“Berbicara politik sebagai debat kebijakan, bukan kasak-kusuk elite berebut kekuasaan”. – Najwa Shihab
Pinterpolitik.com
Pemilu serentak 2019 kali ini meninggalkan kesan yang amat mendalam buat kita ya gengs. Dari penggunaan narasi yang berbau SARA, hingga berujung pada penangkapan banyak oknum yang diduga berpotensi melakukan tindakan makar.
Dari hal ini, kita dapat memberikan evalusasi terkait bagaimana sebenarnya kondisi di Indonesia. Apakah negeri ini masuk dalam kategori police state, oligarki, otokrasi, atau memang masih dalam taraf demokrasi yang sehat?
Apalagi nih gengs, kalau kita lihat selama beberapa hari ke belakang sebelum KPU mengumumkan hasil rekapitulasi, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah cenderung represif ya cuy terhadap kebebasan hak berpendapat rakyat. Apalagi kalau kita ingat kebijakan yang dibuat oleh Menko Polhukam Wiranto terkait tim asistensi hukum untuk presiden dan keinginannya untuk menutup media. Beeh, ingin rasanya berkata kasar ya cuy. Uppss.
Kalau dipikir-pikir nih, emang bener sih katanya Titiek, bahwa kasus penangkapan terkait makar selama kepemimpinan seorang presiden di Indonesia, baru kali ini gencar banget. Share on XDengan banyaknya orang yang ditersangkakan karena tuduhan “makar”, jadi teringat dengan Titiek Soeharto ya gengs. Doi kan sempat dua kali membandingkan kepemimpinan Presiden Jokowi dengan ayahnya, Soeharto.
Yang pertama, doi mengatakan bahwa Pemilu kali ini lebih curang dari era Pak Harto. Nah yang kedua nih cuy, doi membandingkan bahwa pemerintah saat ini sedikit-sedikit dituduh makar. Dia menilai bahwa di zaman Pak Harto tidak seperti saat ini. Kondisi di era Jokowi ini menurutnya lebih gila.
Kalau dipikir-pikir nih, emang bener sih katanya Titiek, bahwa kasus penangkapan terkait makar selama kepemimpinan seorang presiden di Indonesia, baru kali ini gencar banget. Bahkan nih, kalau dibandingkan, sejak era Soekarno hingga SBY, tindakan makar memang ada, tapi jumlah orang yang jadi tersangkanya tidak lebih banyak daripada sekarang.
Di era Soekarno misalnya, hanya ada Daniel Alexander Maukar yang dituduh makar pada tahun 1960. Sedangkan era Soeharto yang berkuasa selama lebih 32 tahun, tindakan makar terjadi pada tahun 1976, 1986, 1991, dan 1998. Era Gus Dur terjadi satu kali pada 2001. Sedangkan di era SBY terjadi pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Daniel Malawaw dan Hermanus Dasera.
Dari sisi jumlah kasus, emang zaman itu lebih banyak. Tapi kalau dari jumlah pelaku yang ditangkap, era Jokowi lebih banyak. Dalam 5 tahun ini sudah 18 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka makar. Hadeh.
Jadi, di satu sisi Titiek emang benar sih. Hanya saja, perlu digarisbawahi bahwa di era Soeharto, kalau ada orang yang sekali saja protes, beeh besoknya sudah hilang alias lenyap gak tau ke mana. Mungkin sudah dimasukkan karung dan dibuang ke laut kali. Upppss, itu kata banyak buku dan majalah yang membahas era itu loh. Hehehe.
Kalau kondisinya seperti itu, kira-kira lebih suka mana nih, dituduh makar atau tiba-tiba dihilangkan? Upppsss, mending makaryo alias bekerja aja ya gengsZaman sekarang kalau nggak ada duit mah susah mau ngapa-ngapain. Hehehe. (F46).