Site icon PinterPolitik.com

Tiongkok Geser Amerika Pimpin Perdagangan Bebas Dunia

Goyahnya perekonomian Amerika Serikat dan kebijakan proteksi dari Presiden Donald Trump membuat membuat Tiongkok muncul sebagai “Pemimpin” baru perdagangan bebas dunia. Namun pelaku pasar masih mempertanyakan keseriusan Tiongkok untuk mengubah pendekatan ekonominya


pinterpolitik.comRabu, 25 Januari 2017.

Jakarta – Sinyal perubahan peta perdagangan dunia terjadi setelah Presiden Tiongkok, Xi Jinping hadir dalam di World Economic Forum (WEF) di Davos (17/1/2017) silam. Xi Jinping  menjadi pemimpin Tiongkok pertama yang hadir dalam forum tersebut. Kehadiran Xi mencitrakan kepercayaan diri Tiongkok untuk mengambil estafet kempemimpinan pasar bebas dari Amerika Serikat. Lewat forum itu Xi mengkampanyekan peran Tiongkok sebagai kekuatan dagang yang baru.

Namun langkah Tiongkok untuk membuka diri ke pasar bebas dipertanyakan sejumlah pihak Namun, Tiongkok diminta untuk menunjukan  tindakan lebih konkret membuka pasar bagi perusahaan asing untuk melawan meningkatnya proteksionisme global. Perusahaan asing di Tiongkok telah lama mengeluhkan kurangnya akses pasar dan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan janji mewujudkan pasar bebas yang telah berulangkali dilontarkan.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan, Xi akan menggunakan pertemuan Davos sebagai kesempatan untuk mempromosikan pandangan “obyektif” soal globalisasi untuk membuatnya lebih inklusif, selain memberikan pemahaman yang lebih baik tentang ekonomi Tiongkok.

Saat ini, Tiongkok menjadi perhatian seluruh pihak karena menjadi ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Kebijakan ekonomi Tiongkok akan memberikan pengaruh perekonomian dunia. Riset HSBC menyebutkan Tiongkok berkontribusi sebesar 12% dari total PDB dunia.

Ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri mengatakan pemerintah Tiongkok perlu mengubah pendekatan ekonominya. Menurutnya ekspor tidak dapat dijadikan sebagai pilar utama untuk menunjang perekonomian Tiongkok, sebab agresivitas dalam ekspor justru membuat kondisi perdagangan Internasional memburuk.

“Tiongkok harus bergeser ke dari mengandalkan ekspor menjadi konsumsi domestik,”ujar Chatib.  Dari ekspor barang Tiongkok, banyak negara-negara kehilangan industri dalam negerinya. Maklum saja, Tiongkok bisa jual barang lebih murah. Diprediksi pada tahun 2050 Tiongkok akan menjadi negara dengan daya beli tertinggi di dunia.

Chatib menambahkan, Tiongkok tidak bisa bermain sendiri dalam kebijakan ekonomi. Pemerintah Tiongkok diharap dapat belajar dari dampak pelemahan yuan yang justru gejolak di pasar keuangan. Ia menilai Pertumbuhan ekspor Tiongkok dianggap telah mencapai titik jenuh. Apabila terus dipaksakan, maka dampak negatifnya akan sampai kepada negara lain, termasuk Indonesia.

Tiongkok memiliki sejumlah faktor yang membuat perekonomiannya kuat. Faktor tersebut antara lain, pertama, Tiongkok merupakan konsumen minyak terbesar kedua dunia dengan 594 juta ton setara 12 juta bph. Kedua, Tiongkok menjadi konsumen batu bara terbesar di dunia mencapai 3,9 miliar ton. Ketiga, Tiongkok merupakan pemegang surat utang Amerika terbesar senilai USD  1,2 Triliun. Keempat, Tiongkok merupakan mitra terbesar Indonesia dengan nilai 49,2 miliar dollar AS, menjadi tujuan ekspor terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Kelima, Tiongkok merupakan pasar terbesar bagi komoditas mineral dan batu bara. Keenam, Tiongkok sejak lama membiarkan nilai tukar mata uangnya rendah terhadap dolar Amerika Serikat, dan menjadikannya ini sebagai senjata utama untuk menggenjot ekspor. Ketujuh, Tiongkok memiliki cadangan devisa terbesar dunia, diperkirakan lebih dari USD 3 triliun, dan terakhir kegiatan ekonomi Tiongkok menggurita ke berbagai kawasan dan sektor industri di dunia.

Perkuat Hubungan Dengan ASEAN

Dari sisi regional, Hubungan perdagangan Tiongkok dan Indonesia semakin dikuatkan dengan perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ada 16 negara yang menjadi anggota RECP. Di antaranya, ada 10 negara anggota ASEAN yakni Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu ada enam negara mitra yakni Cina, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru. 15 negara anggota RCEP itu mewakili 56,2 persen ekspor Indonesia ke dunia dan 70 persen impor Indonesia dari dunia.

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Enggartiasto Lukita berharap perundingan RCEP bisa diselesaikan pada tahun ini. Pemerintah yakin perundingan RCEP akan membawa dampak positif pada ekonomi regional maupun ekonomi global. RCEP, menurut Enggar, bisa jadi harapan di tengah suramnya kondisi perdagangan global, ditambah dengan meningkatnya proteksionisme di kedua negara maju dan berkembang.

Enggar melihat kekuatan ekonomi yang dimiliki negara-negara anggota RCEP akan berkontribusi besar pada perbaikan ekonomi di kawasan. RCEP memiliki populasi sebesar 45 persen populasi dunia dan kombinasi produk domestik bruto hingga US$ 22,4 triliun. Kawasan ini juga mencakup 30 persen dari total perdagangan dunia. Selain itu, pertumbuhan negara besar yang terlibat seperti Cina, India, dan Indonesia yang akan mencapai nilai US$ 100 triliun pada 2050.

Lebih lanjut, Enggar menjelaskan bahwa RCEP akan memberikan manfaat bagi Indonesia untuk memperoleh akses pasar yang lebih baik dibandingkan dengan yang didapat dari Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN dan para negara mitra. Melalui perundingan ini, hal-hal yang belum didapat Indonesia dari berbagai FTA dalam format ASEAN+1, bisa diperbaiki seperti akses pasar produk pertanian ke India dan Cina.  (KD/DTK/O23)

Exit mobile version