HomeTerkiniPolemik Presidential Threshold

Polemik Presidential Threshold

Wacana penghapusan presidential Threshold (PT) di Pemilihan Presiden memberi angin segar bagi kandidat calon presiden alternatif untuk bertarung di Pemilu 2019.  Namun Sebagian pihak menilai langkah ini dapat memunculkan kandidat yang kurang ideal.


PinterPolitik.com

Jakarta –Presidential Threshold, atau lebih dikenal sebagai ambang batas pencapresan di kancah perpolitikan Indonesia, adalah sebuah mekanisme yang dibuat untuk partai politik yang ingin mengajukan calonnya sendiri, untuk diadu tandingkan di kancah Pemilu Presiden. Dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini menyebabkan tidak semua partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon dari partainya sendiri.

Aturan ini memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen saat dia menjalankan roda pemerintahan. Ini tidak lepas dari pentingnya peran parlemen dalam politik nasional saat ini. Namun aturan PT menjadi tidak relevan setelah munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pelaksanaan pemilu Legislatif dan Presiden serempak pada pemilu 2019 mendatang.

Amar putusan MK belum secara eksplisit mengatur tentang penghapusan PT. Bola panas ambang batas presiden saat ini tengah berada di DPR RI. panitia khusus (Pansus) DPR RI tengah melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.

Sejumlah fraksi di DPR dengan tegas menyatakan dukungannya agar aturan ambang batas pencapresan sebagaimana dimuat di Pasal 190 RUU Pemilu dihilangkan. Itu antara lain disuarakan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Hanura.

Baca juga :  Hakim Sakit, Gibran Fix Dilantik?

Alasan fraksi ini menolak aturan threshold karena sangat penting mewujudkan kompetisi yang sehat dan adil di Pemilu 2019. ”Untuk apalagi dibatasi. Semakin tinggi syarat presidential threshold, itu akan mengurangi tumbuhnya caloncalon baru dan akan menghambat proses kompetisi,” kata anggota Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi di Gedung DPR, Januari 2017  kemarin.  Viva menjelaskan pansus tengah membahas Draf RUU Pemilu yang diusulkan pemerintah. Pasal 190 yang memuat syarat pencalonan capres cukup menuai polemik.

Di situ diatur bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.  Aturan ini dinilai bermasalah karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 menyebutkan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan legislatif (pileg) dengan pilpres. Muncul problem hukum jika aturan threshold tetap berlaku karena pemilu harus digelar serentak.

Pandangan berbeda disampaikan parpol besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Parpol pemenang pemilu ini justru ingin agar threshold dipertahankan dengan alasan demi menjaga kualitas demokrasi dan memperkuat legitimasi hasil pemilu. ”Tanpa presidential threshold saja legitimasi pemilu dipertanyakan, apalagi kalau itu kita hilangkan,” ujar anggota Fraksi PDIP Arteria Dahlan di Jakarta.

Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz, menyatakan dalam Pemilu 2019 yang berlangsung serentak semestinya tak perlu ada ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). “Pemilu serentak itu tak butuh presidential threshold karena pemilu legislatifnya berbarengan, jadi biarkan saja semua partai diberi kesempatan mencalonkan presiden, toh tak semua partai juga akan mencalonkan presiden nantinya,” kata ujar dia.

Baca juga :  Jangan Remehkan Para Cawagub!

penghapusan presidential threshold dalam pemilu serentak juga memberi ruang bagi bakal calon presiden lain di luar dua nama besar saat ini, yaitu Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Namun penghapusan presidential threshold tidak akan memimbulkan ledakan jumlah calon presiden di pemilu mendatang. Tingginya biaya politik menjadi salah satu pertimbangan tersebut “Sekarang begini saja, orang kan pasti pikir pendanaan pencapresan yang besar. Apa iya semua partai sanggup untuk memodali. Karena itu pastinya akan tetap tercipta koalisi,” tutur August.

Senada dengan August, Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyatakan pembatasan angka ambang batas pengajuan presiden (presidential threshold) akan mengebiri semangat demokrasi.

Menurut Lucius, pembatasan presidential threshold akan menghambat kemunculan figur-figur alternatif yang bisa saja muncul dari partai-partai kecil. Ia juga mengkritisi sejumlah partai politik besar yang mematok angka presidential threshold cukup tinggi. Desakan memberlakukan presidential threshold ini disebut Lucius, sebagai ekspresi dari kegagalan partai politik yang mengabaikan kerja persiapan di internal partai untuk menemukan figur yang layak diusung untuk calon presiden.

“Ketakutan parpol-parpol besar kemudian ingin ditutupi dengan membuat pembatasan bagi hadirnya banyak pesaing di pilpres dengan memberlakukan presidential threshold,” pungkasnya.

Diluar dari itu terbukanya peluang bagi 12 partai untuk mengajukan masing-masing Capresnya tentu menjadi pekerjaan berat bagi KPU, yang tidak sebanding dengan pemilu sebelumnya (2004, 2009). KPU harus memverifikasi semua syarat administrasi dan keabsahan Capres yang akan menjadi peserta pemilhan umum Presiden.

(KS/DTK/O23)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Bukti Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”

PinterPolitik.com mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72 Tahun, mari kita usung kerja bersama untuk memajukan bangsa ini  

Sejarah Mega Korupsi BLBI

KPK kembali membuka kasus BLBI yang merugikan negara sebanyak 640 Triliun Rupiah setelah lama tidak terdengar kabarnya. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus BLBI...

Mempertanyakan Komnas HAM?

Komnas HAM akan berusia 24 tahun pada bulan Juli 2017. Namun, kinerja lembaga ini masih sangat jauh dari harapan. Bahkan desakan untuk membubarkan lembaga...