Site icon PinterPolitik.com

Turki Deportasi Kader PKS ?

Foto: Istimewa

Sebelumnya beredar juga kabar bahwa setelah tiba di Indonesia keduanya ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) – walau informasi tersebut diklarifikasi oleh pihak kepolisian dengan menyebutkan bahwa keduanya hanya ‘dijemput’ oleh pihak yang berwajib.


PinterPolitik.com

“Political leaders still think things can be done through force, but that cannot solve terrorism,” – Mikhail Gorbachev.

[dropcap size=big]G[/dropcap]orbachev tentu tidak sedang dalam kedaan galau memikirkan Uni Soviet yang berada di ambang kehancuran di akhir tahun 80-an saat menuliskan kata-kata tersebut. Perang melawan terorisme ternyata tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, mungkin para politisi perlu memikirkan cara lain.

Yang jelas, hal itu tidak dilakukan oleh Muhammad Nadir Umar, seorang politisi dan WNI yang dideportasi dari Turki pada Sabtu, 8 April 2017 lalu. Nadir Umar adalah politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang saat ini menjadi anggota DPRD Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Ia dan rekannya, Budi Mastur – aktivis dari LSM Forum Dakwah Nusantara (FDN) – dipulangkan ke Indonesia oleh pemerintah Turki karena diketahui berada di wilayah perbatasan Turki-Suriah. Pemulangannya ke Indonesia ditengarai karena dugaan dirinya dan Budi Mastur hendak menuju ke Suriah untuk bergabung dengan gerakan teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Sebelumnya beredar juga kabar bahwa setelah tiba di Indonesia keduanya ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) – walau informasi tersebut diklarifikasi oleh pihak kepolisian dengan menyebutkan bahwa keduanya hanya ‘dijemput’ oleh pihak yang berwajib. Bagi banyak pihak, hal ini tentu agak memalukan bagi politisi sekelas anggota DPRD bisa terlibat dalam kasus terorisme.

Entah ditangkap ataukah hanya dijemput, yang jelas kejadian ini mengundang perhatian publik, mengingat salah satu dari dua orang tersebut adalah pejabat publik. Berbagai macam spekulasi pun bermunculan di masyarakat, namun pihak kepolisian masih enggan berkomentar mengenai hal tersebut. Lalu, bagaimanakah dua orang WNI ini bisa dideportasi oleh Turki? Tentu bukan atas alasan yang dibuat-buat, negara seperti Turki mendeportasi warga negara asing. Ada apa?

Membantu di ‘Suriah Kecil’?

Nadir Umar dan Budi Mastur sebelumnya diberitakan bertolak ke Turki untuk membawa bantuan dana bagi pengungsi Suriah. Diinformasikan, ada 20.000 dollar AS atau sekitar 265 juta rupiah yang dibawa sebagai dana bantuan dan rencananya akan disalurkan melalui kantor cabang yayasan penyalur bantuan bernama Qoiru Umah di Reyhanli, Turki.

Muhammad Nadir Umar (Foto: Facebook.com)

Reyhanli adalah sebuah kota di Provinsi Hatay, Turki, yang berbatasan langsung dengan Suriah. Di kota ini tinggal banyak pengungsi Suriah yang melarikan diri akibat konflik di negaranya. Banyak yang bahkan menyebut kota ini sebagai ‘Suriah kecil’ karena banyaknya pengungsi Suriah yang tinggal di sana. Penduduk asli kota ini berjumlah 62.000 jiwa, sementara jumlah pengungsi Suriah diperkirakan telah melewati jumlah penduduk asli kota tersebut. Nadir Umar dan Budi Mastur juga berencana ke Lebanon, namun karena terganjal masalah visa, mereka pun balik kembali ke Turki.

Berikut adalah kronologi perjalanan Nadir Umar dan Budi Mastur hingga akhirnya dijemput oleh tim Densus 88.

Nadir Umar tercatat memiliki jabatan yang penting di PKS dan di DPRD Pasuruan. Saat ini, Nadir Umar menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Daerah PKS Kabupaten Pasuruan. Ia juga tercatat sebagai ketua Badan Kehortmatan (BK) DPRD Kabupaten Pasuruan.

Menanggapi kejadian yang menimpa kadernya ini, Presiden PKS, Sohibul Iman meminta berbagai pihak untuk tidak berspekulasi terlalu jauh terkait persoalan ini. Ia meminta semua pihak untuk menyerahkan pada proses yang dilakukan oleh kepolisian. Selain itu, ia juga menegaskan apa yang menimpa kadernya tersebut membuat kaget partainya, mengingat Nadir Umar tidak meminta izin kepada partai untuk melakukan perjalanan tersebut. Sohibul juga tetap mengingatkan bahwa partainya tidak pernah menyetujui penggunaan cara-cara kekerasan dalam melakukan dakwah dan pengajaran.

Persoalan ini menjadi perbincangan mengingat keduanya ditahan oleh Densus 88 yang notabene adalah tim khusus anti teror. Selain itu, Densus 88 tidak mungkin menahan orang kalau tidak ada persoalan serius yang terjadi, selain juga karena informasi yang didapatkan dari otoritas yang ada di Turki.

Spekulasi juga bermunculan mengenai dana bantuan yang dibawa oleh keduanya. Menurut informasi, keduanya membawa uang sebesar 20.000 dollar atau sekitar 265 juta rupiah untuk disumbangkan pada para pengungsi Suriah. Sementara, kalau ditelusuri, jumlah biaya perjalanan keduanya pulang-pergi Turki-Indonesia totalnya bisa mencapai 50 juta rupiah – jika menggunakan asumsi tiket pesawat termurah Jakarta-Istanbul yang berada di kisaran 10 juta rupiah per orang.

Dengan perbandingan biaya perjalanan yang mencapai 20 % dari total jumlah bantuan, tentu hal tersebut membuat banyak pihak mempertanyakan alasan kedua orang ini berkunjung ke Turki. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan pihak otoritas Turki mencurigai adanya keinginan dari dua orang tersebut untuk menyeberang ke Suriah. Kepolisian belum mengeluarkan pernyataan lanjutan terkait hal tersebut, oleh karena itu mari kita tunggu hasil pemerikasaannya.

Eksodus Fundamentalis?

Apa yang menimpa Nadir Umar dan Budi Mastur ini sesungguhnya menggambarkan fenomena yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir, terkait maraknya WNI yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Catatan dari kepolisian menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 ada sekitar 600 WNI yang pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Dari jumlah tersebut, ada sebagian yang meninggal di Suriah, ditangkap dan digagalkan keberangkatannya ketika di Singapura, Malaysia dan Turki, hingga dikembalikan atau dideportasi ke Indonesia.

Menurut pihak kepolisian – disampaikan langsung oleh Kapolri, Jenderal Tito Karnivian dalam silahturahmi dan jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta pada Desember 2016 – di Suriah sendiri ada dua kelompok yang menjadi tujuan WNI yang ingin bergabung. Selain ISIS, ada juga Jabhat Al-Nusra yang merupakan cabang Al-Qaeda di Suriah.

Di Indonesia sendiri, ada kelompok-kelompok yang mendukung perjuangan ISIS, sementara ada kelompok lain yang mendukung Al-Qaeda. Jamaah Anshar Daulah (JAD) adalah salah satu kelompok pendukung ISIS, sedangkan Jamaah Islamiyah (JI) mendukung Al-Qaeda.

Adapun gerakan dukungan kepada ISIS jauh lebih besar dampaknya, dibuktikan dengan eksodus 600-an simpatisan ISIS hanya pada tahun 2016 saja, sementara Al-Qaeda butuh 10 tahun untuk mengumpulkan dan melatih ‘hanya’ 400 simpatisan dari Indonesia. Dengan jumlah yang demikian besar, jelas Indonesia ditargetkan menjadi tempat yang cocok bagi ISIS untuk menyebarluaskan pengaruhnya.

Baik ISIS maupun Al-Qaeda menggunakan propaganda agama untuk menarik dukungan dari orang-orang di seluruh dunia. Khusus untuk ISIS, selain karena alasan agama, ada tawaran penghasilan yang luar biasa besar bagi para pengikut yang mau bergabung dengannya. ISIS bisa memberikan gaji hingga 2.000-3.000 dollar per pekan atau setara 25 juta-39 juta rupiah dalam kurs saat ini. Jika dihitung-hitung, hampir tiap bulan seorang simpatisan ISIS bisa mengantongi uang antara 8.000-12.000 dollar atau setara dengan 100 juta-150 juta rupiah. Wow, tidak heran banyak orang – termasuk juga dari negara-negara Eropa – yang tertarik bergabung.

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi target gerakan-gerakan fundamentalisme transnasional seperti ISIS untuk menyebarluaskan paham-pahamnya. Rohan Gunaratna – analis keamanan dan kepala International Centre for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) dari Singapura – mengatakan bahwa penyebarluasan paham ISIS di Asia Tenggara termasuk Indonesia dilakukan dengan menggunakan situs media sosial. Tercatat ada 3.000 situs media sosial propaganda ISIS di Asia Tenggara, dengan 70% di antaranya berasal dari Indonesia.

Wabah Transnasional Radikalisme

Persoalan akan muncul jika WNI yang pergi ke Suriah ini kembali ke Indonesia. Ada ketakutan kelompok-kelompok yang kembali dari Suriah akan membawa paham yang didapatkan di Suriah ke Indonesia. Bukan rahasia lagi beberapa teror yang terjadi dalam negeri beberapa waktu belakangan ini juga berkaitan dengan gerakan yang ada di Suriah, misalnya aksi bom panci di Cicendo, Bandung, yang berafiliasi dengan ISIS, dan kejadian terbaru adalah aksi penembakan teroris di Tuban, Jawa Timur pada Jumat, 7 April 2017 lalu.

Radikalisme transnasional – kalau ingin dibahasakan demikian – saat ini juga telah menjalar ke seluruh dunia. Minggu, 9 April 2017 kemarin kita mendengar berita aksi pengeboman sebuah Gereja Kristen Koptik di Mesir. Beberapa hari lalu, kita juga mendengar berita serangan teror di Swedia. Kejadian-kejadian tersebut merupakan sebagian dari cerita teror yang melanda Eropa dalam setahun terakhir.

Di Indonesia sendiri, persoalan semacam ini harus lebih serius lagi ditangani. Jika sekelas anggota DPRD atau PNS saja ada indikasi terdoktrinasi gerakan radikal, bagaimana nasib paradigma Pancasila yang seharusnya diperjuangkan oleh orang-orang yang duduk di jabatan seperti itu? Jika anggota DPRD saja bisa terdoktrin demikian, apalagi masyarakat biasa.

Transnasional radikalisme ini mulai menguat di banyak negara seiring kembali menguatnya politik identitas – istilah yang digunakan oleh Samuel P. Huntington (1927-2008), seorang ahli politik dari Amerika Serikat – untuk menggambarkan penyebab konflik di masa depan. Rasa-rasanya hal tersebut sudah semakin terlihat di Indonesia setidaknya dalam setengah tahun terakhir, apalagi di tengah hangatnya kontes politik di beberapa daerah. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka transnasional radikalisme ini suatu saat akan menghancurkan Pancasila – ideologi yang menyatukan negara ini dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia butuh aturan yang lebih keras terkait penanganan transnasional radikalisme terutama yang berhubungan dengan ISIS. Saat ini belum ada tindakan keras kepada pihak-pihak yang diduga berafiliasi dengan ISIS, mungkin karena pertumbuhan Foreign Terrorist Fighters (FTF) atau teroris asing asal Indonesia yang ikut berperang bersama ISIS, belum begitu besar. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia pun tidak masuk dalam daftar 20 besar negara yang warganya bergabung dengan ISIS. Oleh karena itu, tidak heran Indonesia masih menjadi target propaganda ISIS untuk mencari simpatisan atas nama agama.  

Apa yang dialami oleh Muhammad Nadir Umar dan Budi Mastur ini harus ditanggapi sebagai sinyal perlu kembalinya negara ini pada jati diri kebangsaan yang berasaskan Pancasila. Adanya politisi setingkat anggota DPRD yang terlibat harus menjadi catatan untuk pemberantasan terorisme dalam negeri. Pertanyaannya: sampai di mana kita? (S13)

Exit mobile version