Tiga Masalah Utama Penyebab Potensi Gagalnya Proyek PLTGU Jawa 1.
pinterpolitik.com – Senin, 16 Januari 2017.
JAKARTA – Ramainya pemberitaan mengenai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 1, akhir-akhir ini, membuat publik menduga-duga apa penyebab belum disepakatinya perjanjian jual-beli listrik antara konsorsium Pertamina dan PLN, yang seharusnya ditandatangani pertengahan Desember 2016.
Kabar PLN akan membatalkan proyek independent power producer (IPP) Jawa 1 ini membuat publik menerka apakah memang proyek tersebut tidak dibutuhkan. Dengan kata lain, apakah tambahan 1.600 megawatt dari proyek ini memang tidak diperlukan lagi? Atau karena adanya intervensi politik, isu bankability, atau alotnya negosiasi kedua pihak, karena tidak dapat menyepakati isu-isu teknis komersial, sebagaimana diberitakan media massa.?
Apabila didalami lebih jauh, mandeknya proyek PLTGU Jawa 1 mengerucut pada dugaan tiga penyebab utama. Pertama, proyek tersebut tidak diperlukan lagi. Jika hal ini benar maka telah terjadi kesalahan dalam perencanaan dan miskoordinasi antara PLN dan Kementrian ESDM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas program ketenagalistrikan nasional, terutama program pembangunan pembangkit 35.000 mw.
PLN tentunya harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada publik. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan memobilisasi sumber daya yang diperlukan, baik bagi pihak PLN, pemerintah, peserta tender, dan semua yang terlibat, tentunya sangatlah besar.
Kedua, permasalahan bankability yang sepenuhnya tanggung jawab PLN. Pertanyaanya, apakah PLN sudah mempersiapkan serta mengkaji dengan cermat dan matang mengenai filosofi dan konsep tender IPP Jawa 1 ini? Bagaimana bisa PLN menyelenggarakan tender proyek senilai USD 2 miliar, yang dari awal sudah diindikasikan tidak bankable? PLN diduga tidak sensitif dan abai terhadap isu paling fundamental ini.
Jika benar salah satu elemen penting bankability yang tidak dipenuhi PLN adalah jaminan atau kepastian pasokan liquefied natural gas (LNG) untuk pembangkit yang merupakan tanggung jawab PLN, sebagaimana diperkirakan pengamat energi, maka hal ini harusnya diselesaikan dahulu oleh PLN dan dipastikan bahwa terdapat kecukupan pasokan gas atau LNG selama 25 tahun umur proyek. Kompetensi penyelenggara tender dan koordinasi internal PLN kemudian harus dipertanyakan.
Ketiga, persoalan teknis komersial. Perlu dipertanyakan apakah mekanisme penyelenggaraan tender serta klausul-klausul dalam dokumen tender/request for proposal atau secara umum disebut terms & conditions telah menganut prinsip-prinsip praktik bisnis yang sehat dan berlaku serta diakui di industrinya.
Dengan kata lain, apakah terms and conditions tersebut mengacu kepada praktik bisnis yang diakui secara umum (prinsip-prinsip best practices). Dikhawatirkan bahwa PLN sebagai BUMN masih mempunyai mentalitas superior terhadap para mitra bisnisnya.
Dikemukakan, jika memang terjadi permasalahan di area ini, di mana sejak awal sudah cacat lahir dan tidak rasional sehingga proyek tidak workable secara teknis dan komersial, maka hal ini menjadi semakin kompleks karena tentunya akan berpengaruh kepada keekonomian proyek, bahkan mungkin menjadi proyek yang merugi.
Dari keseluruhan isu di atas, maka harus ditarik sebuah rasionalitas, yatu jika proyek ini masih benar-benar diperlukan, dan merupakan bagian penting dari program kelistrikan nasional, maka harus ada yang berbesar hati untuk menyelamatkan proyek ini, mengingat ternyata masih terdapat masalah penting lainnya, yaitu bankability dan komersial di mana negosiasi kedua pihak masih alot.
Melihat gelagat bahwa PLN cenderung ingin membatalkan proyek ini sementara program 35.000 mw harus tetap berjalan, maka yang harus berbesar hati dan berkorban tentunya adalah konsorsium Pertamina. Kepemimpinan Pertamina dalam menyelesaikan dua isu tersisa ini serta dalam mengelola konsorsium serta para mitranya tentunya akan diuji. (W20/E19)