Site icon PinterPolitik.com

Terawan dan Covid-19: Opini dan Kebijakan

Terawan dan Covid-19 Opini dan Kebijakan

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. (Foto: Jawa Pos)

Dalam menangani pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia – khususnya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto – dianggap berupaya untuk menutupi informasi dan menjaga opini publik. Meski begitu, opini publik sebenarnya juga perlu diimbangi dengan kebijakan publik yang tepat.


PinterPolitik.com

Epidemi yang kini telah berubah status menjadi pandemi di Indonesia telah memakan nyawa ratusan jiwa. Meskipun angka ini terlihat kecil dibandingkan negara-negara lain seperti Italia dan Spanyol, penyebaran virus yang biasa disebut virus Corona atau Covid-19 ini tidak bisa dipandang dengan main-main.

Apa yang ia telah sebabkan bagi jalannya negara dan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia cukuplah besar. Pemerintah sendiri sempat dikritik oleh masyarakat karena penanganannya yang dianggap kurang becus, sehingga membuat opini publik kurang percaya terhadap pemerintah.

Pemerintah seharusnya bisa melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menjaga dua hal: penyebaran virus pada taraf sekarang, dan ketenangan publik terhadap krisis ini. Oleh karena itu, mari kita lihat bagaimana pemerintah bisa menentukan apa pernyataan dan kebijakan publik yang tepat untuk dikeluarkan dalam situasi seperti ini.

Berbicara mengenai Covid-19, sepertinya kita sudah tahu ceritanya mengapa virus ini bisa muncul dan menyebar. Berawal di Wuhan pada akhir tahun 2019, pasien pertama melaporkan gejala-gejala pneumonia pada tanggal 1 Desember 2019, dan setelah laporan-laporan yang mirip muncul hingga tanggal 27, seorang dokter bernama Zhang Jixian curiga bahwa gejala-gejala ini asing dan menunjukkan keberadaan suatu virus baru.

Virus ini menyebar tanpa halangan hingga akhir Januari karena otoritas provinsi Hubei membungkam dokter-dokter yang berusaha memberitakan kemunculannya. Meskipun akhirnya pada tanggal 23 Januari kota Wuhan dan 15 kota lainnya di provinsi Hubei dikarantina, reaksi pemerintah sudah terlambat.

Penghuni kota-kota yang dikarantina sudah menyebar kemana-mana. Bukan hanya di dalam Tiongkok, namun juga di seluruh dunia. Dari Korea, Iran, hingga Brazil, sudah ada 160 negara yang terdampak oleh virus ini, termasuk Indonesia.

Indonesia menyambut kedatangan epidemi ini dalam waktu yang cukup terlambat, paling tidak menurut sumber-sumber pemerintah, dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Indonesia baru mengumumkan kasus pertamanya pada tanggal 2 Maret, sementara banyak negara lain di sekeliling Indonesia sudah mempunyai puluhan korban pada bulan Februari.

Padahal, suatu studi yang dipublikasikan pada tanggal 11 Februari oleh sekelompok epidemiolog Universitas Harvard menyatakan bahwa seharusnya sudah ada lima korban di Indonesia bila dilihat dari sejarah penerbangan antara Wuhan dengan Indonesia.

Namun, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto justru menangkis klaim ini sebagai “penghinaan” terhadap Indonesia. Dari sini, kita memasuki dimensi politis dari suatu isu kesehatan.

Sosiolog Franz Magniz-Suseno (1987) menyatakan bahwa legitimasi dari rakyat diperlukan apabila seorang atau sekelompok penguasa hendak melaksanakan wewenang mereka. Legitimasi, khususnya dari rakyat, dapat didefinisikan menjadi kepercayaan terhadap penguasa dan kemauan untuk tunduk kepada penguasa tersebut oleh masyarakat.

Magniz-Suseno menamainya sebagai legitimasi sosiologis. Untuk mendapatkan keabsahan ini, si penguasa harus pintar dalam dua hal: memainkan opini publik dan menentukan kebijakan apa yang pas bagi kondisi yang ada. Kedua hal ini saling berkaitan dalam arti bila satu sisi tidak mendapat perhatian, maka kesan penguasa yang terkait akan buruk di hadapan masyarakat, dan hal ini tentunya buruk bagi jabatannya maupun kestabilan negara, khususnya dalam negara demokratis.

Melihat situasi opini publik yang sedang panik, kita bisa memandang bahwa Indonesia sedang berada dalam suatu krisis. Krisis, menurut Fener dan Cevik (2015), adalah situasi yang tidak terprediksi sebelumnya dan mengganggu aktivitas normal sehingga memerlukan solusi yang cepat dan efektif melalui manajemen krisis.

Setelah melihat bagaimana teori kenegaraan berhubungan dengan ilmu manajemen dalam konteks kepanikan Covid-19, kita bisa mulai menganalisis perilaku pak Terawan yang sebelumnya disebutkan.

Dengan meragukan keras temuan para ahli Harvard, Terawan dengan lantang berusaha untuk meyakinkan masyarakat Indonesia kalau Indonesia masih aman dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hal ini tentunya tidak masalah, karena kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat sama-sama untung.

Masyarakat dapat melakukan aktivitasnya dengan normal, optimis terhadap masa depan, dan pemerintah tidak perlu takut terhadap perilaku masyarakat ketika mereka sadar akan kedatangan suatu krisis, seperti penimbunan barang penting untuk aksi-aksi oportunistis, tingkah laku yang berefek buruk pada ekonomi Indonesia. Apalagi, Terawan ini adalah seorang dokter yang berposisi sebagai Menteri Kesehatan dalam pemerintahan. Tentu, kata-katanya dinilai bisa dipercaya.

Namun, opini publik tidak sepenuhnya bersadar pada ucapan Terawan.  Ada beberapa orang yang skeptis dan menilai bahwa entah fasilitas kesehatan Indonesia luput dalam mendeteksi pembawa virus, atau pemerintah Indonesia sengaja menyembunyikan fakta tersebut. Kritik ini, meskipun jika memang belum ada indikasi Covid-19 di Indonesia, tetap memiliki substansi.

Melihat pengalaman negara lain, pemerintah harus tetap waspada akan kemungkinannya masuk ke Indonesia dan penyebarannya yang seperti api liar. Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah Iran dan ketidakmampuan Italia untuk menjaga ketenangan publik sudah membuat rakyat negara tersebut sangat rawan terhadap penyebaran Covid-19, dan tentunya pemerintah kita tidak menginginkan hal tersebut.

Worst case scenario-nya bukanlah fakta bahwa akan banyak korban berjatuhan akibat Covid-19, melainkan apabila karena wabah tersebut terjadi perlambatan ekstrim kegiatan ekonomi dan amukan publik terhadap pemerintah karena dianggap melakukan mismanajemen, yang berefek pada kestabilan negara, dan pada akhirnya ekonomi negara itu sendiri. Namun, bagaimana pengalaman Indonesia ketika terjangkit Covid-19?

Sebelum hari-H dua korban itu muncul, pemerintah Indonesia terlihat kurang melakukan persiapan untuk menghadapi virus ini.  Lalu, virus pun melanda, dan panik mulai menggerogoti masyarakat dimana-mana.

Panic buying terjadi, masker dan alat kesehatan habis di pasar swalayan mana-mana. Sekolah, universitas, instansi pemerintah diliburkan dengan kita mahasiswa harus menjalani kuliah melalui media daring. Pemerintah sudah mengimbau supaya masyarakat tetap berada di rumah dan supaya mereka mengikuti prosedur kesehatan yang ada.

Masyarakat menganggap bahwa pemerintah seharusnya menerapkan pengecekan masal atau lockdown. Media-media luar pun mulai mengkritik akan ketidaksiapan pemerintah indonesia.

Koresponden Asia Tenggara, James Massoula, dari sebuah koran Australia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia terlalu fokus pada ekonomi, dan bahkan menahan informasi meninggalnya seorang turis akibat infeksi covid-19 selama 8 hari. Selain itu, ada thread twitter viral yang membeberkan keterpurukan fasilitas dan pelayanan kesehatan terhadap suspect covid-19.

Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai pak Jokowi kurang serius dalam merespons pandemi ini. Hal-hal tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak siap menangani wabah ini, dan respon pemerintah bisa dinilai cukup terlambat.

Test kits dan obat-obatan baru saja dibeli dan diedarkan secara masif. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun menyatakan kalau staf rumah sakit masih kekurangan alat pelindung diri (ADP) untuk memeriksa pasien, padahal mereka adalah garda terdepan.

Inilah pentingnya keseimbangan antara opini publik dan kebijakan yang menyertainya. Bila kita menyetir opini publik pada suatu tempat yang aman, maka kita harus bisa mempertanggungjawabkan pernyataan kita apabila situasi mulai terlihat bertambah buruk.

Saya tidak menyalahkan pemerintah apabila mereka menahan informasi mengenai Covid-19 supaya tidak muncul kepanikan publik. Karena pada akhirnya, Indonesia masih ada pada kategori negara berkembang. Opini publik yang saya singgung tadi kebanyakan dari mereka yang mempunyai akses berita yang mudah, berbeda dengan mereka yang di bawah, yang lebih memikirkan keluarganya daripada membayar test kits di rumah sakit.

Bila lockdown dilaksanakan misalnya, masyarakat yang kurang mampu akan kesusahan untuk mendapatkan kebutuhannya seperti biasa, dan dari sini bisa saja muncul kemarahan tersendiri yang lagi-lagi berefek pada stabilitas.

Kebingungan pemerintah dalam bereaksi cukup terjustifikasi bila dilihat dari kacamata sosiologi. Keberadaan kesenjangan ekonomi membuat eksposisi pada informasi yang berbeda pada tiap tingkatan kesejahteraan, yang pada akhirnya memunculkan respon yang berbeda dari kelompok-kelompok terkait. Pemerintah kurang bisa menggodok suatu respon terkoordinasi dari keseluruhan elemen masyarakat karena interest yang berbeda-beda.

Publik pun sebenarnya masih banyak yang bersifat acuh tak acuh dan masih melakukan kegiatannya seperti biasa karena imbauan pemerintah tidak bersifat memaksa. Ada tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk meyakinkan rakyat kalau mengkarantina diri sendiri itu lebih baik daripada bepergian selagi libur bila tidak ada pemberlakuan lockdown, walaupun situasi di Indonesia saya asumsikan tidak separah Iran dimana warganya justru pergi liburan di tengah maret.

Intinya adalah, dalam negara demokrasi, pemerintah tidak bisa mengeluarkan kebijakan publik dengan semena-mena tanpa persetujuan publik. Di sisi lain, pemerintah juga telah melakukan blunder dari sisi kesehatan dan pencegahan Covid-19 yang menyebabkan penambahan jumlah pasien positif yang cukup cepat.

Boleh jadi, pemerintah tidak memandang kalau kesehatan rakyat harus dijaga karena kebutuhan opini publik saja, melainkan karena ia merupakan aset penting bagi negara jika ekonomi ingin dijalankan dengan stabil kembali. Oleh karena itulah pemerintah sudah memberikan bantuan bagi masyarakat, dari pembagian masker gratis bagi warga desa, pembelian obat penyembuhan Covid-19, hingga pelayanan gratis bagi pasien penderita covid-19 di seluruh Indonesia sesuai dengan pernyataan direktur BPJS. Namun, patut disoroti juga kurangnya kualitas dan pengadaan fasilitas kesehatan di beberapa daerah, seperti Papua, dan fakta bahwa pasien positif Covid-19 masih bertambah sampai sekarang.

Krisis global ini menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam bagaimana sehendaknya mereka menyeimbangkan pernyataan mereka di media dengan kebijakan publik yang tanggap dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah harus bisa menyetir opini publik sesuai dengan kebutuhan saat itu.

Bila pemerintah ingin masyarakat kalem dalam menghadapi Covid-19, maka buatlah pernyataan yang jelas dan terjustifikasi sehingga masyarakat percaya dan tidak mengacaukan keinginan pemerintah yang secara fundamental merupakan stabilitas negara. Jangan sampai penyetiran tersebut justru membawa ketidakpercayaan dari masyarakat.

Karena masyarakat dalam negara demokratis lebih bebas berpendapat dan lebih kritis, maka opini publik harus disetir sesuai dengan kondisi sosial yang ada, tidak menyalahi logika dan fakta, serta memperhatikan aspek kebijakan publik yang akan dibawa setelahnya.

Dari sisi kebijakan publik, wabah Covid-19 membawa pelajaran dari segi kesehatan. Kesehatan adalah aspek yang tak kalah penting dari pendidikan maupun infrastruktur bagi jalannya suatu negara. Sampai sekarang, fasilitas kesehatan di Indonesia memang masih mengalami kekurangan dari segi kualitas dan pengadaan.

Untuk mencegah kedatangan infeksi masal seperti ini lagi, atau penyakit biasa, pemerintah bisa meratakan kualitas dan pengadaan fasilitas kesehatan di seluruh daerah Indonesia., termasuk BPJS Kesehatan. Bahkan, kalau bisa, coba naikkan bagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk riset yang sekarang masih 0,02% dari total pendanaan sehingga riset dalam dunia perobat-obatan bisa lebih mudah dilakukan.

Saya tahu mungkin saya dianggap menggampangkan kerumitan birokrasi dan opportunity cost yang harus dikeluarkan, tetapi ini adalah salah satu keresahan saya yang patut dipertimbangkan.

Tulisan milik Immanuel Hugo Setiawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Diponegoro.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version