Bu, akuilah kalau daya beli rakjat memang sedang lesu.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ata Bu Sri, tutupnya beberapa gerai ritel yang sempat menghebohkan Jakarta, ternyata bukan disebabkan daya beli turun, tapi karena banyak yang memilih nabung. Bu Sri lihat tabungan orang kaya makin bertambah soalnya. Nah, kalau untuk orang-orang jelata macam kita ini, bagaimana Bu? Jangankan nabung, bisa bayar hutang saja sudah untung.
Saat minimarket tutup dan buka suara soal penurunan laba, kini alasan baru dipakai, rakjat beralih ke lapak online. Lucunya, waktu yang punya lapak bersuara, mereka bilang: omzet kita turun, bosque. Nah loh.
Ya, gimana nggak mau turun omzetnya. Barang nggak ada, impor borongan sudah berbulan-bulan tersendat, malah sempat red light. Belum lagi bea impor yang makin nggak keru-keruan. Makanya kalau yang jual barang, harganya pasti mahal. Kalau sudah begitu, siapa yang mau beli?
Lesu! Ohya, ini bukan celotehan saya lho, tapi dari AC Nielsen dan Badan Pusat Statistika (BPS). Artinya daya beli memang turun, baik dengan data statistika atau tidak. Kalau kesehatan ekonomi negeri diukur dari tabungan horang-horang khayah yang minimal punya tabungan Rp. 5 miliar. Dibandingkan nilai itu, rakjat ketjil hanya seperti lipatan ketek Papa.
Mengakui kalau bisnis ritel bertumbangan karena adanya pelemahan daya beli rakjat tak berdosa, kok. Justru sikap yang lapang dada. Kalau terus-terusan menepisnya, yang ada, Bu Sri yang mantan jawara Bank Dunia ini sudah bukan pede lagi, tapi kepedean. Ingat Bu Sri, biasanya orang yang kepedean, berakhir malu-maluin.
Kita juga perlu ngaku, kalau memang penggerak ekonomi kita adalah hedon-hedonan. Jadi keinginan jajan untuk kelihatan gaya, gaul, dan asyik sebetulnya masih jadi impian masyarakat kelas menengah kita yang terhormat. Tapi sayangnya, industri kita tidak tumbuh, lho. Bahkan minus. Di sini juga lah sebetulnya para horang-horang khayah ndak tahu mau belanja kemana.
Yah, mau bagaimana lagi? Di Indonesia, sektor paling subur memang cuma konsumsi saja, lho. Inilah miracle of Indonesia alias keajaiban perekonomian: hedonisme. Di tengah ancaman krisis seperti saat ini, lebih baik Bu Sri tak perlu kembali menghantam industri, apalagi rakjat dengan berbagai macam regulasi dan birokrasi yang njelimet dan aneh-aneh. Kalau tidak ya, good bye.
Nah, itu buat kalangan pemilik tabungan minimal Rp. 5 milyar. Untuk kelompok rakjat lain gimana? Haruskah kita mulai tanam ubi? Wah, ubi rebus dikasih gula pasir, lalu tiwul dengan ikan asin sepertinya bisa asyik juga!
Eh, tapi tunggu dulu, penghasil ikan asin sudah benar-benar sehati dari kelangkaan garam belum, ya? Mereka sudah pede belum, ya? Kasih pede-nya buat mereka sedikit dong, Bu Sri (A27)