Sejak beberapa tahun lalu, muncul gerakan populis sayap kanan yang memiliki paham anti-Islam di Eropa. Salah satu negara Eropa yang memiliki aktivis anti-Islam tersebut adalah Geert Wilders dari Partai Freedom (PVV) Belanda.
pinterpolitik.com
DEN HAAG – Membanjirnya imigran Muslim di negara-negara Eropa, menciptakan rasa tidak senang masyarakatnya. Kejenuhan akan permasalahan yang disebabkan oleh imigran Timur Tengah ini, membuat beberapa politikus memiliki pandangan anti-Islam, seiring munculnya Islamphobia di masyarakat Eropa. Isu anti-Islam ini juga digunakan dengan baik oleh Wilders untuk menarik simpati pemilih.
Di sisi lain, naiknya Donald Trump yang dikenal rasis sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), dianggap sebagai “pertanda” terbukanya paham populis sayap kanan untuk berada di puncak pimpinan. Wilders yang di Belanda terkenal dengan julukan “Trump dari Belanda” juga memiliki visi yang menentang masuknya imigran Muslim, tak percaya dengan media, dan menggilai Twitter.
Pria berambut putih ini sebenarnya sempat di adili atas tuduhan menghasut kebencian atas Islam di tahun 2014, saat memimpin rapat umum PVV di Den Haag. Ketika itu, ia menjanjikan pendukungnya untuk mengurangi imigran muslim dari Maroko dan berulang kali mengkritik Islam, mulai dari seruan membasmi Alquran, larangan berhijab, hingga menutup semua masjid yang ada di Belanda.
Walau pengadilan memvonisnya bersalah, namun Wilders tidak ditahan. Sebagai anggota parlemen yang terpilih secara demokratis, statusnya sebagai “tervonis bersalah” dapat digantikan dengan membayar uang denda sebesar lima ribu Euro.
Menjelang Pemilihan Umum Belanda yang akan jatuh di pertengahan tahun ini, Wilders kembali mengajukan diri untuk merebut posisi Perdana Menteri. Dalam kampanyenya di Kota Almere, ia sesumbar akan mengembalikan Belanda sebagai negara besar (Make the Netherland Great Again) dengan menghapus Islamisasi dan mengikuti jejak Inggris keluar dari Uni Eropa.
Partai-partai berhaluan populis sayap kanan yang cenderung anti-Islam dan anti UE memang tengah marak di Eropa. Para tokohnya bahkan telah saling bertemu di pertengahan tahun lalu. Selain Wilders, ada Marine Le Pen dari Prancis, Frauke Petry dari Jerman, Pemimpin Liga Utara Italia, Matteo Salvini, dan lainnya.
Walau di dalam negeri mereka cukup mendapatkan dukungan masyarakat, namun sebagian besar politikus meragukan kesempatan mereka untuk dapat memenangkan Pemilu. Hampir sebagian besar partai populis ini, dianggap sulit untuk berkompromi dan berkoalisi dengan partai lain. Apalagi bila mereka berkuasa, maka paham fasisme pasti akan bangkit kembali, kestabilan keamanan dunia pun bisa terganggu. (Berbagai sumber/A15)