Di tengah ketidakpastian masa depan akibat pandemi Covid-19, berita baik kemudian datang ketika vaksin Covid-19 dari Sinovac, Tiongkok datang ke Indonesia untuk dilakukan uji klinis Fase III dalam waktu dekat. Akan tetapi, mungkinkah vaksin tersebut adalah “jebakan baru” negeri Tirai Bambu?
PinterPolitik.com
Sedari awal virus Corona (Covid-19) menerjang dunia, berbagai pihak tidak luput membandingkan virus ini dengan film produksi Hollywood yang berjudul Contagion yang dirilis pada 2011 lalu. Pasalnya, film ini disebut-sebut memiliki alur cerita yang begitu mirip dengan pandemi Covid-19.
Media asal Tiongkok, South China Morning Post (SCMP) juga turut mempublikasi artikel pada 14 Maret lalu, dengan menyebutkan bahwa film ini seolah memprediksi pandemi Covid-19.
Sama halnya dengan Contagion, pengembangan vaksin yang cepat juga tengah diupayakan agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Akan tetapi, seperti yang dicatat oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (AS), pengembangan vaksin dalam film Contagion yang hanya berlangsung selama empat bulan jelas tidak terjadi pada kasus Covid-19.
Kendati demikian, pengembangan vaksin Covid-19 sendiri tengah dikebut berbagai pihak saat ini. Perusahaan biotek asal Tiongkok, Sinovac bahkan akan menjalani uji klinis fase III dalam waktu dekat di Indonesia.
Menariknya, berita tersebut justru jamak ditafsirkan bukan sebagai kabar gembira. Pasalnya, berbagai pihak mempertanyakan, mengapa Indonesia yang menjadi tempat pengujian vaksin Sinovac? Dugaan bahwa Indonesia dijadikan sebagai “kelinci percobaan” juga turut menyeruak di tengah publik.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay juga turut mempertanyakan hal ini. Bahkan tuturnya, mengapa uji coba vaksin tidak dilakukan di Tiongkok?
Tentu pertanyaannya, benarkah Indonesia akan dijadikan kelinci percobaan vaksin Tiongkok?
Kalau saat ini kalian ditawarkan untuk divaksin anti #COVID19, pada berani nggak? #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/q9hr8iN4Gj pic.twitter.com/VC0rP1J1RB
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 24, 2020
Menepis Sentimen
Sadar akan derasnya sentimen negatif perihal uji klinis vaksin Sinovac, Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto telah merespons hal ini dengan menyebutkan tidak terdapat masalah dengan uji klinis tersebut karena praktik semacam ini memang lumrah dilakukan. Lanjut Bambang, Bio Farma sendiri juga pernah melakukan uji klinis suatu produk di negara lain, seperti di Swedia dan Afrika.
K Singh dan S Mehta dalam tulisannya The Clinical Development Process for a Novel Preventive Vaccine: An Overview dapat membantu kita memahami pernyataan Bambang. Mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Medis Eropa (EMA), serta Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (USFDA), setiap fase pengujian vaksin memang harus melalui studi populasi untuk mempelajari target populasi yang akan diberikan vaksin.
Untuk mengetahui tingkat keefektifan vaksin, maka vaksin harus diuji di daerah terkait, yang memiliki tingkat penularan yang tinggi. Dengan kata lain, untuk melihat apakah vaksin efektif untuk populasi Indonesia, tentunya uji klinis harus dilakukan di Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia, vaksin Sinovac juga diuji di negara dengan tingkat penularan tinggi lainnya, seperti di Brasil. Sebagaimana diketahui, dengan kasus per 27 Juli mencapai 2.419.901, negeri Samba telah menempatkan dirinya sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia setelah AS.
Tidak dilakukannya uji klinis fase III di Tiongkok diakibatkan karena tingkat penularan Covid-19 yang telah menurun drastis, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengujian berskala besar.
Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Bambang, uji klinis fase III yang melihat khasiat vaksin memang jauh lebih aman dari dua fase sebelumnya. Merujuk pada pedoman uji klinis vaksin yang dikeluarkan oleh WHO, subjek uji dalam setiap fase akan semakin ditingkatkan. Artinya, bertambahnya subjek uji menunjukkan bahwa tingkat keamanan vaksin menjadi lebih baik. Ini kemudian menjawab mengapa vaksin harus melalui uji praklinis pada binatang agar vaksin yang belum aman tidak membahayakan manusia.
Pada titik ini, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa tudingan bahwa Indonesia hanya menjadi kelinci percobaan vaksin Sinovac tidak benar adanya. Ini karena vaksin tidak hanya diuji di Indonesia, dan yang utama, Tiongkok memang tidak memenuhi syarat untuk melakukan uji klinis fase III.
Akan tetapi, kendati tudingan tersebut dapat ditepis, terdapat persoalan lain yang patut diwaspadai dari vaksin Tiongkok, yakni kemungkinan adanya jebakan ekonomi. Lantas, jebakan seperti apa yang dimaksud?
Jebakan Baru?
Kendati belum terlihat di Indonesia, indikasi vaksin menjadi jebakan ekonomi Tiongkok terlihat jelas dengan negeri Tirai Bambu yang menjanjikan pinjaman sebesar US$ 1 miliar atau sebesar Rp 14,6 triliun kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia agar dapat mengakses vaksin Covid-19. Pemerintah Meksiko bahkan telah memberikan sambutan hangat terhadap wacana bantuan tersebut.
Jamak dinilai bahwa Tiongkok telah lama melakukan diplomasi jebakan utang atau debt-trap diplomacy, yang bahkan disebut juga sebagai “kuda trojan”.
Muhammed Tandogan dari Istanbul Medeniyet University menyebutkan, di satu sisi, pemerintah Tiongkok memberikan pinjaman dan utang untuk menjalankan Belt and Road Initiative (BRI) yang ambisius, yang mana ini akan membuka jalan bagi negeri Tirai Bambu untuk menjadi pemimpin dunia di masa depan. Namun, di sisi lain, pinjaman yang diberikan justru dijadikan alat untuk merebut aset negara-negara yang tidak mampu untuk membayar utangnya.
Pada Desember 2019, pemerintah Kenya bahkan telah mengemukakan kekhawatiran atas rencana Beijing untuk mengambil alih salah satu pelabuhan strategisnya karena tidak dapat membayar utangnya. Pasalnya, pada Desember 2017, Sri Lanka diketahui menyerahkan kendali atas pelabuhan Hambantota yang baru dibangun untuk membayar sebagian dari utangnya kepada negara yang dipimpin Xi Jinping tersebut.
Besarnya strategi utang yang dilakukan Tiongkok bahkan bukan main jumlahnya. Menurut laporan lembaga think tank asal Jerman, Kiel Institute for the World Economy, jumlah utang yang diberikan Tiongkok selama kurun waktu 2000-2017 bahkan telah melonjak sampai 10 kali lipat – mulai dari US$ 500 miliar (Rp 6.964 triliun) hingga lebih dari US$ 5 triliun (Rp 69.640 triliun). Ini kemudian membuat negeri Panda menjadi kreditor resmi terbesar melampaui International Monetary Fund (IMF) atau Bank Dunia.
Kembali pada kasus vaksin Tiongkok, menimbang pada adagium “tidak ada makan siang gratis”, tentu menjadi keanehan tersendiri mengapa Tiongkok justru rela memberikan pinjaman kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia agar dapat mengakses vaksin Covid-19. Menariknya, faktor kemudahan akses juga menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia lebih memilih vaksin Tiongkok daripada vaksin AS ataupun Inggris.
Jacob M Puliyel dan Ashutosh Shrivastava dalam tulisannya Global Access to Vaccines – Poor Nations are Being Lured Into a Debt Trap, menyebutkan bahwa banyak negara-negara miskin terperangkap utang vaksin karena negara-negara tersebut tertarik dengan iming-iming bantuan dana (hibah) dari produsen vaksin. Masalahnya, ketika hibah sudah tidak lagi diberikan, dan negara terkait yang sudah terlanjur menjadikan vaksin sebagai program nasional, mau tidak mau, mereka harus berutang untuk melanjutkan program vaksinasi.
Pada kasus Tiongkok, apa yang dijelaskan Puliyel dan Shrivastava dapat saja terjadi. Pasalnya, katakanlah Meksiko diberikan pinjaman US$ 1 miliar agar dapat mengakses vaksin. Dengan harga vaksin katakanlah sebesar US$ 20, maka pemerintah Meksiko akan memiliki 50 juta vaksin. Masalahnya, jumlah penduduk Meksiko mencapai 126,2 juta jiwa. Dengan kata lain, dana tambahan tentunya harus disiapkan agar jumlah kebutuhan vaksin terpenuhi.
Pada konteks Indonesia, tawaran pinjaman semacam itu memang belum terlihat. Akan tetapi, patut dicurigai, terdapat “tukar guling” tersendiri di balik mengapa Sinovac mau bekerja sama dengan Indonesia. Menimbang pada banyaknya proyek investasi Tiongkok di Indonesia, boleh jadi, kepentingan untuk memperkuat pengaruh politik menjadi bayaran atas kerja sama vaksin tersebut.
Di luar itu semua, tentunya kita tidak benar-benar mengetahui terdapat transaksi ekonomi atau politik apa di balik kerja sama vaksin ini. Harapan kita tentunya pandemi Covid-19 segera berakhir jika vaksin Sinovac berhasil diuji di Indonesia nantinya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.