“Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan.” ~Pramoedya Ananta Toer
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]andiaga Uno mengaku sedang dirundung perasaan gundah gulana untuk menghadapi cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin di debat Pilpres 2019 tanggal 17 Maret mendatang. Kenapa?
Status Ma’ruf yang merupakan seorang ketua Majelis Ulama Indonesia dan ulama yang disegani membuat Sandiaga enggan untuk tampil all out di debat cawapres 17 Maret mendatang. Konon, seorang Sandiaga sudah diajarkan untuk selalu mendengarkan dan manut dengan apa yang dikatakan ulama. Tidak boleh membantah. Dan itu sudah menjadi prinsipnya.
Kalau hal itu benar terjadi, kebayang tidak akan seperti apa debat cawapres nanti? Ya, sudah dipastikan akan melempem dan bikin ngantuk. Kurang gereget.
Padahal waktu debat perdana, Sandiaga terlihat menjadi sosok yang gemilang. Paling percaya diri dan nggak malu-maluin. Melawan Ma’ruf Amin tentu bisa menjadi momentum untuk mengekspos ketampanan dan kepiawaian Sandiaga dalam berbicara. Terus kenapa sekarang Sandiaga harus merasa galau?
Apakah Sandiaga lupa, maksudnya diadakan debat cawapres itu bukan untuk menjadi ajang saling menjatuhkan, tetapi untuk menyampaikan gagasan terbaik untuk membangun negeri ini. Kalau tidak diperdebatkan, lantas bagaimana rakyat bisa menilai mana gagasan yang baik, mana yang kurang baik?
Meskipun Sandiaga mungkin memang benar-benar merasa nggak enakan, bukankah curhat ke teman-teman sekoalisi akan lebih memberikan solusi?
Lagian, kurang hormat apa seorang Sandiaga kepada ulama? Waktu cium tangan Ma’ruf Amin setelah debat perdana saja sampai berkali-kali. Dibolak-baliknya itu tangan Ma’ruf Amin. Sungguh contoh santri teladan.
Lagi pula, yang akan dilawan Sandiaga di debat cawapres nanti adalah Ma’ruf Amin sebagai politikus, bukan sebagai ulama. Sandiaga harusnya siap-siap menghadapi calon lawannya nanti.
Ya, memang menghormati ulama itu penting, tetapi ingat juga debat nanti gelanggangnya adalah gelanggang debat. Sajikan pertarungan gagasan visi dan misi yang apik. Cium-mencium tangan cukup hadir di pra dan pasca debat saja. Sisanya pertontonkan kepiawaianmua dalam berbicara yang aduhai itu. (F41)