Dinamika politik Indonesia yang disertai dengan upaya bagi-bagi kekuasaan menggambarkan kepentingan elite di belakangnya. Selain itu, tipikalitas seorang pemimpin turut memengaruhi keberlangsungan karier politiknya.
PinterPolitik.com
Joko Widodo sudah terpilih untuk kedua kalinya secara demokratis sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 yang biasa juga dikenal dengan Jokowi 2.0. Kemenangan tersebut tidak bisa dilepaskan oleh pertarungan politik yang begitu kental dengan sentimen politik yang berbau rasisme agama, etnis, warna kulit, suku dan budaya.
Meskipun penggunaan isu-isu yang berbau rasisme agama dan etnis dalam kontestasi politik Indonesia bukanlah hal yang baru, dalam tinjauan sejarah, penggunaan strategi politik rasisme untuk meraih dukungan sudah terjadi sejak zaman kolonialisme. Pemerintah kolonial membentuk stratifikasi sosial untuk menguasai dan mendapatkan dukungan kekuasaan dari suku dan etnis tertentu dengan memberikan hak-hak khusus seperti hak mendapatkan pendidikan. Konsep ini terus berkembang dan menjadi DNA politik Indonesia.
Besarnya bentukan stratifikasi sosial tersebut menyebabkan kekuasaan tertinggi hanya bisa dimiliki oleh kelompok mayoritas. Pembentukan kultur demokrasi yang prematur seperti itu memiliki korelasi positif dengan kualitas pemimpin yang terpilih – dalam teori diasosiasikan dengan tipikalitas pemimpin (prototypicality).
Prototipicality adalah jenis kepemimpinan yang diinginkan oleh mayoritas masyarakat yang memiliki kesamaan dengan kelompok mereka. Dengan kata lain, pemimpin menggambarkan identitas dan perilaku dari grup tersebut.
Misalnya, masyarakat yang konservatif akan cenderung memilih pemimpin yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan nilai-nilai budaya dan agama, sedangkan masyarakat yang egalitarian akan cenderung memilih pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan tanpa memandang perbedaan etnik, budaya dan agama.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektif kepimpinan yang terpilih dari Prototipicality yang bersifat konservatif. Lalu, bagaimana seandainya kategorisasi kepemimpinan tersebut hanya dibuat-buat untuk kepentingan elite politik untuk meraih kekuasaan?
Seberapa Efektif?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menilik kembali pada teori Prototipicality yang dikemukakan oleh Giessner dan Knipberg serta Haslam, Reicher, dan Platow. Dalam teori tersebut, dijelaskan bahwa keberhasilan kepemimpinan tergantung dari seberapa besar dukungan dan kepercayaan antara pemimpin dan pengikut dalam ikatan grup tersebut untuk menjaga identitas grup.
Kepemimpinan yang dibentuk oleh kepemimpinan prototipicality yang bersifat konservatif memiliki korelasi negatif antara kompetensi dengan identitas. Sepanjang pemimpin tersebut menjaga nilai konservatif yang membentuk identitas grup tersebut, maka kepemimpinan tersebut dianggap sukses, begitu juga dengan tipikalitas kepemimpinannya – selama pemimpin tersebut mampu menjaga identitas grup yang sudah ditawarkan sejak awal.
Di Indonesia, ini bisa dilihat dari sejarah kepemimpinan yang terpilih lebih dari sekali masa pemerintahan Presiden seperti misalnya Soekarno, Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Di sisi lain, bila kita melihat presiden yang hanya memiliki pemerintahan yang singkat – seperti BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri – memiliki prakondisi yang berbeda.
Prakondisi tersebut dibentuk oleh identitas grup elite politik di Indonesia. Dalam sistem demokrasi yang struktural, calon-calon pemimpin yang disuguhkan ke publik merupakan hasil konsensus politik dari elite-elite politik yang ada termasuk pemilik partai politik dan pemilik modal.
Oleh karena itu, pemimpin yang ditawarkan sebenarnya tidak menjaga identitas grup mayoritas akan tetapi merepresentasikan kepentingan pada elite yang berada di belakang pencalonan mereka. Habibie, Gus Dur, dan Megawati adalah contoh pemimpin yang digagalkan oleh elite politik karena dianggap tidak cukup representatif untuk menjaga kepentingan elite.
Kasus Megawati pun sedikit unik karena merupakan pemimpin perempuan pertama di Indonesia yang dianggap tidak cukup representatif bagi kelompok Islam konservatif. Akan tetapi, karena dukungan elite politik, pengecualian perbedaan tersebut kemudian bisa diterima oleh mayoritas pendukung.
Carol Becker dalam bukunya yang berjudul Surpassing the Spectacle menjelaskan bahwa hal ini biasa dikenal dengan acceptable difference atau perbedaan yang bisa diterima. Kasus ini mirip dengan kasus terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Afrika-Amerika pertama di Amerika Serikat (AS) – di mana ide, karakter, dan personalitasnya bisa merepresentasikan mayoritas penduduk dan juga menjaga kepentingan elite politik partai Demokrat.
Meskipun terpilih, persepsi keberhasilan Obama paling besar pada kelompok Afrika-Amerika sebesar 23%, kelompok Hispanik sebesar 20%, sedangkan untuk kelompok Kaukasia hanya sebesar 13%. Ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan persepsi antara ketiga golongan ras tersebut.
Pemimpin yang bertolak belakang dengan identitas mayoritas grup cenderung dianggap sebagai ancaman yang menyebabkan calon pemimpin tersebut tersisih dari kontestasi politik. Ini terjadi pada kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok atau BTP) yang tersingkir dari kursi gubernur karena dianggap mengancam identitas mayoritas elite dan grup.
Bila dilihat dari framework tipikalitas kekuasaan pada Figur 1 di atas, kepemimpinan di Indonesia pada hakikatnya mirip dengan AS – di mana pemimpin yang disuguhkan ke publik merupakan hasil seleksi dari para elite politik dan pemilik modal berdasarkan pesona dan elektabilitas yang cukup besar – meskipun secara teoretis Indonesia dan Amerika dalam tipologi sistem demokrasinya berbeda. AS lebih cenderung diasosiasikan dengan Anglo-Amerika yang memiliki kemiripan dengan Inggris, sedangkan Indonesia lebih mengidentifikasikan modelnya dengan demokrasi Pancasila.
Konsentrasi kekuasaan yang begitu besar pada elite politik dan pemilik modal menyebabkan pemilihan kepemimpinan tidak terbentuk secara alami tapi cenderung sistematis – ketika muncul sosok yang tiba-tiba mendapat dukungan besar dari publik kemudian didekati oleh elite-elite politik tapi dengan syarat harus ada pembagian kekuasaan sebelum dan sesudah Pemilu. Contoh yang paling relevan adalah Jokowi dan Barack Obama.
Politik Bagi-bagi Kekuasaan
Model kepemimpinan yang mengedepankan prototipicality terstruktur memiliki dua kelemahan yang cukup mendasar. Kelemahan pertama adalah terjadinya pembagian kekuasaan (power sharing) antar sesama elite dan pemilik modal.
Dengan demikian, tujuan negara demokrasi yang menjunjung kesetaraan hak dan akses politik menjadi terbatas pada grup tertentu saja. Ini terbukti pada Pilpres 2014, ketika partai-partai politik – seperti PPP, PAN, dan Golkar – yang dulunya menjadi lawan politik Jokowi berbalik arah bergabung dengan pemerintah.
Bergabungnya ketiga partai besar yang seolah-olah membangun citra untuk mendukung pembangunan pada hakikatnya hanya bertujuan untuk memperoleh jatah kekuasaan dalam pemerintahan. Power sharing ini menjadi ciri khas utama negara yang mengandalkan prototipicality pada sistem demokrasinya.
Kelemahan kedua adalah segregasi dan perpecahan yang cenderung tajam pada level grass root atau akar rumput. Ini disebabkan karena prototipicality sangat erat hubungannya dengan politik identitas.
Dalam suatu teori yang biasa dikenal dengan Teori Identitas Sosial milik Tajfel dan Turner – serta menurut Haslam, Reicher, dan Platow, identitas sosial mengacu pada dua aspek utama. Aspek pertama adalah para pendukung grup dan anggota grup cenderung membandingkan grup mereka dengan grup pendukung yang lain (seperti Cebong dan Kampret). Aspek kedua adalah masing-masing grup akan beranggapan bahwa kelompok mereka baik dari grup yang lain – mengacu pada nilai-nilai dan prioritas grup tersebut.
Dengan demikian rekonsiliasi pada level elite setelah pemilu antara kelompok Jokowi dan Prabowo akan tetap menghasilkan perpecahan pada level masyarakat bawah, sedangkan pada level elite sendiri sudah hampir dipastikan akan terjadi pembagian kekuasaan di antara partai politik. PAN dan Gerindra yang kemungkinan akan bergabung dengan Jokowi juga menandakan besarnya hasrat untuk berbagi kekuasaan dan tidak adanya ideologi dan idealisme partai yang kuat di institusi tersebut.
Sementara untuk PKS, kecenderungannya untuk menjadi oposisi sangat besar. Namun, motivasi tersebut bukan disebabkan oleh faktor ideologis, melainkan lebih pada strategi untuk mengamankan suara mereka dalam Pemilu mendatang.
Besarnya perbedaan ideologis yang dibentuk antara PKS dan partai lain menyebabkan pasar suara bagi partai ini cenderung tersegmentasi. Oleh karena itu, besar kemungkinan mereka akan kehilangan dukungan suara mereka dalam Pemilu 2024 apabila PKS bergabung dengan koalisi Jokowi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jokowi 2.0 tidak akan jauh berbeda dengan Jokowi 1.0 karena power sharing sudah pasti menjadi kue utama di antara para pemilik modal. Ini juga berarti kemungkinan besar kementerian-kementerian yang strategis akan dikuasai oleh orang-orang dari partai politik.
Tulisan milik Asmiati Malik, dosen Ilmu Politik di Universitas Bakrie
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.