“Gerakan hastag #2019GantiPresiden menginspirasi kami masyarakat tionghoa untuk mengatakan bahwa Pak Jokowi kamsia. Lebih banyak manfaat dia berhenti ketimbang dia terus.” ~ Koordinator Aspirasi Indonesia, Lieus Sungkharisma.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]olitik zaman now itu bukan lagi eranya perang kekuatan massa seperti sebelum reformasi. Di era kekinian, politik lebih main cantik dengan perang pengaruh terhadap masyarakat. Siapa yang lebih bisa mempropagandakan isu tertentu pada masyarakat, maka dia lah pemenangnya. Gimana caranya? Ya tentunya dengan memegang kendali media yang ada.
Jadi wajar kalau menjelang Pemilu, para aktor misionaris simpatisan partai politik tertentu mulai ramai menghiasi pemberitaan di media. Mereka umumnya sibuk menyuarakan dukungan terhadap satu Calon Presiden (Capres) tertentu, atau sebaliknya hanya sibuk mempertentangkan Capres tersebut.
Relawan ini, aktivis itu, ataupun komunitas tertentu mulai ramai nampang di pemberitaan media. Tujuannya sih sederhana, agar mereka seakan terlihat sebagai representasi orang-orang yang sedang diwakili. Aslinya mah gak gitu juga. Itu sih cuma ngeklaim sepihak aja. Ya kali semuanya satu suara.
Begitulah pikiran eike ketika melihat para aktivis Tionghoa berkumpul untuk menyatakan sudah gak ingin sosok Jokowi menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya. Mereka bertekad gak akan memilih Jokowi di Pemilihan Presiden 2019 nanti. Eike jadi kepo nih sama yang mensponsori mereka, siapa ya kira-kira?
Katanya sih sikap mereka terinspirasi dari gerakan #2019GantiPresiden. Latahan apa gimana sih, kok beraspirasi cuma karena terinspirasi sama gerakan tertentu? Wedew. Apa dibalik para aktivis Tionghoa ini ada PKS & Gerindra ya yang kebetulan menyuarakan hal yang sama?
Para aktivis Tionghoa ini kasihan sama Jokowi karena udah berat bebannya. Untuk itu mereka mengusung tema #2014AkuYangMemulai #2019AkuMengakhiri. Menurut mereka lebih banyak manfaat Jokowi berhenti ketimbang dia terus memimpin Indonesia. Penjelasan detailnya kayak gimana? Ya entah lah.
Aktivis senior Tionghoa yang juga koordinator Aspirasi Indonesia, Lieus Sungkharisma bilang kalau pernyataan gak mendukung Jokowi ini lebih karena mereka merasa miris melihat kebhinnekaan dan Pancasila di negeri ini yang mulai terancam. Selama Jokowi berkuasa, masyarakat seakan terkotak-kotak.
Jiah si koko Lies. Dia mah emang dari dulu kontra Jokowi. Kalau gitu sih gak usah bawa-bawa komunitas Tionghoa. Cukup nyatakan kalau itu aspirasi pribadi. Gak perlu lah mengatasnamakan Tionghoa secara keseluruhan. Palingan itu cuma pendapat subyektif pribadi aja yang gak bisa dibuktikan lebih jauh.
Nih ya eike mau tanya sesuatu. Kira-kira ada yang penasaran gak ya, sama fakta ini. Kalau Presidennya dari kalangan sipil pasti kondisi bangsa relatif gonjang-ganjing banyak rusuh. Giliran Presidennya dari kalangan militer, eh adem ayem negeri ini. Kok bisa ya? Ada yang kepo gak nih?
Oh, kelompok ini jangan-jangan mau mengarahkan agar masyarakat mempercayai bahwa kesatuan dan persatuan akan terjalin kuat jika dipimpin sama militer ya? Dijamin gak akan ada perpecahan dan pengkotak-kotakan. Mereka ini kayak fans berat Orde baru yang apa-apa dibuat homogen deh. Wew.
Wajar lah ya kalau dulu semasa Orde Baru terasa adem ayem relatif gak ada rusuh selama 32 tahun. Mau tau kenapa? Kalau eike boleh bersuudzon, ya karena ada upaya represif lah dari militer terhadap rakyatnya. Nakal sedikit, tercyduck deh. Pas dicyduck lari? Ya siap-siap aja di-Petrus. Gak apa sih, yang penting kan negara adem ayem, gak rusuh, hahaha. (K16)