Site icon PinterPolitik.com

Setelah Kang Chol “Persona Non-grata”

Setelah Kang Chol “Persona Non-grata”

Foto: www.straitstimes.com

Dengan status demikian, Kang Chol dilarang memasuki dan tinggal di Malaysia. Ini adalah bentuk paling serius dari sikap ketidaksetujuan suatu negara terhadap diplomat. Secara harfiah “persona non-grata” bermakna “orang yang tidak disenangi”.

pinterpolitik.com

[dropcap size=big]H[/dropcap]ubungan diplomatik antara Malaysia dan Korea Utara makin panas terkait dengan kasus pembunuhan Kim Jong Nam, saudara tiri Presiden Kim Jong Un, di Bandara Internasional Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu. Insiden terbaru, Pemerintah Malaysia mengusir Duta Besar Korut, Kang Chol.

Pengusiran itu dipicu oleh pernyataan Kang Chol, yang menuduh Malaysia bersekongkol dengan kekuatan asing untuk menyudutkan Korea Utara. Tindakan yang diambil oleh Malaysia itu diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Malaysia, Sri Anifah Haji Aman, dalam keterangan pers, Sabtu (4/3/2017). Malaysia menggunakan istilah persona non-grata terhadap Kang Chol.

Malaysia meminta Kang Chol meninggalkan Malaysia dalam jangka waktu 48 jam terhitung  4 Maret 2017 pukul 18.00 waktu setempat. Sebelumnya, Malaysia mengundang Dubes Korut itu menemui Deputi Sekretaris Jenderal untuk Hubungan Bilateral Kementerian Luar Negeri, Raja Nushirwan bin Zainal Abidin, pada 4 Maret pukul 18.00. Tetapi, Kang Chol tak kunjung datang.

Menurut Menlu Malaysia, pihaknya telah menjadwalkan pertemuan dengan Delegasi Tingkat Tinggi Republik Demokratik Rakyat Korea yang dipimpin Kim Song, pada 28 Februari 2017. Malaysia menuntut permohonan maaf dari Korea Utara terkait tuduhan Kang Chol bahwa Malaysia bersekongkol dengan pihak lain dalam investigasi kasus kematian Kim Jong Nam.

Namun, pada 28 Februari itu tak seorang pun warga Korea Utara yang datang memenuhi undangan tersebut. Malaysia masih menunggu sampai empat hari, tapi permintaan maaf dari Korut tak kunjung disampaikan. Dengan alasan ini, Duta Besar Korut dinyatakan “persona non-grata”, kata Anifah.

Dengan status demikian, Kang Chol dilarang memasuki dan tinggal di Malaysia. Ini adalah bentuk paling serius dari sikap ketidaksetujuan suatu negara terhadap diplomat. Secara harfiah persona non-grata bermakna “orang yang tidak disenangi”. Seorang yang telah dideklarasikan dengan status  semacam itu oleh negara tuan rumah berati dilarang memasuki atau tinggal di negara itu. Itu bentuk paling serius dari sikap ketidaksetujuan yang bisa dilakukan negara terhadap diplomat.

Anifah mengatakan, Malaysia akan menanggapi keras terhadap segala bentuk pelecehan melawan atau segala bentuk usaha menodai reputasi negaranya.

Ia pun melanjutkan, langkah ini  bagian dari proses Pemerintah Malaysia untuk meninjau kembali hubungan dengan Republik Demokratik Rakyat Korea.

 

Tuduhan Tak Beralasan

Memanasnya hubungan diplomatik kedua negara dapat pula dilihat dari pernyataan Wakil Perdana Menteri Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, pada Jumat (24/2). Ketika itu, Zahid Hamidi mengatakan, Malaysia akan meninjau ulang hubungan diplomatik dengan Korea Utara terkait kasus pembunuhan Kim Jong-nam, setelah Kang Chol, menuduh Malaysia berkolusi dengan Korea Selatan dalam menyelidiki kematian Kim Jong Nam.

Menurut Wakil PM Malaysia, tuduhan itu tidak beralasan, karena pihaknya  telah bersikap profesional dalam proses penyelidikan. Malaysia tidak berkolusi dengan negara atau organisasi manapun atas kematian Kim Jong-nam.

Ia mengatakan, profesionalisme Malaysia dalam penyelidikan tidak perlu dipertanyakan.  Malaysia memiliki beberapa undang-undang untuk memastikan penyelidikan berlangsung dengan baik, seperti KUHAP dan Pencegahan Tindak Pidana.

“Jangan gunakan serangan psikologi terbalik kepada kami. Malaysia tidak ingin bermusuhan dengan negara manapun. Silakan menggunakan bahasa diplomatik,” kata Zahid.

 

Kebijakan Bebas Visa

Perkembangan berikutnya, Wakil PM Ahmad Zahid Hamidi, mengatakan, Pemerintah Malaysia mengakhiri kebijakan bebas visa dengan Korea Utara. Tindakan itu diambil Malaysia setelah memburu beberapa warga Korut yang jadi tersangka dalam pembunuhan  Kom Jang Nam.

Zahid mengatakan, aturan baru tersebut akan diberlakukan bagi seluruh warga Korea Utara yang akan memasuki Malaysia. Menurut kantor berita Bernama, peraturan tersebut akan berlaku efektif mulai, Senin, 6 Maret 2017.

Hubungan diplomatik Korea Utara dan Malaysia berjalan sejak 1970. Kedua negara memiliki hubungan dagang, anatara lain, mata dagangan minyak sawit dan baja. Pada 2003, Korut membuka Kedutaan Besar di Malaysia.

Kim Jong Nam meninggal, Senin, 13 Februari 2017, di Bandara Internasional Kuala Lumpur pada saat menunggu pesawat menuju Makau, tempatnya selama ini. Berdasarkan hasil penyelidikan Kepolisian Malaysia, Jong Nam tewas diduga terpapar gas beracun VX.

Lee Il-Woo, analis pertahanan Korsel di lembaga swasta, Korea Defence Network,  Jumat (24/2), mengatakan, Korut diyakini memiliki persediaan VX dalam jumlah besar, yang dapat dengan mudah diproduksi dengan biaya rendah.

Kementerian Pertahanan Korsel dalam laporannya, Defence White Paper,  pada  2014 menyatakan, Korut mulai memproduksi beberapa senjata kimia pada 1980-an. Diperkirakan Korut memiliki cadangan senjata kimia sekitar 2.500 hingga 5.000 ton.

Tiga orang yang diduga terkait dengan pembunuhan Jong Nam ditangkap oleh Kepolisian Malaysia. Dua di antaranya perempuan, Siti Aisyah, berpaspor Indonesia, dan Dong Thi Huong, berpaspor Vietnam, serta seorang warga Korut.

Belakangan, warga Korut yang ditahan, Ri Jong-Chol, dibebaskan karena tidak terbukti terkait dengan pembunuhan Jong Nam. Sementara Aisyah dan Dong kini menghadapi persidangan di Malaysia.

Kepolisian Malaysia masih memburu beberapa orang lagi warga Korut, yang juga diduga terkait dengan kematian Jong Nam. Sejak beberapa hari lalu, otoritas Malaysia telah meningkatkan pemeriksaan keamanan di seluruh perbatasan untuk mencegah kaburnya beberapa warga Korut yang diduga terlibat pembunuhan Jong Nam.

Menurut Kepala Kepolisian Malaysia, Khalid Abu Bakar, Jumat (3/3), pengetatan pemeriksaan keamanan dilakukan di semua pos pemeriksaan perbatasan, termasuk di dermaga, bandara, dan rute-rute darat.

Khalid mengatakan, setidaknya dua di antara kedelapan warga Korut itu diyakini masih berada di Malaysia. Ia  tidak menyebut nama keduanya. Namun, Kepolisian Malaysia mengatakan, pihaknya ingin menginterogasi Hyong Kwang-Song, diplomat di Kedutaan Korut di Kuala Lumpur, dan Kim Uk-Il, staf di maskapai Korut, Air Koryo.

Ia mengatakan, Kwang-Song belum menghubungi kepolisian meski surat pemanggilan telah dikirimkan ke Kedutaan Korut. Surat perintah penangkapan pun telah dikeluarkan untuk staf maskapai Air Koryo, Kim Uk-Il, yang “kini juga menghilang.”

Sedangkan empat warga Korut lainnya diyakini telah meninggalkan Malaysia pada hari pembunuhan Jong Nam. Kepolisian Malaysia telah meminta bantuan dari Kepolisian Internasional, Interpol, untuk menangkap mereka.

 

Gunakan Bahasa Diplomatik

Status persona non-grata Dubes Korut, pengakiran kebijakan bebas visa, serta pengetatan keamanan di semua pos perbatasan Malaysia – Korea Utara, jelas sebagai pertanda meruncingnya hubungan kedua negara. Makin memburuknya hubungan itu, yang hanya dalam waktu singkat sejak kematian Jong Nam sampai kini, tentu mengkhawatirkan negara-negara tetangga.

Supaya “tensi” dapat diturunkan pelan-pelan diharapkan pejabat kedua negara menggunakan bahasa diplomatik dalam mengomentari permasalahan, sehingga tidak sampai menimbulkan ketidaksukaan salah satu pihak. Sebaiknya pula, kedua negara menempuh jalan berunding dalam memecahkan masalah yang amat peka itu.

Dari sudut hukum, dapat dimengerti mengapa Pemerintah Malaysia bersikokoh mengautosi dan memeriksa DNA Jong Nam untuk dicocokkan dengan DNA salah satu keluarganya, karena lokasi kejadian berada  di wilayah mereka.

Mengingat Malaysia sebagai anggota, tentu  secara dekat ASEAN  mencermati perkembangan antara Malaysia dan Korea Utara dengan sikap was-was sambil berharap masalah hubungan kedua negara sebagai buntut dari kematian Jong Nam dapat diselesaikan secara-baik-baik. Apalagi dua tersangka berasal dari negara yang juga anggota ASEAN, yakni Indonesia dan Vietnam. Jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah tetap lebih baik. (Beberapa sumber/E-19).

Exit mobile version