Dana segar dari Bank Dunia sebesar US$ 700 juta atau sekitar Rp 10,5 triliun baru saja dipastikan masuk ke kas Indonesia. Jika mengacu pada track record serta perannya saat ini, menarik untuk mengetahui sejauh mana peran Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam menentukan masuknya pinjaman Bank Dunia tersebut.
PinterPolitik.com
Kabar menggembirakan sekaligus membuat kas negara bisa paling tidak sedikit bernapas akhirnya datang pada akhir pekan lalu. Sokongan dana Rp 10,5 triliun dari Bank Dunia berhasil diamankan demi menopang fundamental ekonomi Indonesia yang semakin terkikis sebagai dampak pandemi Covid-19.
Hadirnya dana tambahan tersebut pada saat menjelang Hari Raya Lebaran terasa spesial dan seolah menjadi “THR” atau tunjangan hari raya tersendiri bagi sosok bendahara negara.
Sosok itu tidak lain adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang kemudian menyatakan bahwa pinjaman lembaga moneter internasional itu akan cukup positif bagi perekonomian jangka panjang Indonesia.
Lampu hijau bagi pinjaman untuk Indonesia sendiri terjadi setelah Dewan Eksekutif Bank Dunia menyetujui proposal dua proyek aspek perekonomian tanah air sebagai respon dampak pandemi Covid-19 yang akan menjadi peruntukkan dana tersebut.
Proyek pertama ialah terkait dengan pengisian ulang “amunisi” bantuan sosial (bansos) pemerintah bagi masyarakat berkebutuhan sebesar Rp 6 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk ekspansi sekaligus memastikan Program Keluarga Harapan (PKH) dapat berjalan sesuai target, baik jangka waktu maupun penerimanya.
Sementara proyek kedua lebih diperuntukkan bagi penguatan sektor keuangan dalam negeri. Nominal Rp 4,5 triliun direncanakan akan memuluskan kebijakan pembangunan dan reformasi sektor keuangan, utamanya bagi ketahanan dan dukungan sektor riil serta dukungan kepada bisnis yang terdampak pandemi.
Satu hal yang cukup menyita perhatian adalah, pinjaman ini merupakan yang kedua dalam kurun waktu kurang dari dua bulan dari lembaga moneter yang sama, yaitu Bank Dunia. Dan jika diakumulasi dengan pinjaman pertama pada penghujung Maret lalu, total “kasbon” Indonesia ialah sebesar Rp 15 triliun.
Dari titik ini, menarik untuk mengetahui alasan dibalik begitu diandalkannya Bank Dunia yang bahkan berkenan untuk meminjamkan dananya secara beruntun dalam kurun waktu berdekatan.
Padahal di sisi lain, ada lembaga moneter internasional lain, yaitu International Monetary Fund (IMF), yang notabene mampu menyediakan kapasitas pinjaman dana yang jauh lebih besar dibanding Bank Dunia telah berikan kepada Indonesia.
Selain menyoroti relevansi Sri Mulyani sebagai eks Direktur Pelaksana Bank Dunia serta Menkeu saat ini, menarik untuk terlebih dahulu melihat perbandingan IMF dan Bank Dunia itu sendiri.
IMF vs Bank Dunia
Anne Kreuger dalam publikasinya “Whither the World Bank and the IMF?” mencoba membandingkan IMF dan Bank Dunia pada aspek timing atau kehadiran peran keduanya bagi negara-negara anggota.
Kreuger mengatakan bahwa IMF lebih sering hadir ketika negara anggotanya sedang mengalami krisis dan ketidakstabilan ekonomi. Sementara Bank Dunia, acapkali memberikan dukungan pendanaan bagi proyek perekonomian negara anggota yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan aspek sosial jangka panjang seperti program pengentasan kemiskinan.
Secara lebih spesifik, sumber daya keuangan IMF dihasilkan melalui kuota negara anggota mereka sendiri, yang secara umum didasarkan pada ukuran ekonomi masing-masing.
Dengan kata lain, secara sederhana, dana sebenarnya yang digelontorkan IMF kepada suatu negara ialah uang negara itu sendiri, di mana lembaga itu berperan mengatur kuantitas, aliran, serta peruntukkan dana tersebut.
Selain itu, dengan Policy Advice-nya, IMF berperan mengatur pengadopsian penyesuaian kebijakan oleh suatu negara yang berbanding lurus dengan proposal permintaan dana.
Di sisi lain, Bank Dunia, sesuai namanya, merupakan institusi keuangan internasional yang menyediakan pinjaman dana maupun hibah kepada negara-negara berkemampuan ekonomi rendah. Pinjaman dana ini dikeluarkan berdasarkan proposal proyek tertentu yang ingin dicapai oleh sebuah negara, terutama terkait pengentasan kemiskinan.
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Development Association (IDA) adalah dua elemen utama pendonor dalam Bank Dunia.
Lebih lanjut, menurut Kreuger, Bank Dunia memberikan keleluasaan lebih besar kepada negara peminjam dibandingkan IMF yang menurutnya memiliki sifat yang lebih “keras” atau harsh dalam praktik pinjamannya.
Berdasarkan dua karakterisktik perbedaan tersebut, tidak heran bahwa Bank Dunia sangat diandalkan oleh Sri Mulyani sebagai orkestrator perekonomian Indonesia bagi pendanaan yang bersifat “ekstra”.
Terutama jika publik menengok daftar lembaga moneter internasional pemberi pinjaman bagi Indonesia pada Februari 2020. Bank Dunia, melalui IBRD, berada di urutan pertama dengan total pinjaman sebesar US$ 17,7 miliar (sekitar Rp 262,4 triliun). Sementara melalui IDA total pinjaman RI sekitar US$ 920 juta (sekitar Rp 13,6 triliun).
Data tersebut dapat mengindikasikan bahwa karakteristik praktik pinjaman yang lebih soft berdasarkan tulisan Kreuger sebelumnya, menjadi faktor pendorong dan latar belakang tersendiri atas masifnya jumlah dan intensitas utang Indonesia kepada Bank Dunia.
Selain itu, faktor Menkeu Sri Mulyani sendiri juga di sisi lain menjadi penentu esensial keputusan di balik peran besar Bank Dunia dalam memberikan “suntikan nyawa” tambahan bagi kas negara. Seperti apa dan sejauh manakah faktor tersebut berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia?
Menepis Skeptis
James Butkiewicz, seorang profesor bidang ekonomi University of Delaware, Amerika Serikat menyajikan penelitian dengan variabel komprehensif terkait perbandingan implikasi dari pinjaman dana IMF dan Bank Dunia. Hasil penelitian itu ia publikasikan dalam sebuah jurnal berjudul “The Effects of IMF and World Bank Lending on Long-Run Economic Growth: An Empirical Analysis”.
Dalam penelitian tersebut, Butkiewicz menguji efek pinjaman IMF dan Bank Dunia terhadap negara peminjam dengan econometric techniques berupa variabel karakteristik Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat pendapatan, dan kualitas demokrasi.
Sebagai hasilnya, Butkiewicz menyatakan bahwa pinjaman IMF memiliki efek negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dibandingkan konteks serupa yang disediakan Bank Dunia pada sebagian besar kasus.
Lalu pinjaman Bank Dunia juga dikonklusikan Butkiewicz sebagai instrumen yang sangat membantu negara dengan tingkat pendapatan serta kualitas demokrasi yang rendah. Selain itu, aspek investasi, terutama di sektor publik, juga lebih memberikan respon positif pada keberadaan pinjaman Bank Dunia dibandingkan IMF.
Kembali kepada sosok Sri Mulyani, sebagai mantan “orang dalam” nan penting di Bank Dunia, ia dinilai sangat memahami setiap kata yang tertuang dalam penelitian Butkiewicz di atas.
Strategi peminjaman dana Bank Dunia yang terkesan berangsur-angsur tersebut juga dinilai cukup tepat dibandingkan kepada IMF, meskipun lembaga moneter terakhir menyediakan dana lebih besar plus likuiditas lebih mudah.
Jika mengacu pula kepada intisari tulisan Kreuger sebelumnya, kombinasi problematika semakin minimnya anggaran pemerintah dan urgensi penyediaan bansos serta jaring pengaman sosial lainnya secara tepat di tengah pandemi Covid-19 saat ini juga direfleksikan secara paripurna oleh Sri Mulyani dengan disetujuinya pinjaman dari Bank Dunia.
Dan pada sudut pandang yang berbeda, selain keputusan ciamik dengan memprioritaskan opsi pinjaman dari Bank Dunia dibandingkan dengan IMF, di sisi lain Sri Mulyani juga dinilai secara mendalam menginginkan agar publik memahami dan menyadari satu hal penting.
Hal itu ialah bahwa keputusan ciamiknya tersebut merupakan salah satu upaya kerasnya dalam menepis kontroversi keistimewaannya sebagai salah satu orang penting dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Sri Mulyani dinilai ingin meninggalkan pesan bahwa apa yang ia dan KSSK upayakan dalam mengatur perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 tidak akan sedikitpun berlindung di balik tameng imunitas seperti dalam Perppu – yang sejauh ini telah disahkan namun belum diundangkan tersebut – nyatakan.
Bagaimanapun, keberhasilan berbagai pendekatan opsi pinjaman dana dari lembaga moneter internasional manapun seharusnya memang mengedepankan kemanfaatan yang lebih besar bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kepercayaan harus terus dibangun dan diberikan, masing-masing oleh Sri Mulyani sebagai Menkeu dan masyarakat pada umumnya, dalam upaya bersama komponen bangsa untuk keluar dari dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.