Perseteruan antara Kivlan Zen dan Wiranto masih berlanjut. Kali ini, Kivlan menggugat Wiranto ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur terkait pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa tahun 1998. Tidak main-main, Kivlan menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun rupiah. Namun, adakah motif lain di balik “nagih utang” ini?
PinterPolitik.com
PAM Swakarsa adalah kelompok yang dibentuk oleh Kivlan berdasarkan permintaan dari Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI. Kivlan juga dijanjikan akan diberikan jabatan oleh Wiranto jika PAM Swakarsa sukses.
Tidak main-main, Kivlan berhasil mengumpulkan 30.000 orang. Kelompok ini dibentuk untuk menghalau aksi mahasiswa dan membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR.
Adapun gugatan ganti rugi yang diajukan oleh Kivlan disebabkan dirinya yang harus mendanai sendiri PAM Swakarsa dengan cara menjual berbagai aset pribadinya dengan total Rp 8 miliar.
Menurutnya, Wiranto hanya memberikan dana Rp 400 juta, padahal saat itu Presiden Habibie telah memberikan dana Rp 10 miliar untuk PAM Swakarsa.
Perang (Mantan) Bintang
Peseteruan antara dua mantan jenderal Angkatan Darat ini sudah dimulai setidaknya sejak dua dekade yang lalu. Pada awalnya perseturuan ini tidak terjadi secara langsung.
Wiranto aslinya berseteru dengan Prabowo Subianto terutama setelah dirinya dipilih Habibie menjadi Panglima ABRI. Perseteruan ini kembali berlanjut ketika Wiranto, berdasarkan perintah Habibie, memecat Prabowo dari jabatan Panglima Kostrad dengan tuduhan berencana melakukan kudeta.
Sejak saat itu, muncul aksi “de-Prabowo-isasi” dimana orang-orang dekat Prabowo di tubuh ABRI mulai dikurangi pengaruhnya. Kivlan, yang sejak tahun 1980-an ditengarai berada di barisan dan dekat dengan Prabowo, juga diberhentikan oleh Wiranto dari jabatannya sebagai Kepala Staf Kostrad.
Di tahun 2019 ini, nyatanya perseteruan tersebut belum selesai. Kivlan ditangkap oleh kepolisian atas tuduhan makar, kepemilikan senjata ilegal, dan dituduh menjadi dalang dalam rencana pembunuhan terhadap empat orang tokoh nasional, termasuk Wiranto.
Wiranto-pun menolak permintaan perlindungan hukum dan jaminan penangguhan penahanan yang diajukan Kivlan kepada dirinya. Bahkan menurut kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta Singarimbun, Wiranto menjadi orang yang paling menolak penangguhan penahanan kliennya.
Pada akhirnya muncullah gugatan Rp 1 triliun yang diajukan Kivlan tersebut. Lalu, jika sudah “ngutang” selama 20 tahun, mengapa baru sekarang ditagih di meja hijau?
Dikutip dari beberapa media, Toni mengatakan bahwa kliennya sejak dulu sudah beberapa kali berusaha menemui Wiranto untuk menagih dana PAM Swakarsa, namun mengalami kesulitan mengingat jabatan Wiranto yang tinggi.
Kemudian menjelang Pilpres tahun 2004, di mana Wiranto juga maju sebagai calon presiden, Kivlan mengungkapkan kepada media bahwa dirinya siap membuktikan permasalahan dana PAM Swakarsa ke pengadilan.
Melihat kejadian pada 2004 tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa Kivlan memang memilih timing tertentu untuk menagih utang.
Jatuh-Bangun Dunia Politik
Mungkin pemilihan waktu ini berkaitan dengan kondisi political capital keduanya saat ini. Political capital alias modal politik adalah modal (kekuatan) yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Untuk Wiranto, beberapa pihak mengatakan bahwa kekuatan politiknya mulai meredup.
Menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi, anjloknya suara Partai Hanura, kebutuhan akan regenerasi kepemimpinan, serta adanya alternatif purnawirawan lain di kubu Jokowi, melemahkan posisi tawar Wiranto.
Hal senada juga diutarakan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Menurutnya Wiranto tidak memiliki peluang besar untuk terpilih lagi dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Hal ini dikarenakan posisi Wiranto yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum Hanura, terlebih lagi ketika partai bentukannya itu juga tidak lolos ke Senayan.
Selain itu latar belakangnya sebagai mantan Panglima ABRI juga tidak memberikan keuntungan absolut karena ada mantan jenderal lain yang siap masuk ke bursa kabinet.
Namun, bukan berarti Wiranto tidak memiliki kesempatan sama sekali. Ujang menambahkan bahwa Wiranto adalah sosok yang loyal terhadap Jokowi. Wiranto juga memiliki prestasi tersendiri, salah satunya dalam membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Melemahnya modal politik Wiranto juga bisa disebabkan oleh fenomena “kumpul kebo” (kumbo) antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto.
Kumbo antara dua partai dengan perolehan suara tertinggi pada Pileg 2019 ini ditengarai akan memiliki pengaruh kuat terhadap jalannya pemerintahan periode 2019-2024, khususnya dalam penyusunan kabinet.
Cengkraman PDIP dalam bursa kabinet Jokowi juga semakin terlihat dalam Kongres partai tersebut beberapa waktu lalu.
Dalam Kongres ini, Megawati secara terang-terangan meminta jatah kursi menteri dua kali lipat lebih banyak dari yang dikuasainya sekarang kepada Jokowi. Permintaan ini langsung direspon Jokowi dengan memberikan jaminan bahwa PDIP akan mendapatkan kursi menteri terbanyak.
Tidak berhenti di situ, ada kemungkinan bahwa kursi menteri yang diminta oleh Megawati akan diberikan kepada Prabowo sebagai bentuk reward terkait rekonsiliasi Prabowo dengan Jokowi yang memang diprakarsai salah satunya oleh Megawati.
Dilibatkannya Prabowo dalam bursa kabinet ini juga bisa jadi diberikan Megawati sebagai panghalus rencana kedua partai untuk membentuk koalisi pada Pilkada serentak tahun depan.
Artinya, jika Prabowo benar memiliki pengaruh dalam bursa kabinet, bisa jadi posisi Wiranto – sebagai sesama mantan jenderal dan pernah menjadi rival di masa lalu – semakin terancam. Ini bisa terjadi mengingat Wiranto bisa disebut sebagai salah satu pihak yang “menghancurkan” karier militer Prabowo.
Kivlan minta perlindungan ke sejumlah pihak termasuk Wiranto
Selengkapnya dalam tulisan berjudul "Plot Twist Kivlan dan Wiranto" di https://t.co/xcS6dR1dxG pic.twitter.com/bdG4qHz7Hy
Semakin dekatnya Prabowo dengan partai utama pendukung Jokowi ini juga dapat memperkuat posisi Kivlan.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kivlan dan Prabowo memiliki hubungan erat sejak keduanya masih aktif berdinas. Hingga saat ini, loyalitas Kivlan terhadap Prabowo tidak perah diragukan.
Selain karena loyalitasnya, Kivlan merupakan salah satu sosok kunci di balik karier politik Prabowo. Hal ini disampaikan oleh akademisi Terry Russel yang mengatakan bahwa Kivlan Zen dan Fadli Zon adalah dua tokoh utama dalam menggerakkan massa pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, terutama dalam aksi-aksi massa di sekitarannya.
Oleh karenanya, ketika Prabowo semakin memiliki pengaruh ke lingkar kekuasaan, seperti apa yang terjadi saat ini, cukup masuk akal bahwa hal tersebut juga akan mempengaruhi posisi politik Kivlan.
Tidak hanya karena mendapatkan back-up Prabowo, sosok Kivlan sebagai purnawirawan nyatanya juga menjadi sumber kekuatannya dalam menghadapi proses hukum.
Kapolri Tito Karnavian misalnya, pernah mengatakan bahwa secara pribadi maupun institusi, Polri merasa tidak nyaman dalam menangani kasus purnawirawan seperti Kivlan.
Ketidaknyamanan ini juga terjadi pada tahun 2017 ketika polisi dinilai gagal melindungi kantor LBH Jakarta dari aksi massa. Bahkan saat itu Tito juga mengakui bahwa Polisi mendapat tekanan dalam menghadapi massa yang didukung oleh purnawirawan-purnawirawan TNI termasuk Kivlan.
Status Kivlan sebagai purnawirawan juga membuatnya mendapat bantuan hukum dari TNI. Bantuan ini ditengarai memiliki kesan intervensi non-hukum mengingat sejarah persaingan TNI-Polri.
Untuk Prabowo, nampaknya mantan Komandan Jenderal Kopassus ini dapat kembali mendapatkan “durian runtuh” dari kondisi perpolitikan saat ini.
Dengan political capital-nya yang semakin besar, secara bersamaan ia dapat menyelamatkan orang kepercayaannya dari jeratan hukum, pun dalam konteks hubungannya dengan Wiranto.
Sedangkan untuk Kivlan, kumbo yang terjadi antara PDIP-Gerindra bisa jadi meningkatkan probabilitasnya untuk lolos dari proses hukum. Jika hal ini terjadi, akan ada plot-twist lagi, di mana sosok Kivlan yang sebelumnya dianggap sudah tamat bisa melakukan comeback.
Jika benar bahwa dirinya tidak masuk dalam kabinet baru, itu artinya umur jabatan Wiranto sebagai Menko Polhukam tinggal dua bulan lagi.
Melihat kondisi tersebut, bisa jadi ini memang timing terbaik bagi Kivlan dan Prabowo untuk “balas dendam” sekaligus. Merebut kursi menteri Wiranto dan menekannya dengan gugatan Rp 1 triliun tentu bukan hal yang sederhana. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.