Pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta tengah dihentikan. Namun, proyek ini masih akan menjadi perdebatan, termasuk bagaimana nasib pulau-pulau yang sudah dibangun.
PinterPolitik.com
DPD Gerindra DKI Jakarta telah mengumumkan pengusungan Prabowo Subianto untuk Pilpres 2019, kemarin (11/3). Uniknya, pengusungan tersebut justru tidak dihadiri oleh Prabowo sendiri.
Bahkan, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno pun terlambat hadir. Pasangan yang diusung oleh Gerindra dan PKS pada Pilkada DKI 2017 ini secara terpisah datang justru setelah acara habis. Keduanya disebut-sebut menghadiri acara lain, yang menyebabkan terlambat datang ke acara deklarasi DPD Gerindra.
Di Jakarta, Gerindra memang sudah berkuasa sejak Oktober tahun lalu. Hal ini menjadikan partai berlambang burung garuda itu punya kuasa untuk mengubah-ubah kebijakan, dan punya tingkat keterpilihan tinggi di tengah masyarakat ibukota.
Namun, lebih dari sekadar kekuatan politik yang besar di Jakarta, Gerindra juga punya akses ekonomi yang semakin besar. Banyak sektor ekonomi publik yang kini ada dalam kekuasaan partai tersebut, termasuk reklamasi di Teluk Jakarta.
Seberapa mungkin Gerindra memanfaatkan proyek reklamasi? Mungkinkah proyek ini akan “mendukung” pencalonan Prabowo pada Pilpres 2019?
Kotor-kotoran di Reklamasi
Sejak Anies-Sandi menjabat, reklamasi sepenuhnya sudah berada di tangan mereka dan bukan lagi di tangan pemerintah pusat. Pasalnya, seminggu lebih sebelum keduanya dilantik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sudah mencabut moratorium pulau C, D, dan G.
Praktis, seluruh kuasa berada di tangan Pemprov DKI Jakarta. Anies-Sandi menggunakan kekuatan itu untuk mencabut dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), yakni tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Tentang sikapnya ini, Anies menjelaskan bahwa Pemprov DKI sekarang akan mengupayakan tertib administrasi. Karenanya, penabrakan administratif yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya akan dihentikan dan dikaji ulang di bawah arahannya.
Pasalnya, praktik-praktik maladministratif yang disebut Anies memang menimbulkan sejumlah masalah di era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yakni sejumlah “korban” terkait kasus suap.
Pada tahun 2016, merebak kasus korupsi yang menjerat beberapa nama penting seputar proyek reklamasi ini. Pengusaha PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dituntut 4 tahun penjara atas suap yang dilakukannya sebesar 2 miliar rupiah. Sementara itu, ada Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra, Mohammad Sanusi divonis 10 tahun penjara, karena menerima uang suap dari Ariesman tersebut.
Selain Sanusi, ada pula politisi Gerindra Mohammad Taufik, politisi PDIP Prasetyo Edi Marsudi, staf khusus Gubernur Ahok, Sunny Tanuwidjaja, bahkan bos PT Agung Podomoro Land, Sugianto Kusuma (Aguan) sendiri, berada dalam pusaran kasus tersebut. Nama-nama tersebut tidak terjerat vonis hukuman dalam kasus suap reklamasi.
Namun, apakah angka perputaran uang panas di reklamasi hanya sebesar Rp 2 miliar saja? Menurut Andi Hamzah dari Budgeting Metropolitan Watch, total uang yang sudah dikeluarkan pengembang reklamasi untuk melancarkan pembangunan di Teluk Jakarta mencapai 20 triliun rupiah. Angka yang hampir tiga kali lipat korupsi Bank Century itu adalah akumulasi yang diberikan sejak 2014, kepada kubu Jokowi agar bisnis mereka terus dilindungi.
Angka tersebut pun masuk akal bila dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan perbandingannya dengan kontribusi tambahan sebesar 15 persen pada era Ahok. Seperti diketahui, NJOP telah disepakati mencapai 48 juta rupiah per meter persegi, dengan total luas lahan 5.1 juta meter persegi.
Bila dikalikan, maka total nilai tanah reklamasi adalah 244,8 triliun rupiah. Sementara dengan kesepakatan kontribusi 15 persen kepada Pemprov, maka setidaknya Pemprov akan mendapatkan 36,72 triliun rupiah.
Karenanya, masuk akal bukan bila untuk “memuluskan” reklamasi sejak 2014, dana sebesar 20 triliun rupiah telah digelontorkan oleh pengembang. Keuntungan proyek reklamasi nilainya berharga jauh lebih besar dari itu.
Dan masuk akal pula, bila mengasumsikan kasus suap 2 miliar rupiah yang menjerat Sanusi hanyalah remah-remah pembangunan reklamasi. Masih sangat banyak praktik uang panas reklamasi di balik layar yang tidak terkuak.
Pada pemerintahan Ahok saja, Gerindra yang hanya berkuasa di legislatif dapat tersandung kasus ini. Lantas, bila Gerindra saat ini berkuasa di eksekutif, bukankah kasus yang sama—bahkan lebih besar—dapat menimpa mereka?
Uang Panas untuk Kepentingan Politik?
Dalam beberapa waktu terakhir, sudah cukup banyak beredar kabar bahwa Gerindra dan Prabowo tengah mengalami kesulitan finansial. Hal ini menyebabkan partai tersebut harus sedikit terpincang-pincang menghadapi gelaran pesta demokrasi di tahun politik. (Baca juga: Prabowo Kehabisan Uang?)
Kasus mahar politik yang menyangkut politisi Gerindra La Nyalla Mattalitti beberapa waktu lalu adalah contohnya. Prabowo dikabarkan tengah kelimpungan menghadapi Pilkada karena dirinya tidak mampu menggerakkan mesin partai dengan efektif. Uang panas 40 miliar rupiah yang diminta dari La Nyalla waktu itu mungkin saja untuk memenuhi kebutuhan partai. Ujaran soal bokeknya Prabowo juga sempat diutarakan oleh mantan politisi mereka, Deddy Mizwar.
Sumber lain bahkan menyebut, kegagalan Prabowo dalam dua kali Pemilu menyebabkannya benar-benar mengalami kesulitan finansial. Harta Prabowo yang tercatat pada 2014, mencapai 1,67 triliun rupiah disebut-sebut semakin menipis saat ini. Bahkan, Kivlan Zein yang merupakan salah satu pendukung Prabowo meyakini bahwa bakal capres lain, Gatot Nurmantyo memiliki kekayaan lebih banyak daripada Prabowo.
Berkat isu “kantong kering” ini, muncul selentingan yang menyebut adanya suntikan uang yang mungkin akan datang ke kubu Prabowo, mulai dari Rusia maupun dari keluarga Cendana.
Lalu, apakah mungkin reklamasi dapat dijadikan sumber keuangan alternatif untuk Gerindra?
Dari pemberitaan yang terbaru, terdengar kabar bahwa Anies-Sandi sedang mempertimbangkan secara mendalam untuk mengembalikan uang milik pengembang-pengembang lama. Anies meyakini, bahwa pengembalian uang ini adalah cara menyelesaikan maladministrasi reklamasi yang selama ini terjadi antara pengembang dengan Pemprov—walaupun Anies belum menyikapi perihal pemanfaatan pulau yang sudah terlanjur dibangun.
Sikap Anies ini dapat mengindikasikan bahwa Gerindra boleh jadi ingin menyingkirkan pengembang yang saat ini mengerjakan proyek reklamasi tersebut. Pasalnya, mereka mungkin dianggap masih memiliki hubungan dengan gubernur lama dan jajarannya.
Katakanlah, bila reklamasi di era Jokowi-Ahok kental dengan investasi Tiongkok – yang selama ini selalu dituduhkan kepada proyek tersebut – maka di tangan Anies-Sandi bisa saja pihak non-Tiongkok dapat turut berinvestasi di proyek ini. Perusahaan-perusahaan properti yang dekat dengan Sandiaga Uno misalnya bisa menjadi pintu masuknya.
Dengan jalan ini, Gerindra dapat memasukkan pengembang yang memang pro pada mereka dan akan berkontribusi secara langsung pada kampanye mereka di 2019.
Sementara, bila melihat kekuasaan Gerindra di Jakarta dari kacamata teori kesempatan politik (political opportunity), maka celah lain juga dapat terbuka. Teori tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan akan membuka peluang untuk melakukan mobilisasi sumber daya (resources mobilization).
Mobilisasi sumber daya dilakukan dengan memanfaatkan segala daya yang dimiliki—termasuk kesempatan ekonomi—untuk keuntungan politis predeterminan mereka. Metode ini digunakan oleh aktor politik yang berkuasa, yang punya akses langsung kepada sumber daya di lingkup kekuasaannya – yang pada konteks ini ada pada Anies dan Sandi.
Dengan demikian, apakah memang Gerindra telah mendesain penahanan Hak Guna Bangunan (HGB) dan kelanjutan pembangunan proyek reklamasi ini, agar dapat meraih keuntungan tertentu?
Tidak ada yang tahu. Yang pasti, celah itu sangat terbuka lebar. (R17)