Site icon PinterPolitik.com

Agus Gumiwang Menuju Ketua DPR?

Politisi Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita disinyalir kuat akan ditunjuk Airlangga menjadi Ketua DPR (Foto: Merdeka)

Kekosongan kursi Ketua DPR yang ditinggalkan Setya Novanto disebut-disebut akan segera diisi kembali oleh Golkar. Siapa yang layak?


PinterPolitik.com

Ada tiga nama politisi Golkar di DPR yang disebut paling potensial untuk menggantikan Setya Novanto, yakni Ketua Badan Anggaran DPR Aziz Syamsuddin, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), dan Sekretaris Fraksi Golkar DPR Agus Gumiwang Kartasasmita. Ketiganya berkali-kali disebut oleh media-media massa memiliki kapabilitas untuk menduduki kursi panas tersebut.

Sementara, menengok kembali kepada Ketua Umum (Ketum) Golkar yang baru, Airlangga Hartarto, perbaikan citra Partai Golkar adalah misi utamanya. Dengan tujuan seperti itu, Airlangga memiliki motto dalam membuat pertimbangan menunjuk kader Golkar untuk menduduki jabatan publik. Motto tersebut adalah PDLT, singkatan dari Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela.

Sementara, tidak semua calon yang disebut di atas telah memiliki kriteria PDLT ini. Ada yang terbukti masih bersih, namun minim jam terbang. Ada pula yang terkenal di DPR, memiliki karir cukup moncer, namun beberapa kali terseret lingkaran elitis Golkar dan sempat tersandung kasus korupsi.

Nama Agus Gumiwang dapat dikatakan sebagai calon tipe pertama. Ia dinilai masih baru dalam menduduki jabatan fungsional di DPR, namun memiliki kelebihan dalam rekam jejaknya yang bersih. Di balik kelemahannya bila disandingkan dengan Aziz dan Bamsoet, beberapa pengamat cukup yakin Agus Gumiwang-lah yang paling tepat dan akan dipilih oleh Jokowi.

Belum lagi, menurut draf kepengurusan Golkar hasil Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) kemarin, sudah ada nama Agus yang akan menjabat sebagai Ketua DPR. Maka, lobi-lobi yang mungkin dilakukan oleh pihak Aziz ataupun Bamsoet kepada Airlangga untuk mengejar kursi ini boleh jadi akan sia-sia. Benarkah demikian?

Menghindari Kembali ke Kubu Ical?

Penting untuk memahami bagaimana kubu di dalam Golkar bekerja, serta bagaimana relasinya dengan dukungan politik Golkar kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seperti diketahui, sejak Munaslub Mei 2016 yang memenangkan Setya Novanto, Golkar telah resmi mengalihkan dukungannya kepada Jokowi.

Setya Novanto merupakan ‘orang’ Aburizal Bakrie atau Ical. Di tengah kisruh dualisme Golkar tahun 2014, Novanto masuk ke dalam gerbong pendukung Munaslub Bali pimpinan Ical. Dukungan politik Ical pun terlihat kuat saat akhirnya Novanto memenangkan Munaslub 2016. Ini menjadikan Golkar pendukung Jokowi sesungguhnya adalah kubu Ical, yang berhasil di-handle oleh ‘tangan’ Luhut Pandjaitan dari dalam pemerintahan—walaupun dalam beberapa kesempatan Ical juga terlihat bermain ‘dua kaki’ ke kubu oposisi. (Baca juga: Setnov dan Stalinisme ala Pemerintah)

Sementara gosip seputar calon Ketua DPR pengganti Novanto yang pertama kali terdengar adalah dua nama, yakni Aziz dan Bamsoet. Keduanya juga bagian dari kubu Ical di Golkar. Keduanya—tentu saja—mendukung Munaslub Bali dan terus berperan menjadi perpanjangan kepentingan Ical di Golkar, sama seperti peran Novanto.

Di tengah kisruh 2014 itu, Aziz dan Bamsoet adalah dua sosok yang paling vokal mempertahankan Ical. Bamsoet bahkan sempat berkonflik dengan Agus Gumiwang kala itu, terkait pelantikan Agus sebagai anggota DPR. Sementara Aziz, adalah ‘bidak’ yang paling rajin menyerang pemerintahan Jokowi ketika berlama-lama memberi ketetapan hukum kepada Golkar kubu Ical. Hadiah mungkin akan datang kepada Aziz ketika ia akan diberikan kursi Ketua DPR oleh Novanto yang sedang ‘sakit-sakitan’ di rutan KPK, beberapa waktu lalu.

Namun, sepertinya Jokowi menginginkan kiprah Golkar kubu Ical berhenti di situ saja. Penunjukkan terhadap Aziz mendapatkan perlawanan kuat dari internal Golkar dan publik. Novanto cs dinilai sudah terlalu rusak untuk terus mendukung Jokowi. Maka, Jokowi merelakan Novanto dan mendukung Airlangga sebagai Ketum Golkar yang baru.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mendapatkan restu Jokowi untuk menjadi Ketum Golkar dan memperbaiki partai beringin itu

Di DPR sendiri, Aziz dan Bamsoet sebenarnya sosok yang populer. Keduanya juga dikenal sebagai politisi yang vokal dalam rapat-rapat komisi dan memiliki koneksi yang baik di internal maupun eksternal DPR.

Bamsoet dikenal sebagai pemimpin Komisi III yang mumpuni. Politisi PDIP Eddy Wijaya Kusuma melihat karakter bijaksana dan berintegritas ada dalam diri Bamsoet. Dirinya juga mengatakan, dalam banyak rapat di DPR, Bamsoet dikenal memiliki karakter kepemimpinan yang mengayomi dan akomodatif.

Sementara itu, Aziz dikenal luwes dalam berkomunikasi dengan banyak pihak. Ia dua kali maju dalam perebutan kursi Ketum Golkar dan mengklaim mendapatkan banyak dukungan dari senior Golkar. Duduknya Aziz di kursi Ketua Banggar DPR yang strategis juga disebut karena integritasnya. Berkat prestasi dan integritas itu, Aziz juga termasuk bagian kubu Ical yang disukai oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Dari rekam jejak dan testimoni atas keduanya, Aziz dan Bamsoet memiliki persamaan dan perbedaan dengan Novanto. Keduanya memiliki koneksi yang kuat di Golkar dan DPR. Mereka juga cukup vokal bersuara dan cenderung bersih dari kasus korupsi. Ibaratnya, mereka memiliki fitur positif dari Novanto, kemudian mengisi fitur negatif Novanto dengan fitur-fitur positif mereka.

Namun perkaranya, pemilihan Ketua DPR tak berdasarkan pada popularitas di kalangan politisi DPR saja. Ada mekanisme dari dalam Golkar yang tak bisa dicampuri pihak eksternal. Selain itu, ada pula tangan Jokowi di sana. (Baca juga: Jokowi di Golkar, Banteng Bisa Apa?)

Karena kubu Ical bisa saja dianggap semakin sulit untuk dipegang oleh Jokowi pasca kasus Novanto, mungkinkah Jokowi akan beralih ke kubu lain? Apalagi setelah Airlangga Hartarto—yang juga ditolak oleh kubu Ical saat Munaslub Bali—didukung oleh para senior Golkar dan Golkar kubu pemerintah untuk menjadi nahkoda baru Golkar.

Bisa dipastikan Airlangga pun akan memilih orang-orang kepercayaannya dan yang telah setia mendukung pencalonannya, termasuk untuk posisi Ketua DPR RI.

Modal Agus: Integritas dan Kedekatan Politik

Berbeda dengan Aziz dan Bamsoet, integritas adalah kunci keunggulan Agus Gumiwang di mata banyak pengamat politik. Dia telah mendukung Jokowi-JK, bersama dengan kubu Agung Laksono sejak 2014. Bersama Agung Laksono yang menggelar Munas Ancol tahun 2014, sikap Agus tegas untuk menolak adanya ‘elit-elit lama yang cenderung korup’ seperti Ical untuk terus berkuasa di Golkar.

Bahkan melampaui Agung, Agus cukup sering melayangkan kritik terbuka kepada Prabowo Subianto pada 2014. Adanya kasus HAM Prabowo yang masih abu-abu sempat dipertanyakan oleh Agus. Sebaliknya, Agus mendukung Jokowi karena gagasan pembaruan politik, sama seperti gagasannya untuk pembaruan Partai Golkar.

Saiful Mujani pun mengamini integritas Agus. Pendiri Saiful Mujani Research Centre (SMRC) ini menilai bahwa integritas Agus adalah jawaban dari keinginan Airlangga untuk membersihkan Golkar. Terlebih, loyalitas Agus kepada Jokowi sudah terbukti, dengan berkali-kalinya ia berkonflik sampai dicopot dari kepengurusan Golkar karena mendukung Jokowi. Loyalitas yang sejalan dengan Airlangga, yang setia mendukung Jokowi tanpa perlu ‘diikat’ seperti Novanto.

Selain loyal mendukung Jokowi, Agus juga menolak ikutnya Golkar dalam Pansus Hak Angket KPK. Melalui tangannya sebagai sekretaris fraksi, Agus sempat menyampaikan surat pengunduran diri Golkar dari Pansus KPK pada Mei 2017, walaupun akhirnya Golkar—melalui kuasa elit—tetap berkecimpung di sana. Dari sini, banyak pengamat juga menilai adanya komitmen Agus untuk melawan korupsi.

Karenanya, Agus juga tentu tidak pernah tersandung kasus korupsi atau terkait dalam lingkaran korupsi manapun. Karir politiknya dari bawah, yang jauh dari perkawinan bisnis dan politik, membuatnya menjadi sosok yang bersih. Hal ini berbeda dengan perjalanan karir Aziz ataupun Bamsoet—yang sempat juga ‘sedikit’ tersandung beberapa kasus korupsi, sekalipun belum terbukti, atau minimal menjadi saksi dalam kasus-kasus korupsi.

Walaupun tergolong politisi baru dan belum memiliki jam terbang sebanyak politisi senior Golkar lainnya, integritas menjadi keunggulan tak terbantahkan dari Agus.

Tak hanya integritas, Agus juga memiliki kedekatan ‘spesial’ dengan Jusuf Kalla, sekalipun bagian dari kubu Akbar Tanjung. Banyak pihak menyebutnya juga memiliki kedekatan dengan senior-senior Golkar lintas kubu, berbeda dengan Aziz dan Bamsoet. Kedekatan ini, mungkin terjadi karena modal ayahnya, Ginanjar Kartasasmita, yang juga adalah politisi senior dan terpandang di Golkar.

Begitu pula dengan Ketum Golkar saat ini, Airlangga. Agus adalah yang vokal mendorong Airlangga dan sejak awal telah mengurungkan niat menjadi Ketum Golkar ketika Airlangga menjadi calon terkuat. Sudah barang tentu, Airlangga perlu berterimakasih, salah satunya dengan menempatkan nama Agus dalam draf politisi Golkar untuk kursi Ketua DPR.

Sehingga, modal Agus untuk menjadi Ketua DPR sudah begitu besar dan melampaui dua kompetitornya.

Memang, tak banyak yang dapat diceritakan dari sosok Agus Gumiwang Kartasasmita, selain daripada ayahnya yang adalah orang kepercayaan Orde Baru. Tapi, bukankah motto PDLT dan pembersihan Golkar yang korup adalah tujuan Airlangga? Bukankah Golkar tengah membutuhkan pembaruan politik?

Boleh jadi Agus adalah sosok yang cocok, namun semuanya tergantung mekanisme dan politik internal Golkar. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R17)

Exit mobile version