Konon, ada sebuah republik yang dikendalikan oleh broker. Mereka duduk di puncak gedung tinggi, mengambil untung dari perputaran uang rakyat, dekat dengan elit politik, serta bisa melakukan apa pun yang mereka mau.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]M[/dropcap]ukanya kusut dan rambutnya berantakan akibat habis begadang semalaman suntuk menyiapkan pesanan katering tetangga. Namun, mata Abdul terbelalak memandangi halaman depan koran pagi yang ada di tangannya.
Gile, itu 28 kotak senjata semua?
Berita yang ia baca adalah tentang senjata impor yang kabarnya ada di bandara Soekarno-Hatta. Polemik senjata inilah yang sempat membuat situasi politik nasional beberapa waktu lalu sedikit memanas.
Ditengarai, pengadaan senjata ini melibatkan broker atau perusahaan yang mengambil untung dari jual beli barang.
Ini cuma persaingan broker senjata, isunya sampe angkatan ke-5 dan Neo-PKI
???
Cari makan gini amat yah..hadeehhh..
— Farid Abdurrahman (@bungfarid) October 2, 2017
Pantesan Panglima TNI sampai harus mencak-mencak segala. Apalagi ini melibatkan importir yang bukan orang militer dan pemerintahan. Apa jadinya kalau senjata-senjata itu malah digunakan oleh kelompok tertentu, misalnya para teroris. Bisa kacau negara ini!
Walau cuma tamat SMA, Abdul ingat bahwa dulu gurunya pernah bercerita tentang broker yang mampu mengguncang stabilitas negara bahkan dunia.
Ada nama Jesse Livermore (1877-1940), broker saham yang mengambil keuntungan dari the great depression atau krisis ekonomi tahun 1930.
Atau broker saham yang masih hidup seperti George Soros yang dijuluki ‘The Man Who Broke the Bank of England’ akibat aksinya di tahun 1992. Konon, opa-opa ini juga dipercaya sebagai salah satu broker saham yang mengambil untung pada krisis Asia 1998.
Di negara ini pun banyak brokernya. Bukan hanya bermain di sektor saham, mereka juga seringkali menjadi penghubung antara pemerintah dengan perusahan di luar negeri dalam pengadaan barang atau jasa tertentu.
Jangankan senjata, hampir semua komoditas kebutuhan sehari-hari pun ada brokernya. Minyak bumi, gas, jasa keuangan, passport, hingga tetek bengek bumbu dapur seperti cabe dan bawang pun ada brokernya – walaupun beberapa lebih suka menyebutnya sebagai makelar.
Tetapi, apakah pekerjaan ini salah? Sebetulnya, broker adalah sesuatu yang legal, asalkan tetap berada dalam jalur hukum yang berlaku.
Hanya saja, seringkali broker memanfaatkan koneksi yang dimiliki untuk memenangkan tender proyek tanpa melalui prosedur lelang – katakanlah dalam proyek-proyek pemerintah. The business of connection, mungkin itulah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan hal ini.
Soal senjata ini juga disebut melibatkan broker tertentu. Tetapi, apakah broker-nya yang salah dalam masalah ini?
Hmm, kayaknya tidak sesederhana itu. Jangan-jangan brokernya juga cuma jadi kambing hitam. Abdul ingat semalam di tivi ada yang menggunakan istilah ‘gajah vs gajah’ ketika bicara masalah ini.
Busyet, habis cicak vs buaya, terus cicak vs paus, sekarang gajah vs gajah! Kebun binatang aja diadu domba, apalagi rakyat.
“Woi, Dul. Bengong aja lu pagi-pagi. Mandi sana, badan lu bau pasir pantai Ancol, yang masuknya gratis tapi jadi kompensasi lancarnya proyek bikin pulau-pulau”.
Bini gua mimpi apaan, ya semalam?
Di tempat lain, dua sejoli itu senyam-senyum membayangkan tampilan mereka yang beberapa hari lagi akan dilantik dengan baju dinas putih-putih.
Iya, Om, pasti keren keliatannya. Tapi, jangan lupa janji rumah DP nol persennya ditepati.
Kalau tidak ditepati, ‘aku ingin pindah ke…..’ – eh malah iklan. Setidaknya, iklan ini bikin ramai pilgub daerah tetangga…
(S13)