Hampir di setiap gelaran pemilihan umum (Pemilu), akan ada saja sengketa yang terjadi. Baik antar kandidat maupun perselisihan penghitungan suara. Menurut Bawaslu, hingga kini MK menjadi sandaran untuk melerai permasalahan tersebut.
PinterPolitik.com
“Nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria.”
[dropcap]K[/dropcap]utipan yang diambil dari bahasa latin di atas, merupakan prinsip yang dianut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kurang lebih, kalimat itu menjelaskan kalau tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri, dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Prinsip ini pula yang menyebabkan MK pada akhirnya kebanjiran kasus di setiap akhir Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahkan Pemilihan Presiden (Pilpres). Bayangkan saja, pada Pilkada Serentak 2017, MK harus menangani 50 kasus sengketa. Itu belum seberapa, karena pada 2015 jumlahnya bahkan mencapai tiga kali lipat!
Salah satu hakim MK aja sampai keberatan nanganinnya. Walau setiap penyelenggaraan Pemilu diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima kekalahan. Bahkan sampai membakar kantor Kementerian Dalam Negeri pun dilakoni. Belum lagi trik kecurangan yang kian tahun makin kreatif dari para tim sukses masing-masing kandidat.
MK – @MK_RI Tegaskan Anggota DPR/DPRD – @DPR_RI yang Maju Pilkada Wajib Mundur #LegislatorIkutPilkada pic.twitter.com/ilPSdyB82g
— Kita Bicara (@Kitabicar4) November 30, 2017
Itu juga belum termasuk sikap ogah-ogahan para pejabat negara, dari menteri sampai anggota legislatif yang pingin mengadu nasib jadi kepala daerah, tapi emoh ninggalin kursinya yang sebenarnya udah terasa nyaman. Jadi pada akhirnya, mereka berusaha banget biar posisi sebelumnya enggak bakal hilang kalau ternyata kalah nanti.
Aksi “penjudi takut kalah” ini, diperlihatkan oleh anggota DPRD Provinsi Riau, Fraksi PKB periode 2014-2019, Abdul Wahid. Supaya ia enggak harus mengundurkan diri dari kursinya yang empuk di parlemen, karena juga ingin ikut Pilkada 2018, ia pun menggugat aturan itu ke MK. Tentu saja gugatannya ini ditolak mentah-mentah.
Sikap Abdul ini, sebenarnya juga mengingatkan pada salah satu Calon Gubernur di Jawa Timur di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur. Calon ini udah umbar diri ke mana-mana, tapi kok ya enggak mau juga ngelepasin jabatan menterinya. Padahal udah disindiri sana-sini lho. Itulah kekuasaan, selalu membuat dahaga hingga hilang malu dan logika.
Tapi baik Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum pun mengakui, sifat-sifat kayak gini yang bikin sengketa tak henti-henti di Pilkada. Sehingga mereka pun menyandarkan harapannya pada MK. Sebab akan selalu ada orang haus kuasa yang tak rela menerima kekalahan begitu saja. Kalau belum bikin susah MK, kok kayaknya enggak puas aja. Tapi eh, di Pilpres 2014 lalu juga ada lho yang enggak rela kalah. Siapa ya? (R24)