalu. Namun tidak dengan nama Sunny yang baru muncul belakangan ini.
Sunny sendiri sebenarnya sudah muncul ke permukaan cukup lama. Dirinya sempat terseret dalam pusaran kasus suap reklamasi yang menyeret politisi Gerindra M. Sanusi. Sunny bahkan sempat diisukan dilarang ke luar negeri oleh KPK, namun isu ini dibantah oleh KPK.
Dan naiknya Sunny kali ini dalam jabatan politik praktis mengindikasikan banyak hal. Mulai dari kepentingan Ahok sebagai mantan “bos”-nya, pebisnis yang pernah bersinggungan dengannya, sampai platform politik PSI itu sendiri.
Sunny dan Kepentingan Ahok di PSI
Sunny adalah seorang doktor ilmu politik dari Universitas Illinois, yang punya banyak pengalaman sebagai penasehat politik. Keahliannya cukup banyak diasah selama lima tahun Ahok menjabat di Jakarta. Menurut pengakuannya sendiri dan pengakuan Ahok, Sunny tidak mendapatkan gaji selama menjadi anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Alasannya, tujuan Sunny adalah menyelesaikan disertasi, bukan untuk bekerja.
Sunny adalah orang kepercayaan Ahok untuk melakukan lobi-lobi dan memberi nasehat dalam menjalankan kebijakan Pemprov DKI. Khususnya, dalam relasi Pemprov dengan pebisnis-pebisnis pemegang proyek Pemprov. Ahok sendiri mengaku, hampir selalu mengajak Sunny dalam pertemuan sebulan sekali dengan para pebisnis.
Apa yang membuat Sunny dipercaya oleh Ahok? Mungkin, karena keahlian Sunny dalam melakukan lobi dan kemampuannya untuk dekat dengan pengusaha-pengusaha kelas atas.
Sunny memiliki kedekatan dengan Peter Sondakh, seorang konglomerat di sektor kelapa sawit dan pengolahan kayu, yang berpusat di Kalimantan. Ahok sendiri menyebut, bahwa Sunny pernah bekerja di bawah Peter sebelum Sunny dekat dengan dirinya.
Sunny juga memiliki relasi keluarga yang cukup dekat dengan Franky Wijaya, anak dari Eka Tjipta Wijaya, penguasa kelapa sawit Indonesia dan bos grup bisnis Sinar Mas. Ahok menyebut, istri Franky adalah sepupu dekat Sunny.
Begitu pula selama menjadi orang dekat Ahok di Pemprov DKI, Sunny juga telah membangun relasi yang baik khususnya dengan Sugianto Kusuma alias Aguan, bos Agung Sedayu Group. Kedekatannya terjalin melalui proyek reklamasi Teluk Jakarta yang dikerjakan oleh Agung Sedayu. Dan seperti yang kita tahu, Ahok adalah pihak yang paling mempertahankan eksistensi reklamasi.
Tentu saja, pebisnis-pebisnis yang dekat dengan Sunny bukan orang-orang sembarangan. Ada yang memiliki kedekatan dengan dunia politik dan aktif terlibat, tak hanya memengaruhi kebijakan pemerintah, tapi menjabat posisi strategis di dalam pemerintahan.
Peter Sondakh misalnya. Ia pernah menjabat sebagai penasehat TNI pada tahun 2014. Keberadaann Peter di internal tubuh TNI pun menghasilkan banyak pertanyaan. Apakah kekuasaan bisnis Peter sudah mencapai para pejabat tinggi TNI? (Baca juga: Jokowi-Hadi Tjahjanto: Elegi Militer-Bisnis?)
Yang lain bahkan punya kasus-kasus hukum yang tidak terselesaikan. Misalnya, Eka Tjipta dan Sinar Mas Group, yang punya banyak rekam jejak kasus pembakaran hutan sampai yang merugikan masyarakat di wilayah bisnis sawit mereka. Atau, Aguan melalui Agung Sedayu Group yang telah terbukti menyuap M. Sanusi sebesar 2 miliar rupiah.
Seperti normalnya hubungan bisnis, apalagi yang menyangkut hubungan keluarga, maka Sunny tentu tetap memiliki kedekatan dengan orang-orang ini sampai sekarang, sekalipun dia telah keluar dari Pemprov DKI, sudah keluar dari Teman Ahok, dan menjabat sebagai orang nomor dua di PSI.
Dan Ahok, sangat mungkin masih “berada” di sana. Terlebih sepertinya PSI adalah partai yang lebih setia kepadanya, dibandingkan partai-partai lain yang pernah dekat dengannya.
PSI Bukan Partai Sosialis
“Di mana ada kapitalisme, di situ ada sosialisme, karena akan selalu ada respon atas ketidakadilan. “
–Ed Miliband–
Apa yang dapat dipahami dari fakta bahwa Sunny berada di kursi kedua tertinggi di PSI ini? Yang terang-terangan dapat dijawab, adalah haluan PSI bukanlah sosialisme. PSI jauh dari identitas sebagai partai sosialis.
Sebelumnya, banyak selentingan yang mengatakan bahwa PSI punya kedekatan dengan banyak partai sosialis di dunia. Isu-isu miring di awal pembentukannya menyebut kalau PSI adalah reinkarnasi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), besutan salah satu Bapak Bangsa, Sutan Sjahrir.
Isu-isu miring lainnya mengatakan bahwa PSI punya relasi dengan keturunan-keturunan partai sosialis di banyak negara Eropa, katakanlah Partai Sosialis Polandia, Partai Sosialis Jerman, sampai Partai Sosialis Perancis. Apalagi lambang PSI juga disebut-sebut mirip dengan partai-partai sosialis.
Secara ideologi dan platform politik, PSI mungkin memang menawarkan kebaruan dan progresivisme. Partai mawar ini memiliki visi untuk menghasilkan proses politik yang bersih dari korupsi, juga relasi politik kemasyarakatan yang bertebaran toleransi. PSI juga disebut-sebut berusaha menjadi PDIP seperti awal partai banteng tersebut berdiri. (Baca juga: PSI, Jangan Tiru PDIP!)
Akan tetapi, sesungguhnya PSI tidak menawarkan kebaruan dalam proses pendanaan partai dan keberanian untuk menjadi partai yang pro-kelas pekerja. Kehadiran sosok seperti Sunny yang adalah pelobi bisnis ulung, menjadikan PSI sama halnya dengan partai-partai pro-bisnis lainnya.
Argumen ini juga diperkuat dengan sikap Ketua II DPP PSI, Tsamara Amany. Melalui sebuah acara bincang-bincang yang digelar oleh Indonesia Youth Conference beberapa waktu lalu, Tsamara menyampaikan bahwa anak muda harus berbisnis untuk kemudian masuk ke politik. Menurutnya, politik mahal dan perlu uang untuk menjalankannya.
Karenanya, PSI tetap harus membuktikan terus “putih” karena didanai oleh pebisnis “putih”—seperti klaim ketua umum mereka. Pebisnis-pebisnis yang punya rekam negatif dalam politik, yang berada di belakang Sunny, tentu saja tidak boleh menggembosi PSI dari dalam.
Oleh karena itu, sepertinya isu-isu mengenai sosialisme ala PSI dan relasi dengan partai sosialis dari Eropa hanya isapan jempol belaka.
Namun, lain cerita bila PSI benar-benar “diternaki” oleh partai-partai sosialis dari Eropa. Boleh jadi, PSI benar-benar membawa nilai solidaritas yang sama dengan solidaritas-sosialisme partai-partai tersebut. (R17)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik