“Kenapa anak anjing dan anak kucing sering bertengkar? Ya, namanya juga anak-anak, biasa lah kalo sering bertengkar.” ~ Lawakan generasi jaman old
Pinter Politik.com
[dropcap]T[/dropcap]idak terasa jarum pendek jam di teater Mak Owi sudah mengarah ke angka tujuh dan jarum panjang telah berlabuh di angka enam. Ini menandakan tiga puluh menit lagi pagelaran wayang orang segera dimulai.
Di balik panggung teater yang mulai rapuh, seluruh pemeran bergegas menyelesaikan kostum dan riasan yang terlihat menor. Hal ini demi menarik perhatian dan merebut hati para penonton teater pesaing Mak Owi, dialah Mak Owo yang namanya ternyata sangat mirip.
Dua puluh lima menit pun berlalu dan para pemeran sudah siap pada posisi masing- masing. Tapi terlihat ada yang salah pada persiapan teater kali ini. Lima menit sebelum pertunjukan dimulai terjadi sebuah pertengkaran antara pengelola sanggar dengan orang yang tidak dikenal.
Tidak ada yang mengetahui bagaimana orang ini bisa datang di tengah-tengah para pemeran dan pengelola teater, yang pasti orang ini berada di sana dan dia sudah cukup mengacaukan pertunjukan dengan berteriak-teriak selayaknya orang gila yang kehilangan efek obat penenangnya.
“Hei kamu! Turun dari tahta sekarang juga! Kamu sudah tidak mengerti apa yang ayah kita maksud! Kamu sangat menyimpang!” Demikian teriakan perempuan itu.
Dari perkataan itulah seluruh orang yang hadir mengetahui siapa perempuan itu.
Tidak banyak menimbulkan perlawanan, seakan bumi berhenti berputar dari porosnya, kata-kata itu berhasil memecah keheningan di belakang panggung tua itu, dan menyisakan bisikan suara penonton yang masuk melalui tirai-tirai lusuh.
Salah satu pemeran utama dalam pertunjukan hari ini yang bernama Kucinta Luna berbisik kepada Dorcy.
“Sssstt, ternyata orang itu adiknya Ibu Mini pemilik sanggar ini, saya kira dia orang gila hehehe.”
Gengs, seperti cerita itu, ternyata lucu memang kakak dan adik tidak selalu terlihat seperti keluarga yang digambarkan, di mana keluarga identik dengan kasih sayang, saling mencintai, dan saling memuji.
Seperti yang terjadi di lingkar keluarga politik banteng hitam ini, satu dengan yang lainnya saling serang dan berebut “kata pasti” dari nilai luhur pemikiran ayah mereka.
Nggak seru memang kalo hidup tidak ada benturan, seperti halnya yang diungkapkan Tan Malaka: “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.” (G11)