HomePolitikPolitisi Muda, Berbakat atau Beruntung?

Politisi Muda, Berbakat atau Beruntung?

Oleh Aditya Eka Pratama, Sarjana Manajemen dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah

Akhir-akhir ini, wajah-wajah politisi muda dari generasi milenial mulai bermunculan. Beberapa berhasil lolos untuk duduk di Senayan. Namun, bagaimana caranya para politisi muda ini bisa menjalani karier politiknya? Apakah mereka berbakat atau beruntung?


PinterPolitik.com

“If you believe you can make a difference, not just in politics, in public service, in advocacy around all these important issues, then you have to be prepared to accept that you are not going to get 100 percent approval” – Hillary Clinton, politisi asal Amerika Serikat

Pelantikan anggota DPR RI periode 2019-2024 yang bertepatan dengan tanggal 1 Oktober atau Hari Kesaktian Pancasila telah usai. Terlepas dari alasan simbolis mengapa tanggal tersebut dipilih, untuk lima tahun ke depan segala hal yang berhubungan dengan legislasi, anggaran dan pengawasan di negeri ini akan berada di tangan para anggota DPR baru tersebut. Pelantikan kemarin menunjukkan masih banyaknya wajah-wajah lama yang bertahan. Di antara ratusan anggota DPR, terdapat nama-nama besar seperti, Adian Napitupulu yang menduduki periode keduanya, Bambang Soesatyo untuk periode ketiga, dan mantan Menkumham, Yasonna Laoly untuk periode keempat.

Pelantikan kemarin juga mengorbitkan para rising star dari generasi milenial. Tercatat ada tujuh anggota DPR baru yang masih berumur 25 tahun ke bawah, yakni Adrian Jopie Paruntu dan Rizki Aulia Rahman Natakusumah dari kelompok umur 25 tahun, Arkanata Akram dan Fachri Pahlevi Konggoasa dari kelompok umur 24 tahun, dan yang temuda adalah Muhammad Rahul, Farah Puteri Nahlia, serta Hillary Brigitta Lasut dari kelompok umur 23 tahun.

Melihat umur mereka yang masih “dini” tentu mengundang rasa takjub dari banyak pihak yang mengamatinya. Di saat banyak politisi dari generasi baby boomers baru merintis karir politiknya dari bawah di usia segitu, generasi-generasi milenial ini menerobos aturan lama dan menghancurkan kaidah-kaidah yang ada, bahwa segala sesuatunya butuh waktu.

Apa yang mereka lakukan mirip dengan startup raksasa, macam Facebook, Google, WhatsApp, Grab, ataupun Gojek yang membawa pemiliknya menjadi kaya mendadak di usia yang muda dengan menciptakan disrupsi yang mengubah struktur pasar dan peta bisnis. Bedanya, para anggota DPR muda ini membawa disrupsi ke dunia politik.

Mendompleng Orang Tua?

Prestasi yang dimiliki oleh mereka tentu bisa menjadi inspirasi bagi sesama generasinya. Usia yang terlalu muda bukanlah halangan untuk berkarya di tingkat yang lebih tinggi. Terlebih jika kita membandingkannya dengan aktivis lingkungan yang namanya baru-baru ini melejit di dunia, yaitu Greta Thunberg yang masih berusia 16 tahun.

Jika seorang anak remaja seperti Thunberg saja bisa menggerakkan seisi dunia, tentu para politikus muda tersebut seharusnya  tidak kesulitan membawa perubahan di Indonesia dengan kemampuan yang mereka miliki. Namun, apakah benar mereka bisa terpilih karena kemampuannya sendiri?

Jika kita menggali lebih dalam lagi, ada fakta menarik tentang latar belakang mereka. Selain rentang umur yang hampir sama, semua anggota-anggota DPR muda tersebut berasal dari keluarga yang telah lama berkecimpung di dunia politik.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Adrian Jopie Paruntu – anak muda dari Partai Golkar Dapil Sulawesi Utara – misalnya, merupakan putra semata wayang dari Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu. Ibunya sudah menjabat sebagai bupati semenjak tahun 2010. Neneknya, Jenny Y. Tumbuan pernah menjadi Ketua DPRD Minahasa Selatan periode 2004-2009. Kakeknya, Jopie Paruntu adalah mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi dan juga pernah menjadi anggota DPRD Sulawesi Utara.

Selain Adrian, terdapat juga Rizki Aulia Rahman Natakusumah dari Partai Demokrat Dapil Banten I yang merupakan anak dari mantan Bupati Pandeglang dua periode dan mantan Wakil Ketua MPR Achmad Dimyati Natakusumah. Sementara, ibunya sendiri merupakan Bupati Pandeglang sekarang. Keluarga ini sering dijuluki Dinasti Natakusumah.

Arkanata Akram dari Partai NasDem Dapil Kalimantan Utara merupakan anak dari Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dan Fachri Pahlevi Konggoasa adalah anak dari Bupati Konawe Kerry S. Konggoasa. Muhammad Rahul pun yang dari Gerindra merupakan anak dari Anggota DPR RI Muhammad Nasir.

Sebagai yang termuda dari yang lainnya, latar belakang keluarga Hillary Brigitta Lasut tak kalah mentereng. Ibunya, Telly Tjanggulung adalah Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013. Ayahnya Elly Engelbert Lasut pernah menjadi Bupati Kepulauan Talaud periode 2004-2009 dan 2009-2012. Dan kini terpilih lagi di Pilkada 2018 kemarin mengalahkan petahana Sri Wahyumi Maria Manalip.

Hanya Farah Puteri Nahlia yang bukan berasal dari keluarga politisi. Namun, kita tidak bisa mengesampingkan status ayahnya sebagai seorang jenderal bintang satu di Bareskrim Polri. Fenomena terjunnya sejumlah anak para kepala daerah dan anggota legislatif mengikuti jejak orang tuanya ini akan membentuk sebuah pola kekuasaan yang populer dengan sebutan dinasti politik. Esty Ekawati dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan dinasti politik mengisyaratkan kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan keluarga.

Dinasti politik memberikan sejumlah keuntungan bagi orang-orang yang berada di dalamnya. Alim Bathoro menuliskan bahwa sosok seorang pejabat, entah itu di eksekutif maupun legislatif, selalu disorot masyarakat sehingga popularitasnya pun ikut menular ke sanak famili terdekatnya.

Popularitas adalah senjata ampuh dalam politik. Itu sebabnya banyak partai politik yang mengambil jalan pintas dengan menjadikan artis sebagai caleg, bahkan sebagai calon kepala daerah, untuk menarik basis suara dalam waktu singkat. Hal tersebut dapat pula dilakukan dengan mendompleng figur populer di pemerintahan yang notabene masih keluarganya sendiri dan ini yang telah dilakukan dengan baik oleh para politisi muda di atas untuk meniti jalannya ke Senayan. Nama besar orang-orang di sekeliling mereka tidak terbantahkan memiliki andil sangat besar dalam kemenangan mereka di pileg kemarin.

Ancaman Dinasti Politik

Nico Harjanto dalam tulisannya yang berjudul Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik mengatakan dinasti politik memang dapat ditemukan di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), ada keluarga Kennedy dan Clinton yang sangat tersohor. Walaupun begitu, di sana prinsip equality of oppurtunity tetap dijunjung tinggi sehingga kemunculan tokoh-tokoh dari keluarga tersebut tidak menimbulkan cibiran negatif di kalangan pemilih rasional AS.

Baca juga :  Pramono dan Candu Dinasti Politik

Iklim politik yang free and fair competition membuat kompetisi perebutan jabatan publik sulit dimanipulasi dengan pencitraan atau mobilisasi aparatur pemerintahan. Lanjutnya, di Indonesia politik kekerabatan erat kaitannya dengan pemusatan kekuasaan. Hal ini sangat berbahaya apabila terus meluas karena dapat membawa Indonesia terjerumus dalam bossism berbasis teritorial dimana negara dikuasai oleh keluarga, klan, atau dinasti politik di wilayah tertentu, seperti halnya Filipina.

Dinasti politik tidak cocok dan bertentangan dengan demokrasi. Prinsip dinasti adalah pemusatan kekuasaan. Kekuasaan yang terpusat cenderung dekat dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut.

Pernyataan ini diperkuat dengan adanya beberapa anggota keluarga mereka yang tersangkut kasus korupsi. Ayah Brigitta pernah dituntut sembilan tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi surat perintah perjalanan dinas fiktif senilai Rp. 9,8 miliar oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara. Karena kasus itu, ayahnya terpaksa turun dari kursi Bupati Kepulauan Talaud.

Sedangkan Muhammad Rahul adalah keponakan dari M. Nazaruddin mantan bendahara umum Partai Demokrat yang kita semua tahu terlibat dalam kasus suap wisma atlet yang menjerat banyak figur-figur besar. Begitu pentingnya peran Nazaruddin dalam kasus tersebut, sampai-sampai KPK harus mengejar sendiri Nazaruddin hingga ke negeri Pablo Escobar, Kolombia.

Begitu dekatnya mereka dengan lingkaran korupsi, membuat siapa pun khawatir mereka akan terperosok di lubang yang sama. Lubang yang pernah menjegal para pendahulunya. Dengan kemampuan yang meragukan, serta pengalaman yang masih sangat kurang di dunia politik, tentunya kita berharap generasi-generasi milenial ini dapat menjawab dengan baik setiap sinisme yang mengarah kepada mereka. Bahwa mereka bisa naik menjadi wakil rakyat bukan cuma dengan mengandalkan pengaruh orang tua. Bahkan, para anggota DPR muda ini bisa menjadi solusi baru bagi masyarakat yang jengah dengan para politisi tua yang dianggap tidak becus menjalankan tugasnya.

Sama halnya dengan startup, politisi-politisi muda dianggap membawa ide dan inovasi terbaru sehingga mampu mengalahkan perusahaan-perusahaan tradisional mapan yang lamban dalam menyesuaikan diri. Mungkin, para politisi muda ini bisa menawarkan hal yang sama. Sebuah pendekatan baru untuk memperbaiki permasalahan yang ada di negeri ini. Mungkin, mereka bisa belajar dari kutipan Hillary Clinton di awal tulisan.

Tulisan milik Aditya Eka Pratama, Sarjana Manajemen dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...