Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kemungkinan bagi kalangan aktivis Tragedi 1998 untuk menjadi menteri dalam kabinet jilid keduanya. Apakah sosok Adian Napitupulu pantas untuk menjadi menteri yang dimaksud?
PinterPolitik.com
“I’ll compromise if I have to, I gotta stay with the family” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Aktivis ’98 lagi-lagi menjadi buah bibir dalam gosip politik di tengah-tengah proses persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Ramainya fokus media dan publik terhadap isu ’98 berakar dari pernyataan Jokowi yang ingin melibatkan kalangan aktivis reformasi dalam kabinet jilid keduanya.
Dalam suatu kegiatan deklarasi yang mendukung periode kedua Jokowi, sang presiden melemparkan wacana mengenai pilihan menterinya yang berasal dari aktivis ’98. Salah satu nama yang dilontarkan para aktivis pada saat itu adalah Adian Napitupulu.
Keinginan sang presiden untuk melibatkan aktivis ’98 bisa jadi berkaitan dengan harapan pendukungnya agar pemerintah bisa menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada Tragedi 1998 yang hingga kini belum saja terungkap.
Hampir sama dengan tahun 2014 lalu, Jokowi juga pernah berjanji untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau. Namun, janji tersebut belum dapat terlaksana.
Ekspresi Adian Napitupulu Saat Jokowi Sebut Aktivis 98 Bisa Jadi Duta Besar & Menteri. Jokowi: Beliau Punya Kapasitas.
Kami Siap !!!
@millenial_adian
___#Adiannapitupulu #sahabatadiannapitupulu #dprri #dapil #pdiperjuangan #pdip #aktivis #akitivis98 #jokowilagi #JokowiAmin pic.twitter.com/4jrxAeVniz— Sahabat Adian Napitupulu (@adianna70fans) June 17, 2019
Jika dalam beberapa kesempatan sebelumnya Jokowi menuduh berbagai situasi dan beban politik sebagai justifikasi kegagalan penyelesaian tersebut, kali ini Mantan Wali Kota Solo tersebut mengatakan dirinya telah terlepas dari beban-beban yang selama ini menghantui dirinya.
Bagaimana tidak? Beberapa sosok yang dianggap terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM 1998 kini masih eksis di dalam pemerintahan. Sebut saja Wiranto, mantan Ketum Hanura ini memiliki andil besar dalam perpolitikan Indonesia saat ini dengan menjabat sebagai Menkopolhukam.
Dalam Pilpres 2019 lalu, isu pelanggaran HAM 1998 juga sering kali menjadi isu yang diperbincangkan oleh publik dan menjadi kelemahan bagi masing-masing capres, baik Jokowi maupun Prabowo Subianto.
Kalangan aktivis ’98 kini turut terlibat dalam polarisasi Pilpres 2019. Di kubu Jokowi, terdapat nama-nama seperti Adian dan Budiman Sudjatmiko. Di sisi lain, terdapat nama-nama seperti Andi Arief yang sempat mendukung Prabowo.
Terlepas dari polemik pelanggaran HAM 1998 dalam dinamika politik Indonesia, apakah benar terlibatnya aktivis ’98 dapat menjadi representasi kelompok ini di pemerintahan? Lalu, apakah nama seperti Adian pantas untuk menjadi menteri?
Representasi Politik
Keinginan Jokowi untuk melibatkan aktivis ’98 dalam kabinet periode keduanya bisa jadi merupakan cara sang presiden untuk menyediakan representasi bagi kalangan pegiat HAM.
Bila kita perhatikan kembali, kepentingan kelompok aktivis ’98 terkait penyelesaian pelanggaran HAM sempat hilang dari radar utama perpolitikan Indonesia. Harapan yang sebelumnya tampak mentereng pada tahun 2014 itu lenyap pada periode pertama Jokowi dan pada Pilpres lalu.
Belum lagi, isu pemberian porsi pemerintahan oleh Jokowi kepada militer banyak dianggap sebagai kembalinya era Orde Baru yang ditumbangkan dalam Reformasi 1998.
Dari sinilah peran aktivis ’98 dapat menjadi penting di pemerintahan. Katakanlah, sebagai menteri, aktivis ’98 dapat menjadi representasi bagi suara penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Hanna Fenichel Pitkin dalam bukunya yang berjudul The Concept of Representation mendefinisikan representasi lebih secara harfiah – di tengah-tengah perdebatan dan ketiadaan definisi pasti, yaitu sebagai upaya untuk menghadirkan (present) kembali.
Tentunya, jika mengacu pada definisi Pitkin, keinginan Jokowi untuk melibatkan aktivis ’98 mungkin adalah upaya sang presiden untuk menghadirkan kembali sosok-sosok tersebut dan kepentingannya.
Selain itu, mengacu pada buku Pitkin, bentuk representasi aktivis ’98 ini bisa digolongkan dalam bentuk representasi yang deskriptif. Bentuk representasi ini merefleksikan korespondensi dan kesamaan antara pihak yang mewakili dan yang diwakili.
Kembali lagi pada keinginan Jokowi, keterlibatan aktivis ’98 dalam kabinetnya tentu dapat menjadi representasi deskriptif yang merefleksikan kepentingan masyarakat – termasuk di dalamnya kelompok aktivis. Mungkin, kepentingan kelompok aktivis ’98 terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dapat tersalurkan dengan representasi tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti. Menurut pengamat politik yang juga mantan aktivis ’98 ini, kehadiran menteri tersebut bisa menjadi kunci bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM ’98.
Namun, apakah benar representasi benar-benar sepenuhnya mewakili suara kelompok-kelompok di masyarakat?
Di luar bentuk representasi deskriptif, Pitkin juga menyebutkan bentuk representasi lain yang dapat terjadi di pemerintahan. Bentuk representasi ini disebut sebagai representasi simbolis.
Bentuk representasi ini sangat menekankan pada fungsi perwakilan sebagai simbol kehadiran. Eksistensi perwakilan di pemerintahan, dalam arti lain, tidak benar-benar terwujudkan.
Bisa jadi, kalangan aktivis ’98 hanya menjadi representasi simbolis bagi masa pemerintahan keduanya. Seperti yang kita ketahui, banyak dari kalangan aktivis ’98 turut terlibat dalam politik, seperti Adian, Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, dan lain-lain.
Banyak aktivis 98 yang kini terjun ke politikSelengkapnya dalam tulisan indepth berjudul "Aktivis 1998, Ironi Pilpres 2019" di Pinterpolitik.com
Posted by Pinter Politik on Monday, November 5, 2018
Keterlibatan politik aktivis ’98 bisa saja membuat para aktivis lebih berkompromi pada kepentingan-kepentingan politik lainnya. Dalam arti lain, para aktivis yang terlibat dalam politik bisa jadi kehilangan nilai-nilai idealis yang diyakininya sebelumnya.
Calon Menteri Aktivis?
Sebagai pejuang kepentingan masyarakat, aktivis dianggap memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai kebutuhan komunitas-komunitas di tingkat bawah. Jika prinsip sang aktivis terjaga, menurut Direktur Eksekutif Mi Familia Vota, Ben Monterroso, aktivis memiliki modal menjanjikan yang akan membantunya dalam menentukan posisinya sebagai pejabat pemerintahan terkait berbagai isu hingga dapat menjadi politisi yang sukses.
Terlibatnya aktivis dalam pemerintahan sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Cosmas Batubara – mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) – misalnya, dianggap memiliki kinerja baik ketika menjadi pejabat dalam kabinet Soeharto.
Mantan Menteri Perumahan Rakyat dan mantan Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto ini sempat dipuji oleh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Cosmas dianggap banyak menciptakan kebijakan yang tidak hanya pro-pemerintah sehingga dicontoh oleh menteri-menteri selanjutnya, seperti Siswono Yudo Husodo dan Akbar Tandjung – juga mantan aktivis KAMI.
Mungkin, benar apa yang dikatakan oleh Monterroso. Sebagai mantan aktivis, Cosmas mungkin memiliki pengetahuan lebih terhadap kebutuhan komunitas-komunitas masyarakat di tingkat bawah.
Lalu, bagaimana dengan menteri aktivis dalam kabinet Jokowi 2.0?
Sebelumnya, ketika Jokowi mengungkapkan keinginannya untuk memilih menteri dari kalangan aktivis, para aktivis yang hadir saat itu mengusulkan nama Adian Napitupulu sebagai calon menteri tersebut.
Nama Adian mungkin memang tidak asing di kalangan aktivis ’98. Sosok ini telah lama bergerak di dunia aktivisme hingga akhirnya terlibat aktif dalam politik dengan bergabung dalam PDI Perjuangan (PDIP).
Dalam hal pendidikan, Adian bisa dibilang memiliki latar belakang yang cukup mumpuni. Aktivis ini merupakan lulusan sarjana hukum dari Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Pada masa kuliah, Adian telah banyak aktif di dunia aktivisme, seperti dengan menjadi anggota dari sebuah organisasi kemahasiswaan, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Aktivis ini juga pernah menjadi inisiator kelompok diskusi ProDeo.
Dengan latar belakangnya sebagai mahasiswa hukum, Adian terlibat aktif dalam membentuk Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) pada tahun 1996. Organisasi ini tercatat pernah berkontribusi dalam menyuarakan korban dari pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di Desa Cibentang, Parung, Jawa Barat.
Pada era Orde Baru, aktivis ini terlibat aktif dalam organisasi Forum Kota yang turut menduduki Gedung DPR Senayan pada tahun 1998. Adian pun tetap aktif di beberapa gerakan aktivis setelah tumbangnya Orde Baru hingga menjadi politisi PDIP pada tahun 2009, seperti Bentang Demokrasi Rakyat (Bendera).
Jika mengacu pada pendapat Monterroso, berbagai pengalaman aktivisme Adian ini bisa jadi merupakan modal penting baginya apabila menjadi bagian dari pemerintah. Bisa jadi, Adian memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai kebutuhan masyarakat sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat.
Namun, perlu diingat kembali bahwa keterlibatan aktivis dalam politik bisa jadi membuat Adian melakukan kompromi terhadap kekuatan-kekuatan politik yang eksis di pemerintahan Jokowi. Katakanlah, Wiranto yang kini menjabat sebagai Menkopolhukam ini disebut-sebut turut terlibat dalam pelanggaran HAM 1998.
Bisa jadi, kekuatan-kekuatan politik semacam inilah yang bisa menghambat Adian dalam melancarkan kebijakan-kebijakan “gila” dari masa pemerintahan Jokowi yang kedua, seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Bila benar begitu, lirik Drake di awal tulisan pun menjadi relevan. Mungkin, menteri aktivis nanti terpaksa melakukan kompromi agar tetap berada di “keluarga” politiknya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)