Site icon PinterPolitik.com

Taktik Jokowi Pinjam Dana IMF?

Presiden Jokowi saat berpidato pada agenda tahunan IMF 2018.

Presiden Jokowi saat berpidato pada agenda tahunan IMF 2018. (Foto: katadata.co.id)

Setelah mendapat keluhan dari beragam kalangan, khususnya pengusaha dikarenakan kurangnya stimulus ekonomi Covid-19, pemerintah kemudian mulai menghimpun dana pinjaman dari berbagai lembaga moneter internasional. Apakah International Monetary Fund (IMF) akan menjadi salah satunya?


PinterPolitik.com

Siraman stimulus ekonomi Covid-19 Indonesia jilid terakhir sebesar Rp 405,1 triliun, dinilai belum membasahi seluruh sektor yang kering kerontang imbas pandemi. Tak ayal, teriakan sektor-sektor yang masih kekurangan serta belum “kebagian,” semakin terdengar ke permukaan.

Jika kita tengok ke belakang sejenak, sempat ada miskalkulasi strategi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memberikan stimulus jilid pertama dan kedua pada dua aspek yang dinilai melenceng dari relevansinya.

Dua stimulus berupa insentif diskon tiket pesawat dan insentif gratis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) kepada pekerja industri manufaktur, kemudian menjadi dua variabel pendukung yang menasbihkan kelalaian pemerintah dalam menghadapi Covid-19.

Terkini, sepertinya pemerintah mulai sibuk mencari pinjaman dana talangan untuk penanganan Covid-19. Setelah pada akhir pekan lalu Asian Development Bank (ADB) sepakat menyuntikkan US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 23 triliun, di Senin pertama bulan Ramadan ini Presiden Jokowi mengutus Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk “mendekati” Islamic Development Bank (IsDB) agar bersedia meminjamkan dana sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,89 trilun.

Secara akumulatif, sumber dana dalam negeri yang berusaha dihimpun pemerintah sendiri bertambah dari update realokasi anggaran Lembaga/Kementerian, Sisa Anggaran Lebih (SAL): Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA), hingga anggaran infrastruktur dasar Ibu Kota Baru.

Memang bisa dipastikan bukan hanya Indonesia yang mengalami kanker atau kantong kering dalam penanganan Covid-19. Namun, jika berkaca pada negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Australia misalnya. Ketiga negara tersebut tegas sejak awal menetapkan stimulus ekonomi Covid-19 di atas 10% Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing dan sejauh ini dinilai membantu stabilitas ekonomi mereka.

Presentase stimulus ekonomi Covid-19 Indonesia sendiri terhadap PDB hanya sebesar 2,5%. Hal ini tentu agak mengherankan ketika berada di titik temu fakta bahwa saat ini Presiden Jokowi tengah mengupayakan pinajaman internasional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian pertanyaan menarik mengemuka, tentang apakah angka yang hanya sebesar 2,5% dari PDB Indonesia benar-benar tidak bisa digandakan? Atau memang cadangan pendanaan lainnya telah benar-benar habis?

Defisiensi Dini

David A. McEntire dalam publikasi berjudul “Issues in Disaster Relief: Progress, Perpetual Problems and Prospective Solutions” menemukan fakta bahwa dari semua area studi, ketika terjadi krisis atau bencana, tidak ada yang lebih konklusif daripada ketidakcukupan kuantitas bantuan berupa dana, terutama di negara-negara berkembang.

Pernyataan McEntire tersebut nyatanya saat ini bahkan telah menjadi keresahan penggemar belanja atau shopaholic daring tanah air, ketika situasi paceklik keuangan negara akibat pandemi Covid-19. Hal ini menyusul rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas aktifitas pembeliaan barang/jasa secara digital sebesar 10% dari harga beli.

Itu baru dari sisi konsumen. Pengusaha, melalui Kamar Dagan dan Industri (Kadin) dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Senin kemarin melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Mereka mengeluhkan kurangnya stimulus yang dirasakan pengusaha, sehingga kemungkinan para produsen hanya dapat bertahan maksimal selama lima bulan ke depan.

Nada sinkron turut pula disampaikan oleh Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani yang menyatakan bahwa seharusnya stimulus bisa dianggarkan sebesar Rp 1.600 triliun atau setara 10% dari PDB. Pemerintah dinilai harus terus menyesuaikan dinamika yang ada agar pelaku usaha dapat bertahan dan tak tumbang hingga pandemi berakhir.

Di sisi lain, komponen stimulus berupa Jaring Pengaman Sosial juga terindikasi kurang mencukupi serta tidak merata penyalurannya. Tentu publik familiar dengan aksi berani “berteriak” ala Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Salim Landjar. Jika didalami, konteks permasalahannya dinilai tidak hanya soal tumpang tindih birokrasi pemerintah pusat, tetapi juga kuantitas bantuan yang tak memadai.

Pihak manapun dipastikan benci untuk mengakui bahwa perekonomian negara, yang mulai terasa hingga individu, saat ini sedang terhantam keras akibat pandemi Covid-19. Performa sumber pendapatan negara seperti produksi, ekspor, hingga pajak terus menggoreskan kurva penurunan. Hal ini tentu dinilai akan menjadi bahaya tersendiri jika tidak ditangani dengan tepat atau bahkan terlambat ditangani.

Lantas, IMF yang beberapa waktu lalu telah menyiapkan dana pinjaman cepat dengan bunga yang rendah sebesar Rp 705 triliun untuk penanganan Covid-19, mungkinkah Presiden Jokowi dalam waktu dekat akan “mengebon” dana yang dianggap lebih besar dan mudah untuk dicairkan dari IMF ?

Terlebih lagi, pada krisis moneter 1998 dulu, pemerintah juga meminjam dana dari IMF karena tengah membutuhkan suntikan dana cepat untuk memperbaiki kondisi ekonomi.

IMF adalah Koentji?

Dana segar nan menggugah negara-negara yang sedang kesulitan dana saat pandemi Covid-19 ini telah dikemas oleh IMF dalam paket-paket menarik. Selain variasi nominal, tenor, dan pengembalian, kemudahan pencairan dana atau disbursement semakin menjadi daya pikat bagi calon debitur.

Stephanie Rickard dalam jurnalnya yang berjudul “International Negotiations in the Shadow of National Elections” menyatakan bahwa negara harus punya kekuatan tawar atau bargaining power tersendiri dalam negosiasi dengan IMF agar mendapatkan kesepakatan yang baik atau “better deal.”

Negosiasi yang dikemukakan Rickard tersebut memang menjadi perhatian sejak lama dari negara-negara di dunia sebelum mengajukan pinjaman dana kepada IMF. Selain berupa bunga, setiap negara juga dibebankan syarat tertentu dibalik sebuah paket pinjaman dana besar, terutama terkait penyesuaian kebijakan nasional yang harus selaras dengan kaidah IMF Policy Advice, dan IMF Letter of Intent (LoI).

Di Indonesia sendiri, sentimen negatif telah terdoktrin pada sebagian pihak atas pinjaman IMF. Memori bantuan IMF pada krisis 1998 lalu sepertinya meninggalkan kesan bahwa timbal balik bantuan IMF dinilai merugikan karena erat dengan pencabutan subsidi, privatisasi, perdagangan bebas, dan pembatasan intervensi negara dalam ranah ekonomi.

Sementara di sisi lain, publikasi berjudul “How Do Member Countries Receive IMF Policy Advice: Results from a State-of-the-art Sentiment Index” yang ditulis Ghada Fayad menambahkan perspektif bahwa meskipun negara memahami pentingnya adopsi standar kebijakan yang ditetapkan oleh IMF, implementasinya sangat sulit dilakukan secara politis, karena utamanya terkait dengan regulasi nasional.

Dari apa yang Rickard dan Fayad kemukakan itu, telah sedikit menyingkap tirai dibalik minimnya intensitas dan frekuensi pinjaman dana internasional yang dilakukan Indonesia demi penanganan Covid-19 sejauh ini. Diketahui sampai saat ini Indonesia baru meminta bantuan ADB dan IsDB dengan total pinjaman maksimal yang bisa diperoleh hanya sekitar Rp 27 triliun.

Ketika paket bantuan dana dari IMF di kejauhan dikaitkan dengan gelagat meminjam dana yang bersifat sedikit demi sedikit tersebut, hal ini disinyalir mengindikasikan ada situasi yang berusaha diputarbalikkan. Penguluran waktu dinilai hanya sebagai upaya Presiden Jokowi menunggu momentum hingga bantuan IMF menjadi opsi terakhir dan yang paling masuk akal satu-satunya.

Berdasarkan poin yang ditulis Fayad, hal ini dikarenakan terdapat secercah peluang bagi Presiden Jokowi untuk mempercepat terciptanya beberapa regulasi nasional yang mendapat resistensi publik dan saat ini masih mandek di Senayan. Dari lima belas Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas yang diusulkan pemerintah pada tahun 2020, yang terkait Cipta Kerja, Perlindungan Data Pribadi, hingga RKUHP saat ini masih buntu karena mendapatkan kritikan keras dari publik.

Dengan taktik ulur waktu dan menjadikan opsi bantuan IMF sebagai pilihan terakhir atau last resort, disinyalir ada hasrat untuk mengetok palu berbagai regulasi secara cepat, tanpa resistensi berarti, dengan dalih menyesuaikan IMF Policy Advice dan IMF Letter of Intent (LoI). Dalam hal ini, semua pihak dinilai akan “digiring” pada situasi tertentu terlebih dahulu, di mana uluran tangan IMF dengan segala konsekuensinya, suka atau tidak, akan diterima.

Pengalaman masa lalu sayangnya turut pula mendukung sinyal ini, ketika bantuan dana kepada Indonesia pada krisis 1998 yang telah sangat terlambat, harus disesuaikan pemerintah dengan mengebut berbagai regulasi yang disyaratkan IMF dalam jangka waktu hanya 3,5 bulan.

Bagaimanapun, demikianlah interpretasi awal dari isyarat manuver Presiden Jokowi yang seolah ragu untuk berhutang dan masih enggan menjalin koneksi dengan IMF. Bagaimanapun satu terdapat fakta bahwa saat ini IMF masih merupakan salah satu dari tiga besar lembaga moneter internasional yang konsisten menyediakan dana penyelamat bagi Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version