Temuan komunitas intelijen menyebutkan bahwa tindakan peretasan ini dilakukan karena Putin ingin membalas sakit hati terhadap Hillary Clinton, pesaing Trump dalam pilpres, yang dianggap pernah memicu unuk rasa menentang Putin di Moskwa.
pinterpolitik.com – Selasa, 10 Januari 2017.
WASHINGTON – “CIA benar”, demikianlah kira-kira yang disampaikan oleh Donald Trump melalui calon kepala staf Gedung Putih, Reince Priebus. Donald J. Trump, presiden terpilih Amerika Serikat akhirnya mengakui temuan CIA tentang keterlibatan Rusia di belakang peretasan yang terjadi di sekitar pemilihan presiden Amerika Serikat. Namun demikian, Trump tidak jelas-jelas menyatakan bahwa presiden Rusia, Vladimir Putin sebagai orang yang memerintahkan peretasan tersebut.
Pengakuan Trump tersebut disampaikan calon kepala staf Gedung Putih, Reince Priebus, pada Minggu (8/1) dalam sebuah wawancara di televisi. Hal ini tentunya agak mengejutkan karena sebelumnya Trump terus menyangkal hasil investigasi sejumlah lembaga intelijen, sebut saja Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), Biro Investigasi Federal (FBI), dan Direktorat Intelijen Nasional (DNI), yang menyatakan bahwa Putin memerintahkan peretasan tersebut. Ketimbang mengakuinya, Trump justru menunjuk Tiongkok sebagai aktor yang paling mungkin melakukan intrusi ke dalam komputer para pengurus Partai Demokrat.
Temuan komunitas intelijen tersebut menyebutkan bahwa tindakan peretasan ini dilakukan karena Putin ingin membalas sakit hati terhadap Hillary Clinton, pesaing Trump dalam pilpres, yang dianggap pernah memicu unjuk rasa menentang Putin di Moskwa.
Akhir pekan lalu, para petinggi lembaga intelijen bertemu dengan Trump dan memberikan masukan soal peretasan tersebut. Saat itu, Trump telah meminta rekomendasi tentang apa yang harus ia lakukan. Namun demikian, Trump juga mengatakan bahwa tidak ada salahnya untuk berhubungan baik dengan Rusia dan negara-negara lain.
Seorang ahli intelijen mengatakan, Putin dalam hal ini sedang mempertaruhkan masa depannya. Dia melakukan serangan kampanye lewat berbagai sudut, mulai dari propaganda, penyebaran kabar bohong, mengirim uang, hingga spionase tradisional. “Dan akan sangat mengejutkan kalau hal ini tidak meningkat di Prancis, Jerman dan negara-negara lain,” kata ahli intelijen yang tak bersedia disebutkan namanya tersebut. (Kompas/S13)